My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Resume Khilafah dan Kerajaan


Riwayat Singkat
Abul A’la dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321, bertepatan dengan 25 September 1903, di Aurangabad, suatu kota terknal dei daerah yang sekarang dkenal sebagai  Andra Pradesh, India. Ayahnya, yang lahir pada 1844, adalah seorang ahli hukum yang sangat taat kepada ajaran-ajaran agama Islam. Al-Maududi anak termuda dari ketiga putranya. Pendidikan awal al-Maududi diperoleh dari ayah nya sendiri di rumah, yang kemudian diteruskannya di suatu sekolah  yang menggabungkan pendidikan modern barat dengan pendidikan tradisional.
Sebagian besar ilmu yang diperoleh Maududi dapat dikatakan dapat lewat jerih payahnya sendiri dengan bimbingan sarjana-sarjana yang tangguh pada waktu itu dalam lingkungannya. Sejak muda Maududi telah menyukai jurnalisme dan pernah menjadi editor beberapa mass-media ketika usianya baru menginjak dua puluhan tahun. Pada usia muda inilah Maududi menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul al-Jihad fil Islam, suatu buku yang cermat dan tajam mengenai hukum Islam dalam perang dan damai.
Pada 1993 Maududi secara lebih intensif mencurahkan  tenaga dan pikirannya untuk riset dan menulis pendapa- pendapatnya tentang berbagai masalah serta memulai menerbitkan majalah bulanan Tarjuman al-Quran yang menjadi sarana penyalur gagasan-gagasannya. Pada dasawarsa 1930-an tulisan-tulisan Maududi “membanjir” dan sebagian besar tulisannya mencoba memecahkan masalah-masalah politik dan budaya yang dihadapi kaum muslimin India, dan sudah tentu semua itu ditinjau dari sudut pandangIslam.
Pada awal 1940-an Maududi mendirikan suatu gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri, yaitu Jama’ati Islami. Gerakan Jama’ati Islami ini disegani terutama karena para pimpinannya dan anggota-anggotanya yang penuh integritas dan dedikasi terhadap Islam serta kenyataan bahwa sebagian besar mereka menjadi mushsinin dalam kaliber masing-masing.
Abdul A’la al-Maududi sepanjang hayatnya telah mengabadikan hidupnya untuk agama dan umat Islam dunia. Selama kehidupan perjuangannya yang berkisar sekitar 60 tahun, Maududi tidak pernah “pensiun” dari kegiatan – kegiatannya untuk menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat manusia modern yang dirundung kebingungan ideologis, falsafi dan sosial-politik.
Pemikiran-pemikiran Maududi tidak saja berpengaruh dan bergema di kawasan sub-kontinen Indo-Pakistan, melainkan juga diseluruh dunia Islam, dari Indonesia sampai ke Turki. Maududi, sebagaimana halnya Muhammad Natsir dari Indonesia, juga menjadi salah seorang tokoh Rabhitah al’-Alam al-Islami yang berpusat  di Makkah. 
Tujuan Negara Menurut Islam
Ada dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama teori Hegel yang mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci, katakanlah Davine Idea di muka bumi, dimana setiap  warga negara dapat mengidentifikasi martabatnya, statusnya, dan arah kehidupannya. Citra Hegelian tentang negara adalah bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci karenanya ia harus berada di atas segala-galanya.
Sebaliknya adalah konsep Marx. Walaupun ia bangga menjadi murid spiritual Hegel, tetapi pandangan tentang negara bertolak belakang dengan pandangan gurunya. Marx berpendapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin operasi (pewnindasan), tirani dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat – alat produksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan  kelas pekerja.
Yang senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam ajaran Islam sudah terlalu jelas. Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar-manusia, antar-kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara dan melindungi seluruh negara dari  invasi asing. Ketiga, untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang sebagaiman dikehendaki Al-Quran. Keempat, untuk memberantas  setia kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebijakan  yang dengan telah digariskan  oleh Al-Quran. Kelima, menjadikan negara itu  sebagai tempat tinggal yangh teduh  dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.  
BAB I
AJARAN-AJARAN AL-QUR’AN DI BIDANG  POLITIK PEMERINTAHAN
1.      Konsep Tentang Alam Semesta
Teori Al-Qur’an di bidang politik pemerintahan bertumbuh atas konsepnya yang mendasar bagi alam semesta., yaitu konsep yang harus diberi perhatian sedalam-dalamnya agar kita dapat memahami teori itu dengan pemahaman yang tepat. Dan sekiranya konsep ini dipelajari dengan pandangan filsafat kepemerintahan, niscaya akan tampak :
a.       Bahwasanya Allah SWT adalah Pencipta Alam semesta ini, Pencipta manusia dan pencipta segala sesuatu yang dapat digunakan oleh manusia di alam ini.
b.      Bahwasanya Allah adalah pemilik makhluk ini, penguasanya dan Yang mengurusi segala urusannya,
c.       Al-Hakimiyah (kekuasaan juridiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini) hanya bagi Allah, tidak mungkin akan menjadi hak siapapun selain Dia dan tidak ada seorangpun yang memiliki sesuatu bagian daripadanya.
d.      Secara keseluruhan, sifat-sifat al-hakimiyah dan semua kekuasaannya terkumpul di tangan-Nya SWTdan tidak seorangpun di alam semesta ini menyandang sifat-sifat atau memperoleh kekuasaan-kekuasaan ini.

2.      Al-Hakimiyah Al-Ilahiyah
Hak hakimiyah dalam segala urusan manusia adalah milik-Nya sendiri dan tidak suatu kekuatan pun selain-Nya, baik yang berhubungan dengan manusia atau bukan dengan manusia, memiliki kekuasaan untuk menetapkan hukum atau menjatuhkan hukumnya sendiri. Dan sudah barang tentu terdapat perbedaan yang esensial, yaitu bahwa kekuasaan Allah yang tertinggi dalam tatanan alam ini berdiri dengan kekuatan-Nya yang tidak membutuhkan pengakuan terlebih pada manusia, dalam bagian bawah sadar kehidupannya, menaati hukum Allah sebagaimana alam seluruhnya taat kepada-Nya; dari bagian yang sekecil-kecilnya, yaitu dzarrah atau atom, sampai tatanan angkasa dan kumpulan-kumpulannya. Adapaun bagian kehidupan manusia yang sadar, maka Allah tidak melaksanakan hukum-Nya padanya dengan kekuatan dan paksaan, tetapi Ia menyeru kepada manusia melalui kitab-kitab yang diwahyukan dari sisi-Nya, yang diakhiri oleh kitab Al-Qur’an, agar mereka tunduk kepada penguasa tertinggi-Nya dan taat kepada-Nya dengan sukarela serta atas kehendak mereka sendiri.


Kekuasaan tertinggi Allah di bidang perundang-undangan
Al-Qur’an al-karim menetapkan bahwa ketaatan harus atau tidak boleh tidak-hanya kepada Allah semata-mata dan wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram atas seseorang meninggalkan peraturan ini dan mengikuti undang-undang buatan manusia lainnya, perundang-undangan yang dibuat sendiri atau kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya.
IV. Kedudukan Rasul
Perundang-undangan ini, yang di dalam ayat-ayat terdahulu telah diperintahkan oleh Allah agar kita mengikutinya dan berjalan diatasnya, tidak seorangpun dapat menyampaikannya kepada manusia kecuali seorang Rasul (utusan) Allah. Dia sendirilah yang menyampaikan hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya kepada manusia, dan ia sendirilah yang menafsrikan dan menguraikannya dengan ucapan dan perbuatannya. Maka Rasul adalah yang mewakili kekuasaan tertinggi Allah di bidang perundang-undangan dalam kehidupan manusia.
V. Undang-undang tertinggi
Hukum Allah dan Rasul-Nya, menurut Al-Qur’an adalah undang-undang tertinggi bagi seorang mukmin tidak ada pilihan lain kecuali patuh dan taat kepada-Nya. Tidak seorang Muslim pun berhak mengeluarkan suatu hukum dalam suatu perkara yang hukumnya telah dikeluarkan oleh Allah dan Rasulnya. Menyimpang dari Hukum Allah dan Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.
VI. Khilafah
Bentuk pemerintahan manusia yang benar, menurut pandangan Al-Qur’an ialah adanya pengakuan Negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah SWT dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakinin bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya yaitu Allah SWT.
VII. Hakikat Khilafah
Doktrin tentang khilafah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an al-Karim ialah bahwa segala sesuatu diatas bumi ini berupa daya dan kemampuan yang diperoleh oleh seorang manusia hanyalah karunia dari Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan manusia dalam kedudukan sedemikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian-pemberian dan karunia-karunai yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan keridhaan-Nya. Bedasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya melainkan ia hanya khilafah atau Sang pemilik yang sebenarnya.
VIII. Khilafah Kolektif
Adapun yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu tapi komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang telah disebutkan tadi bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar ini.
IX. Batas-batas Ketaatan kepada Negara
Negara yang ditegakkan untuk melaksanakan system khilafah ini wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang ma’ruf atau baik-baik saja, dan tidak ada kewajiban taat kepadanya atau membantunya di dalam soal-soal maksiat (segala sesuatu yang berlawanan dengan syari’at Allah dan perundang-undangan-Nya).
X. Permusyawaratan
Tugas Negara harus dilaksanakan secara sempurna bermula dengan mendirikan dan menyusun bata yang pertama di dalamnya, kemudian memilih kepala Negara dan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab (ulil-amri), dan berakhir dengan hal-hal yang bersangkutan dengan perundang-undangan dan perkara-perkara eksklusif berdasarkan permusyawaratan kaum muslimin, baik yang diwujudkan secara langsung atau dengan cara memilih para wakil rakyat di dalam suatu system pemilihan yang benar.
XI. Sifat-Sifat Ulil Amri
a.       Mereka itu haruslah orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima baik prinsip-prinsip tanggung jawab pelaksanaan tatanan khilafah sesuai dengan itu yang diserahkan kepada mereka,
b.      Mereka tidak boleh terdiri dari orang-orang zalim, fasik, fajir dan lalai.
c.       Mereka tidak boleh terdiri dari orang-orang bodoh dan dungu
d.      Mereka itu haruslah orang-orang yang amanat
XII. Konsep Dasar Perundang-undangan
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”…. (Q.S. 4:59)
            XIII. Sasaran Negara dan Tujuannya
Negara harus bekerja untuk dua tujuan yang utama. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenangan. Kedua, menegakkan system berkenaan dengan mendirikan shalat mengeluarkan zakat melalui segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah,
XIV. Hak-Hak asasi
Seorang Muslim ataupun non-Muslim dari rakyat di bawah tatanan ini memiliki hak-hak yang harus ditanggung oleh Negara dan dipelihara dari segala pelanggaran atau penindasan.
XV. Hak-Hak Pemerintah atas Rakyatnya
a.       Agar mereka taat kepadanya
b.      Agar mereka menaati undang-undang
c.       Agar mereka membantunya dalam semua usaha kebaikan (berpartisipasi)
d.      Agar mereka bersedia mengorbankan jiwa dan darah mereka dalam mempertahankan dan membelanya.
XVI. Pokok-pokok Politik Islam Pemerintahan Luar Negeri
a.       Menghormati perjanjian-perjanjian dan fakta-fakta serta keharusan mengumumkan penghapusan dan penghentiannya dan menyampaikan epadanya pihak lain apabila tidak dapat dihindari lagi.
b.      Menjaga amanat
c.       Keadilan internasional
d.      Menghormati batas-batas Negara netral pada waktu perang
e.       Cinta damai
f.       Menghindari rasa tinggi hati
g.      Memperlakukan kekuatan-kekuatan yang tidak menentang dengan perlakuan yang baik
h.      Membalas kebaikan dengan kebaikan
i.        Memperlakukan kaum penyerang dengan perlakuan yang sama dengan perlakuan mereka sendiri
XVII. Ciri khas Negara Islam
a.       Negara ini didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka dan bersedia menunjukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam
b.      Bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi di dalamnya adalah sepenuhnya bagi Allah SWT sendiri sampai suatu batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi.
c.       Sistem ini bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi tentang ketentuan bahwa terbentuknya pemerintahan
d.      Negara ini adalah Negara yag berdasarkan konsep-konsep tertentu dan sudah barang tentu dikelola oleh orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima gagasan-gagasannya
e.       Negara ini berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak ada atas dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis lainnya.
f.       Semangat hakiki yang menjiwai Negara ini ialah mengikuti akhlak, bukan mengikuti politik serta tujuan-tujuannya, serta menjalankan urusan-urusannya berdasarkan takwa kepada Allah dan takut kepada-Nya.
g.      Negara ini tugasnya bukanlah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepolisian semata-mata.
h.      Nilai-nilai asasi Negara ini ialah persamaan hak, kedudukan dan kesempatan serta pelaksanaan undang-undang, saling tolong menolong dlaam kebaikan dan ketakwaan
i.        Telah ditetapkan adanya hubungan keseimbangan antara individu dan Negara dalam system ini
BAB II
DASAR-DASAR PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Ajaran-ajaran Al-Qur’an yang berkaitan dengan pemertintahan seerti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw. Dalam praktek amaliahnya. Beliau telah memilih masyarakat Islam-yaitu masyarakat yang lahir dengan munculnya Islam, kemudian meraih kesuksesan politis setelah peristiwa hijrah ke Madinah sebagai bentuk negaranya yang bertumpu atas dasar ajara-ajaran politis ini. Adapun ciri khas yang membedakan system Negara ini dengan lainnya ialah: kekuasaan perundang-undangan Ilahi, keadilan antar manusia, persamaan antar kaum muslimin, tanggung jawab pemerintah,permusyawaratan, ketaatan dalam hal kebijakan, berusaha mencari kekuasaan untuk diri sendiri adalah terlarang, tujuan adanya Negara, Amr bil-ma’ruf nahyu ‘anil-munkar.
BAB III
KHILAFAH RASYIDAH (KEKHALIFAHAN YANG ADIL DAN BENAR DAN CIRI-CIRI KHASNYA)
Umat telah menanamkan sistem khilafah ini sebagai “khilafah yang adil dan benar” atau “al-khilafah ar-rasyidah”. Dan itu adalah kata-kata yang menjelaskan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara yang benar bagi penggantian kedudukan Rasulullah menurut pandangan  kaum muslimin.
Khilafah berdasarkan pemilihan
Umar bin Khattab r.a. telah mencalonkan Abu Bakar as-Shiddiq r.a. untuk menduduki jabatan khilafah menggantikan kedudukan Nabi saw. Dan penduduk kota Madinah yang pada hakikatnya merupakan wakil-wakil negeri secara keseluruhan telah menerimanya dengan baik. Mereka itu telah membai’atnya dengan sukarela atas dasar pilihan mereka tanpa ada paksaan ataupun tekanan. Dan ketika Abu Bakar r.a. meninggal dunia, ia mewasiatkan khilafah bagi Umar r.a. dengan mengumpulkan penduduk di masjib Nabi saw. Kemudian berkata kepada mereka: “Apakah kalian menyetujui orang yang kutunjuk untuk menggantikan kedudukanku sepeninggalku? Sesungguhnya aku, demi Allah, telah bersungguh-sungguh berdaya-upaya memikirkan tentang hal ini, dan aku tidak mengangkat seseorang dari sanak keluargaku, tapi aku telah menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Maka dengan dan taatlah kepadanya.”
Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Keempat khilafah tersebut tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun lainnya keculai dengan bermusyawarah pada kaum cendekiawan diantara kaum muslimin.
Amanat Baitul Mal
Para khulafaurrasyiddin dan para sahabat Nabi saw. Yang mulia beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu, mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya atau pengeluaran suatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Konsep Pemerintahan
Bagaimana kira-kira pandangan orang-orang itu terhadap pemerintahan? Dan bagaimana pikiran-pikiran mereka yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban serta jabatan-jabatan mereka sebagai penguasak? Dan politik apakah yang mereka jalani dalam pemerintahan mereka itu? Hal-hal seperti ini telah mereka jelaskan sendiri kepada rakyat banyak dalam pidato dan ucapan mereka. Ketulusan adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kamu akan aku anggap sebagai orang yang kuat sampai aku memperoleh kembali baginya haknya, insya Allah, dan orang yang kuat diantara kamu adalah lemah menurut anggapanku sampai aku berhasil mengambil hak itu sendiri.
Kekuasaan Undang  Undang
Para khulafaurrasyiddin itu tidak pernah menempatkan diri mereka di atas undang-undang. Mereka juga tidak pernah memberikan bagi sanak kerabat mereka suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada undang-undang dan mereka itu di hadapan undang-undang dianggap sama seperti rakyat yang lain, baik kaum muslimin ataupun orang-orang non-Muslim.
Pemerintah Tanpa Ashabiyah (Fanatisme Kesukuan)
Perlakuan yang sama rata antara manusia semuanya merupakan ciri-ciri masa Islam yang pertama, sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan jiwanya yang jauh dari segala bentuk ashabiyah (fanatisme) yang bersifat kesukuan, kebangsaan atau ketertarikan kepada tanah air. Sungguh pun demikian, topan kfanatikan kesukuan telah menyerbu dan menghembus dengan kencangnya sepeninggalan Rasulullah saw., dan merupakan salah satu pendorong munculnya orang-orang yang mengaku sebagai Nabi dan berkobarnya grakan kemurtadan.
Jiwa Demokrasi
Diantara ciri-ciri sistem kekhalifahan ini ialah terwujudnya kemerdekaan yang sempurna untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat. Para khalifah ini tidak pernah menutup diri dari rakyat banyak, tapi sebaliknya, mereka seringkali duduk bersama anggota ahli musyawarah dan ikut serta dalam diskusi-diskusi dan pembahasan-pembahasan, mereka tidak mempunyai satu partai resmi yang tersendiri dan tidak ada pula partai oposisi yang menentang mereka.
BAB IV
DARI MASA KHILAFAH RASYIDAH HINGGA MASA KERAJAAN
Awal Perubahan
Perubahan ini bermula ketika Umar bin Khattab r.a. merasa khawatir hal tersebut akan terjadi. Di antara hal-hal yang paling ditakuti ketika hampir ajalnya ialah bahwa para penggantinya akan mengadakan perubahan politik yang telah diikuti sejak masa Rasulullah saw. Sampai masanya sendiri yaitu yang berhubungan dengan perlakuan terhadap kabilah-kabilah dan suku-suku mereka sendiri, sanak kerabat serta keluarga mereka.

Tahap Kedua
Pada suatu peristiwa, beberapa oang telah marah berkenaan dengan tindakan pejabat Usman atas kota Basrah, yaitu Sa’id bin Ash. Mereka mencoba mengorbankan suatu pemberontakan melawannya, namun rakyat banyak tidak membantu mereka. Dan ketika pada saat itu, Abu Musa al Asy’ari menyeru kepada massa rakyat untuk memperbaharui bai’at mereka kepada Usman r.a. mereka pun berpaling dari pemimpin-pemimpin pemberontkan dan bergegas untuk membai’atnya kembali.
Tahap Ketiga
Dalam hal ini Ali r.a. adalah yang paling utama antara keempat orang itu ditinjau dari segala segi sesuai dengan kenyataan ketika Abddurrahman bin ‘Auf r.a. menetapkan – setelah permusyawaratan dan penyelidikan yang diadakan untuk mengetahui pendapat umum umat sepeninggal Umar r.a. – bahwa diantara tokoh-tokoh yang saling dipercayai oleh umat setelah Usman r.a. adalah Sattidina Ali r.a. maka wajarlah apabila mereka kembali kepadanya dan mengangkatnya sebagai pemimpin mereka. Dan pada saat itu tidak seorang pun selain dia baik kota Madinah maupun di seluruh dunia Islam., soerang yang dapat dipercaya oleh kaum muslimin seluruhnya, sehingga seandainya dia mencalonkan dirinya untuk pemilihan sesuai dengan cara-cara modern sekarang ini niscaya mayoritas suara umat akan berada di pihaknya.
Tahap Keempat
Ada beberapa orang yang telah menyebarkan desas-desus bahwa Ali hendak membunuh kaum laki-laki kota Basrah dan menawan kaum wanitanya. Maka ia pun segera membantah desas-desus ini sambil berkata : “Sungguh tidak mungkin aku berbuat yang demikian itu terhadap orang-orang kafir.”
Tahap Kelima
Pada waktu itu, sesuatu yang pertama kali dilakukan oleh Ali r.a. setelah ia memikul jabatan khilafah atas pundaknya, ialah memecat Mu’awiyah dari kedudukannya di Sya pada bulan Muharram 36H dan mengangkat Sumbul bin Hunaif sebagai penggantinya. Tapi wali yang baru ini segera setelah sampai ke Tabuk, didatangi oleh segerombolan pasukan berkuda dari wilayah Syam yang berkata padanya: “Seandainya Usman yang mengutusmu, maka kami akan mengucapkan ‘selamat datang’ kepadamu tapi bila selain itu kembalialah!”
Tahap Keenam
Sebenarnya ini merupakan kesempatan terakhir untuk menjaga agar sistem tetap tidak berubah menjadi sistem kerajaa. Kesempatan ini masih ada seandainya kedua hakim penengah melaksanakan apa yang telah disepakati bersama dan berpegang taguh pada persyaratan yang telah diberikan kepada mereka sebagai hakim mengeha yang keputusan penyelesaian.
Tahap Terakhir
Berkuasanya Mu’awiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan negara Islam atau ad-Daulah al-Islamiyah dari sistem khilafah ke sistem kerajaan.
BAB IV
PERBEDAAN ANTARA KHILAFAH DAN KERAJAAN
1.      Perubahan aturan pengangkatan khalifah
Sistem kerajaan telah dimulai dengan berubahnya kaidah ini. Adapun “khilafah” Mu’awiyah tidak termasuk kedalam jenih khilafah rasyidah (khiilafah yang yadil dan bijak), yakni dengan cara kaum musliminlah yang menetapkan khalifah mereka, sehingga tak seorangpun akann menduduki jabatan tersebut kecuali dengan persetujuan dan permusyawaratan mereka. Sebab Mu’awiyah sendiri memang sangat menginginkan untuk menjadi khalifah dengan cara apapun dan untukitu, ia telah berperang sehingga berhasil menduduki jabatan khalifah.
2.      Perubahan cara hidup para khulafa
Perubahan kedua yang paling jelas setelah ini ialah kenyatan bahwa para “khilafah raja” – kalau istilah ini dapat dibenarkan – telah memilih cara hidup kaisar dan kisra semenjak permulaan masa kerajaan dan meninggalkn cara hidup Nabi saw. Dan para khulafaurrasyiddin yang keempat. Mereka ini telah mendirikan istana-istana kerajaan untuk kediaman mereka yang dikelilingi oleh para pengawal dan intel khusus dan mereka juga memerintahkan para pengawal berjalan di depan rombongan kerajaan mereka. Para penjaga menghalangi pintu diantara mereka dan rakyat, terputuslah hubungan rakyat dengan mereka secara langsung, dan semenjak itu, rumah-rumah mereka serta segala kegiatan mereka tidak lagi di tengah-tengah rakyat. Oleh sebab itu mereka mngangkat direktur, sekretaris pribadi agar melalui orang-orang itu mereka dapat mengetahui ihwal-ihwal rakyat, sedangkan orang itu adalah pembantu yang tidak mungkin akan suatu kebenarannya. Menjadi musthil bagi rakyatnya untuk pergi menemui para penguasa dan mengajukan keluhan-keluhan mereka atau menyampaikan kebutuhan mereka secara langsung tnpa perantara.
3.      Perubahan kondisi Baitul Mal
Adapun dalam masa sistem kerajaan, maka konsep ini telah mengalami perubahan bsar dan jadilah kas negara sebagai milik penguasa dan kelurganya. Rakyat hanya wajib menyetor pajak kepadanya tanpa memiliki hak untuk mempertanyakan pemerintah dan mmbuat perhitungan dengannya. Cara hidup para raja dan para amir, bahkan cara hidup para pejabat mereka dan komanda mereka pada masa tiu, tidak memiliki ciri-ciri lain kecuali kepemilikan yang sempurna dan mutlak atas baitul-mal. Diantara harta kekayaan itu, terdapat perkampungan fadak semenjak wafatnya Nabi saw telah menjadi milik negara disepanjang masa kekuasaan para khulafa. Perkampungan ini oleh Abu Bakar r.a. telah ditolak untuk diberikan kepda puteri Rasulullah saw sebagai warisan dari ayahandanya, namun ketikaMarwan bin Hakam berkuasa, ia telah memasukkannya ke dalam milik pribadinya dan mewwariskannya kepada putra-putranya sepeninggalnya.
4.      Hilanngnya Kemerdekaan mengeluarkan pendapat
Kebebasan seperti ini selalu terjaga dan terjamin bagi rakyat, pada masa para khuafaurrasyiddin, dengan cara yang paling sempurna. Para khulafa itu sendiri bukan saja membolehkan adanya kemerdekaan ini, tapi mereka bahkan menganjurkan dengan sangat kepada rakyat agar menggunakannya. Hardikan dan ancaman sama sekali tidak merupakan balasan bagi orang yang menyerukan kebenaran tapi sebaliknya, ia memperoleh pujian, terimakasih, dan penghargaan Pnindasan bukan mnjadi harga bagi kritik para pengkritik, tapi mereka akan diberi sanggahan atas kecaman-kecaman merka dengan jawaban-jawaban yang memuaskan yang dapat masuk akal dan diterima. Tapi keadaan telah berubah dan khilafah telah beralih menjadikerajaan, hati nurani rakyat ditutup rapat-rapat dan lidah-lidah mereka diikat kuat-kuat dan seakan para penguasa berkata kepada mereka: “Apabila kalian ingin membuka mulut-mulut kalian, maka bukalah untuk mengucapkan pujian-pujian dan ucapan-ucapan yang mencari muka serta mengagungkan kami, atau jika tidak, lebih baik kalian diam saja, dan seandainya hati nurani kalian tetap juga memiliki kekuatan dan semangat yang menyebabkan kalian tidak dapat menahan diri dari mengucapkan kebenaran, maka bersiaplah untuk penjara, pembunuhan, penyiksaan dan pembuangan.”
5.      Hilangnya kebebasan peradilan
Dan tidak seorang pun, berapapun tinggi kedudukan dan besar wibawanya yang berani ikut campur dalam tindakannya mahkamah sedemikian rupa, sehingga sorang hakim dapat menjatuhkan keputusan yang merugikan para khalifah itu sendiri, bahkan dalam prakteknya seringkali membuat keputusan mereka. Namun ketika sistem khilafah telah berubah menjadi sistem kerajaan prinsip ini tidka dapat berjalan dengan mulus, bahkan sedikit demi sdikit makin menghilang.
6.      Berakhirnya Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Ketika sistem hilafah tlah beralih menjadi sistem kerajaan, berubahlah kaidah ini. Permusyawaratan digantikan dengan kediktatoran pribadi dan para raja menjauhkan diri dari para ahli ilmu yang berani menyatakan segala yang haq dan mengenali yang haq. Sebagaimana orang-orang ini pada gilirannya juga menjauhkan diri dari para raja. Dan apabila para raja stelah itu, mengangkat para penasihat untuk diajak musyawarah, maka mereka itu terdiri dari pejabat-pejabat mereka, komandan mereka, amir keluarga kerajaan atau pejabat-pejabat istana bukan dari kaum pemikir yang dipercayai oleh umat, keahlian dan amanat serta keteguhan agama mereka.
7.      Munculnya kefanatikan kesukuan atau Ashabiyah Qaumiyah
Dalam bukunya al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir telah menukilkan dari Ibnu memasuki Damsyik, api Ashabiyah (kefanatikan kesukuan) antara orangorang Yaman dan Mudhar sdang sedang berkobar-kobar di pusat ibukota pemerintahan Bani Umayyah, sehingga orang dapat melihat adanya dua mihrab di setiap masjid dan dua mimbar di Masjid Jami’ yang dinaiki oleh dua orang imam, masing-masing dari kelompok tidak bersedia melaksanakan shalat dibelakang imam yang bukan berasal dari kaumnya sendiri.
8.      Hilangnya Kekuasaan Hukum
Diantara bencana terbesar yang telah melanda kaum muslimin di zaman sistem kerajaan ialah ppelanggaran terhadap kekuasaan hukum, padahal ia termasuk diantara prinsip-prinsip dasar yang terpenting dalam pemerintahan Islam.
BAB VI
PERTIKAIAN-PERTIKAIAN YANG BERKAITAN DENGAN ALIRAN-ALIRAN ATAU MAZHAB-MAZHAB KAUM MUSLIMIN, AWAL MULANYA DAN PENYEBABNYA
 Situasi dan kondisi saat kilafah rasyidah telah hilang eksistensinya ini, demikian pula penyebab-penyebab ini membawa akbiat yang penting yakni munculnya perselisihan kemazhaban dalam barisan umat Islam.
Akibatnya pertikaian, maka lahirlah teori-teori yang masing-masing berdiri sendiri, dan pada mulanya hanya bersifat politis semata-mata kemudian para pendukungnya sedikit demi sedikit terpaksa menyusun beberapa teori yang bersifat keagaamaan demi memperkuat pihak mereka dan memperkokoh kedudukan mereka. Dengan demikian berubahlah kelompok politik ini sedikit demi sedikit sehingga akhirnya menjadi kelompok-kelompok mazhab atau aliran ideologis.
Firqah-firqah yang beraneka ragam yang muncul pada masa pengelompokkan dan perselisihan ini pada hakikatnya semua akarnya hanya terbatas pada empat kelompok yakni Syi’ah Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
BAB VII
IMAM ABU HANIFAH DAN KARYA AGUNGNYA
Penjelasan Akidah Ahlus-Sunnah
Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang telah mengkodifikasikan akidah Ahlus-Sunah wal-Jama’ah dalam menghadapi kelompok keagamaan ini dalam bukunya, al-Fiqhul-Akbar
Tentang para Khulafaurrasyiddin
“Dan kami menetapkan dan mengakui kekhalifahan setelah Rasulullah saw., pertama untuk Abu Bakar r.a. sebagai diutamakan dan didahulukan atas semua umat, kemudia Umar bin Khattab r.a., kemudia Utsman bin Affan r.a., kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. Mereka itulah khulafaurrasyiddin dan imam-imam yang beroleh petunjuk.” Diuraikan secara lebih luas dalam buku Akidah Thahawiyah.
Kodifikasi hukum-hukum Islam
Tapi sesungguhnya karya terbesar Abu Hanifah yang telah menepatkannya dalam sejarah Islam pada kedudukan yang agung langgeng dan tidak pernah redup sinarnya ialah bahwasanya ia dengan ijtihad dan kekuatannya yang khusus, telah mengisi kembali kekosongan besar yang terjadi dalam tatanan hukum Islam akibatnya tertutupnya pintu permusyawaratan, setelah berlalunya masa khulafaurrasyiddin.
BAB VIII
MAZHAB DAN PENDIRIAN ABU HANIFAH MENGENAI KHILAFAH DAN MASALAH-MASALAH YANG BERKAITAN DENGANNYA
1.      Masalah Hakimiyah atau Hak tertinggi yuridiksi dan kedaulatan hukum
Adapaun teori Abu Hanifah dalam soal hakimiyah ini ialah sama seperti doktrin Islam yang asasi dan jelas, yaitu bahwa sang penguasa yang asli adalah Allah, sedangkan Rasul harus ditaati sesuai dengan sifatnya sebagai wakil dan pelaksana kehendak-Nya.d dan bahwasanya syari’at Allah dan Rasul-Nya adalah konstitusi tertinggi yang tidak ada pilihan lain terhadapnya kecuali taat dan mengikuti. Dan karena Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih (ahli hukum), dapat menjelaskan hal ini dengan bahasa hukum fiqih.
2.      Cara yang benar bagi berlangsungnya Khilafah
Dalam masalah khilafah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menguasai pemerintahan dengan kekuatan kemudian mengambil bai’at setelah itu secara paksa bukanlah cara yang sah menurut syari’at bagi berlangsungnya khilafah. Khilafah yang benar ialah yang berdasarkan kesepakatan dan permusyawaratan para ahli pikir yang memang patut diajak bermusyawarah.
3.      Persyaratan untuk berhak menjadi khalifah
Kebanyakan persyaratan itu sudah diterima baik dengan sendirinya pada masa tersebut, seperti persyaratan beragama Islam, laki-laki, merdeka, berilmu, sehat panca indera, tubuhnya dan lain-lain sebagainya.
BAB IX
IMAM ABU YUSUF DAN KARYA AGUNGNYA
Nama aslinya Ya’kub, dari salah satu suku bangsa Aran bernama Bujailah. Keluarganya disebut Anshari karena hubungan antara mereka dengan kaum Anshar kota Madinah melalui datuk dari Ibunya
Ia menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam ilmu hadis, tafsir, sejarah umum, sejarah bangsa Arab, bahasa, sastra, ilmu kalam (teologi) dan terutama sekali ia sangat mendalami ilmu hadis dan menghafal hadis dalam jumlah besar. Kodifikasi Fiqih menurut mazhab Hanafi, Kitab al-Kharaj,

No comments:

Post a Comment