Riwayat Singkat
Abul
A’la dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321, bertepatan dengan 25 September 1903,
di Aurangabad, suatu kota terknal dei daerah yang sekarang dkenal sebagai Andra Pradesh, India. Ayahnya, yang lahir
pada 1844, adalah seorang ahli hukum yang sangat taat kepada ajaran-ajaran
agama Islam. Al-Maududi anak termuda dari ketiga putranya. Pendidikan awal
al-Maududi diperoleh dari ayah nya sendiri di rumah, yang kemudian
diteruskannya di suatu sekolah yang
menggabungkan pendidikan modern barat dengan pendidikan tradisional.
Sebagian
besar ilmu yang diperoleh Maududi dapat dikatakan dapat lewat jerih payahnya
sendiri dengan bimbingan sarjana-sarjana yang tangguh pada waktu itu dalam
lingkungannya. Sejak muda Maududi telah menyukai jurnalisme dan pernah menjadi
editor beberapa mass-media ketika usianya baru menginjak dua puluhan tahun.
Pada usia muda inilah Maududi menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul al-Jihad fil Islam, suatu buku yang
cermat dan tajam mengenai hukum Islam dalam perang dan damai.
Pada
1993 Maududi secara lebih intensif mencurahkan
tenaga dan pikirannya untuk riset dan menulis pendapa- pendapatnya
tentang berbagai masalah serta memulai menerbitkan majalah bulanan Tarjuman al-Quran yang menjadi sarana
penyalur gagasan-gagasannya. Pada dasawarsa 1930-an tulisan-tulisan Maududi
“membanjir” dan sebagian besar tulisannya mencoba memecahkan masalah-masalah
politik dan budaya yang dihadapi kaum muslimin India, dan sudah tentu semua itu
ditinjau dari sudut pandangIslam.
Pada
awal 1940-an Maududi mendirikan suatu gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri,
yaitu Jama’ati Islami. Gerakan Jama’ati Islami ini disegani terutama
karena para pimpinannya dan anggota-anggotanya yang penuh integritas dan
dedikasi terhadap Islam serta kenyataan bahwa sebagian besar mereka menjadi mushsinin dalam kaliber masing-masing.
Abdul
A’la al-Maududi sepanjang hayatnya telah mengabadikan hidupnya untuk agama dan
umat Islam dunia. Selama kehidupan perjuangannya yang berkisar sekitar 60
tahun, Maududi tidak pernah “pensiun” dari kegiatan – kegiatannya untuk
menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat manusia modern yang dirundung
kebingungan ideologis, falsafi dan sosial-politik.
Pemikiran-pemikiran
Maududi tidak saja berpengaruh dan bergema di kawasan sub-kontinen
Indo-Pakistan, melainkan juga diseluruh dunia Islam, dari Indonesia sampai ke
Turki. Maududi, sebagaimana halnya Muhammad Natsir dari Indonesia, juga menjadi
salah seorang tokoh Rabhitah al’-Alam al-Islami yang berpusat di Makkah.
Tujuan Negara Menurut Islam
Ada
dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama teori Hegel
yang mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci, katakanlah Davine
Idea di muka bumi, dimana setiap warga
negara dapat mengidentifikasi martabatnya, statusnya, dan arah kehidupannya.
Citra Hegelian tentang negara adalah bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci
karenanya ia harus berada di atas segala-galanya.
Sebaliknya
adalah konsep Marx. Walaupun ia bangga menjadi murid spiritual Hegel, tetapi
pandangan tentang negara bertolak belakang dengan pandangan gurunya. Marx
berpendapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin operasi
(pewnindasan), tirani dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat – alat
produksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang
mencelakakan kelas pekerja.
Yang
senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam ajaran Islam
sudah terlalu jelas. Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi
antar-manusia, antar-kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk
memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara
dan melindungi seluruh negara dari
invasi asing. Ketiga, untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang
sebagaiman dikehendaki Al-Quran. Keempat, untuk memberantas setia kejahatan (munkarat) dan mendorong
setiap kebijakan yang dengan telah
digariskan oleh Al-Quran. Kelima,
menjadikan negara itu sebagai tempat
tinggal yangh teduh dan mengayomi bagi
setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.
BAB
I
AJARAN-AJARAN
AL-QUR’AN DI BIDANG POLITIK PEMERINTAHAN
1. Konsep
Tentang Alam Semesta
Teori
Al-Qur’an di bidang politik pemerintahan bertumbuh atas konsepnya yang mendasar
bagi alam semesta., yaitu konsep yang harus diberi perhatian sedalam-dalamnya
agar kita dapat memahami teori itu dengan pemahaman yang tepat. Dan sekiranya
konsep ini dipelajari dengan pandangan filsafat kepemerintahan, niscaya akan
tampak :
a. Bahwasanya
Allah SWT adalah Pencipta Alam semesta ini, Pencipta manusia dan pencipta
segala sesuatu yang dapat digunakan oleh manusia di alam ini.
b. Bahwasanya
Allah adalah pemilik makhluk ini, penguasanya dan Yang mengurusi segala
urusannya,
c. Al-Hakimiyah (kekuasaan
juridiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini) hanya bagi Allah,
tidak mungkin akan menjadi hak siapapun selain Dia dan tidak ada seorangpun
yang memiliki sesuatu bagian daripadanya.
d. Secara
keseluruhan, sifat-sifat al-hakimiyah dan
semua kekuasaannya terkumpul di tangan-Nya SWTdan tidak seorangpun di alam
semesta ini menyandang sifat-sifat atau memperoleh kekuasaan-kekuasaan ini.
2. Al-Hakimiyah
Al-Ilahiyah
Hak
hakimiyah dalam segala urusan manusia
adalah milik-Nya sendiri dan tidak suatu kekuatan pun selain-Nya, baik yang
berhubungan dengan manusia atau bukan dengan manusia, memiliki kekuasaan untuk
menetapkan hukum atau menjatuhkan hukumnya sendiri. Dan sudah barang tentu
terdapat perbedaan yang esensial, yaitu bahwa kekuasaan Allah yang tertinggi
dalam tatanan alam ini berdiri dengan kekuatan-Nya yang tidak membutuhkan
pengakuan terlebih pada manusia, dalam bagian bawah sadar kehidupannya, menaati
hukum Allah sebagaimana alam seluruhnya taat kepada-Nya; dari bagian yang
sekecil-kecilnya, yaitu dzarrah atau
atom, sampai tatanan angkasa dan kumpulan-kumpulannya. Adapaun bagian kehidupan
manusia yang sadar, maka Allah tidak melaksanakan hukum-Nya padanya dengan
kekuatan dan paksaan, tetapi Ia menyeru kepada manusia melalui kitab-kitab yang
diwahyukan dari sisi-Nya, yang diakhiri oleh kitab Al-Qur’an, agar mereka
tunduk kepada penguasa tertinggi-Nya dan taat kepada-Nya dengan sukarela serta
atas kehendak mereka sendiri.
Kekuasaan
tertinggi Allah di bidang perundang-undangan
Al-Qur’an
al-karim menetapkan bahwa ketaatan harus atau tidak boleh tidak-hanya kepada
Allah semata-mata dan wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram atas
seseorang meninggalkan peraturan ini dan mengikuti undang-undang buatan manusia
lainnya, perundang-undangan yang dibuat sendiri atau
kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya.
IV. Kedudukan Rasul
Perundang-undangan
ini, yang di dalam ayat-ayat terdahulu telah diperintahkan oleh Allah agar kita
mengikutinya dan berjalan diatasnya, tidak seorangpun dapat menyampaikannya
kepada manusia kecuali seorang Rasul (utusan) Allah. Dia sendirilah yang
menyampaikan hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya kepada manusia, dan ia
sendirilah yang menafsrikan dan menguraikannya dengan ucapan dan perbuatannya.
Maka Rasul adalah yang mewakili kekuasaan tertinggi Allah di bidang
perundang-undangan dalam kehidupan manusia.
V. Undang-undang tertinggi
Hukum
Allah dan Rasul-Nya, menurut Al-Qur’an adalah undang-undang tertinggi bagi
seorang mukmin tidak ada pilihan lain kecuali patuh dan taat kepada-Nya. Tidak
seorang Muslim pun berhak mengeluarkan suatu hukum dalam suatu perkara yang
hukumnya telah dikeluarkan oleh Allah dan Rasulnya. Menyimpang dari Hukum Allah
dan Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.
VI. Khilafah
Bentuk
pemerintahan manusia yang benar, menurut pandangan Al-Qur’an ialah adanya
pengakuan Negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah SWT dan Rasul-Nya di
bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan
kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakinin bahwa khilafahnya itu
mewakili Sang Hakim yang sebenarnya yaitu Allah SWT.
VII. Hakikat Khilafah
Doktrin
tentang khilafah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an al-Karim ialah bahwa segala
sesuatu diatas bumi ini berupa daya dan kemampuan yang diperoleh oleh seorang
manusia hanyalah karunia dari Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan manusia
dalam kedudukan sedemikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian-pemberian
dan karunia-karunai yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan
keridhaan-Nya. Bedasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik
dirinya melainkan ia hanya khilafah atau Sang pemilik yang sebenarnya.
VIII. Khilafah Kolektif
Adapun
yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga
atau kelas tertentu tapi komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan
menerima prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang telah disebutkan tadi
bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar ini.
IX. Batas-batas Ketaatan kepada Negara
Negara
yang ditegakkan untuk melaksanakan system khilafah ini wajib ditaati oleh rakyat
dalam hal-hal yang ma’ruf atau baik-baik saja, dan tidak ada kewajiban taat
kepadanya atau membantunya di dalam soal-soal maksiat (segala sesuatu yang
berlawanan dengan syari’at Allah dan perundang-undangan-Nya).
X. Permusyawaratan
Tugas
Negara harus dilaksanakan secara sempurna bermula dengan mendirikan dan
menyusun bata yang pertama di dalamnya, kemudian memilih kepala Negara dan
pejabat-pejabat yang bertanggung jawab (ulil-amri),
dan berakhir dengan hal-hal yang bersangkutan dengan perundang-undangan dan
perkara-perkara eksklusif berdasarkan permusyawaratan kaum muslimin, baik yang
diwujudkan secara langsung atau dengan cara memilih para wakil rakyat di dalam
suatu system pemilihan yang benar.
XI. Sifat-Sifat Ulil Amri
a. Mereka
itu haruslah orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima baik
prinsip-prinsip tanggung jawab pelaksanaan tatanan khilafah sesuai dengan itu
yang diserahkan kepada mereka,
b. Mereka
tidak boleh terdiri dari orang-orang zalim, fasik, fajir dan lalai.
c. Mereka
tidak boleh terdiri dari orang-orang bodoh dan dungu
d. Mereka
itu haruslah orang-orang yang amanat
XII. Konsep Dasar Perundang-undangan
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu,
kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian”…. (Q.S. 4:59)
XIII. Sasaran Negara dan Tujuannya
Negara
harus bekerja untuk dua tujuan yang utama. Pertama,
menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta
menghancurkan kesewenangan. Kedua,
menegakkan system berkenaan dengan mendirikan shalat mengeluarkan zakat melalui
segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah,
XIV.
Hak-Hak asasi
Seorang
Muslim ataupun non-Muslim dari rakyat di bawah tatanan ini memiliki hak-hak
yang harus ditanggung oleh Negara dan dipelihara dari segala pelanggaran atau
penindasan.
XV. Hak-Hak Pemerintah atas Rakyatnya
a. Agar
mereka taat kepadanya
c. Agar
mereka membantunya dalam semua usaha kebaikan (berpartisipasi)
d. Agar
mereka bersedia mengorbankan jiwa dan darah mereka dalam mempertahankan dan
membelanya.
XVI. Pokok-pokok Politik Islam
Pemerintahan Luar Negeri
a. Menghormati
perjanjian-perjanjian dan fakta-fakta serta keharusan mengumumkan penghapusan
dan penghentiannya dan menyampaikan epadanya pihak lain apabila tidak dapat
dihindari lagi.
b. Menjaga
amanat
c. Keadilan
internasional
d. Menghormati
batas-batas Negara netral pada waktu perang
e. Cinta
damai
f. Menghindari
rasa tinggi hati
g. Memperlakukan
kekuatan-kekuatan yang tidak menentang dengan perlakuan yang baik
h. Membalas
kebaikan dengan kebaikan
i.
Memperlakukan kaum
penyerang dengan perlakuan yang sama dengan perlakuan mereka sendiri
XVII. Ciri khas Negara Islam
a. Negara
ini didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka dan bersedia
menunjukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam
b. Bahwasanya
kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi di dalamnya adalah sepenuhnya bagi
Allah SWT sendiri sampai suatu batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi.
c. Sistem
ini bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi tentang ketentuan bahwa
terbentuknya pemerintahan
d. Negara
ini adalah Negara yag berdasarkan konsep-konsep tertentu dan sudah barang tentu
dikelola oleh orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima
gagasan-gagasannya
e. Negara
ini berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak ada atas dasar
ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis lainnya.
f. Semangat
hakiki yang menjiwai Negara ini ialah mengikuti akhlak, bukan mengikuti politik
serta tujuan-tujuannya, serta menjalankan urusan-urusannya berdasarkan takwa
kepada Allah dan takut kepada-Nya.
g. Negara
ini tugasnya bukanlah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepolisian semata-mata.
h. Nilai-nilai
asasi Negara ini ialah persamaan hak, kedudukan dan kesempatan serta
pelaksanaan undang-undang, saling tolong menolong dlaam kebaikan dan ketakwaan
i.
Telah ditetapkan adanya
hubungan keseimbangan antara individu dan Negara dalam system ini
BAB
II
DASAR-DASAR
PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Ajaran-ajaran
Al-Qur’an yang berkaitan dengan pemertintahan seerti yang telah disebutkan
dalam bab sebelumnya, telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw. Dalam praktek
amaliahnya. Beliau telah memilih masyarakat Islam-yaitu masyarakat yang lahir
dengan munculnya Islam, kemudian meraih kesuksesan politis setelah peristiwa
hijrah ke Madinah sebagai bentuk negaranya yang bertumpu atas dasar
ajara-ajaran politis ini. Adapun ciri khas yang membedakan system Negara ini
dengan lainnya ialah: kekuasaan perundang-undangan Ilahi, keadilan antar
manusia, persamaan antar kaum muslimin, tanggung jawab
pemerintah,permusyawaratan, ketaatan dalam hal kebijakan, berusaha mencari
kekuasaan untuk diri sendiri adalah terlarang, tujuan adanya Negara, Amr bil-ma’ruf nahyu ‘anil-munkar.
BAB
III
KHILAFAH
RASYIDAH (KEKHALIFAHAN YANG ADIL DAN BENAR DAN CIRI-CIRI KHASNYA)
Umat
telah menanamkan sistem khilafah ini sebagai “khilafah yang adil dan benar”
atau “al-khilafah ar-rasyidah”. Dan
itu adalah kata-kata yang menjelaskan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara
yang benar bagi penggantian kedudukan Rasulullah menurut pandangan kaum muslimin.
Khilafah berdasarkan
pemilihan
Umar
bin Khattab r.a. telah mencalonkan Abu Bakar as-Shiddiq r.a. untuk menduduki
jabatan khilafah menggantikan kedudukan Nabi saw. Dan penduduk kota Madinah
yang pada hakikatnya merupakan wakil-wakil negeri secara keseluruhan telah
menerimanya dengan baik. Mereka itu telah membai’atnya dengan sukarela atas dasar pilihan mereka tanpa ada
paksaan ataupun tekanan. Dan ketika Abu Bakar r.a. meninggal dunia, ia
mewasiatkan khilafah bagi Umar r.a. dengan mengumpulkan penduduk di masjib Nabi
saw. Kemudian berkata kepada mereka: “Apakah kalian menyetujui orang yang
kutunjuk untuk menggantikan kedudukanku sepeninggalku? Sesungguhnya aku, demi
Allah, telah bersungguh-sungguh berdaya-upaya memikirkan tentang hal ini, dan
aku tidak mengangkat seseorang dari sanak keluargaku, tapi aku telah menunjuk
Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Maka dengan dan taatlah kepadanya.”
Pemerintahan
Berdasarkan Musyawarah
Keempat
khilafah tersebut tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan
pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun lainnya keculai dengan
bermusyawarah pada kaum cendekiawan diantara kaum muslimin.
Amanat Baitul Mal
Para
khulafaurrasyiddin dan para sahabat Nabi saw. Yang mulia beranggapan bahwa
Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu, mereka
tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya atau pengeluaran suatu darinya
yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Konsep Pemerintahan
Bagaimana
kira-kira pandangan orang-orang itu terhadap pemerintahan? Dan bagaimana
pikiran-pikiran mereka yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban serta
jabatan-jabatan mereka sebagai penguasak? Dan politik apakah yang mereka jalani
dalam pemerintahan mereka itu? Hal-hal seperti ini telah mereka jelaskan
sendiri kepada rakyat banyak dalam pidato dan ucapan mereka. Ketulusan adalah
amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kamu akan aku
anggap sebagai orang yang kuat sampai aku memperoleh kembali baginya haknya,
insya Allah, dan orang yang kuat diantara kamu adalah lemah menurut anggapanku
sampai aku berhasil mengambil hak itu sendiri.
Kekuasaan Undang Undang
Para
khulafaurrasyiddin itu tidak pernah menempatkan diri mereka di atas
undang-undang. Mereka juga tidak pernah memberikan bagi sanak kerabat mereka
suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada undang-undang dan mereka itu di
hadapan undang-undang dianggap sama seperti rakyat yang lain, baik kaum
muslimin ataupun orang-orang non-Muslim.
Pemerintah Tanpa
Ashabiyah (Fanatisme Kesukuan)
Perlakuan
yang sama rata antara manusia semuanya merupakan ciri-ciri masa Islam yang
pertama, sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan jiwanya yang jauh dari
segala bentuk ashabiyah (fanatisme) yang bersifat kesukuan, kebangsaan atau
ketertarikan kepada tanah air. Sungguh pun demikian, topan kfanatikan kesukuan
telah menyerbu dan menghembus dengan kencangnya sepeninggalan Rasulullah saw.,
dan merupakan salah satu pendorong munculnya orang-orang yang mengaku sebagai
Nabi dan berkobarnya grakan kemurtadan.
Jiwa Demokrasi
Diantara
ciri-ciri sistem kekhalifahan ini ialah terwujudnya kemerdekaan yang sempurna
untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat. Para khalifah ini tidak pernah
menutup diri dari rakyat banyak, tapi sebaliknya, mereka seringkali duduk
bersama anggota ahli musyawarah dan ikut serta dalam diskusi-diskusi dan
pembahasan-pembahasan, mereka tidak mempunyai satu partai resmi yang tersendiri
dan tidak ada pula partai oposisi yang menentang mereka.
BAB
IV
DARI
MASA KHILAFAH RASYIDAH HINGGA MASA KERAJAAN
Awal Perubahan
Perubahan
ini bermula ketika Umar bin Khattab r.a. merasa khawatir hal tersebut akan
terjadi. Di antara hal-hal yang paling ditakuti ketika hampir ajalnya ialah
bahwa para penggantinya akan mengadakan perubahan politik yang telah diikuti
sejak masa Rasulullah saw. Sampai masanya sendiri yaitu yang berhubungan dengan
perlakuan terhadap kabilah-kabilah dan suku-suku mereka sendiri, sanak kerabat
serta keluarga mereka.
Tahap Kedua
Pada
suatu peristiwa, beberapa oang telah marah berkenaan dengan tindakan pejabat
Usman atas kota Basrah, yaitu Sa’id bin Ash. Mereka mencoba mengorbankan suatu
pemberontakan melawannya, namun rakyat banyak tidak membantu mereka. Dan ketika
pada saat itu, Abu Musa al Asy’ari menyeru kepada massa rakyat untuk
memperbaharui bai’at mereka kepada Usman r.a. mereka pun berpaling dari
pemimpin-pemimpin pemberontkan dan bergegas untuk membai’atnya kembali.
Tahap Ketiga
Dalam
hal ini Ali r.a. adalah yang paling utama antara keempat orang itu ditinjau
dari segala segi sesuai dengan kenyataan ketika Abddurrahman bin ‘Auf r.a.
menetapkan – setelah permusyawaratan dan penyelidikan yang diadakan untuk
mengetahui pendapat umum umat sepeninggal Umar r.a. – bahwa diantara
tokoh-tokoh yang saling dipercayai oleh umat setelah Usman r.a. adalah
Sattidina Ali r.a. maka wajarlah apabila mereka kembali kepadanya dan mengangkatnya
sebagai pemimpin mereka. Dan pada saat itu tidak seorang pun selain dia baik
kota Madinah maupun di seluruh dunia Islam., soerang yang dapat dipercaya oleh
kaum muslimin seluruhnya, sehingga seandainya dia mencalonkan dirinya untuk
pemilihan sesuai dengan cara-cara modern sekarang ini niscaya mayoritas suara
umat akan berada di pihaknya.
Tahap Keempat
Ada
beberapa orang yang telah menyebarkan desas-desus bahwa Ali hendak membunuh
kaum laki-laki kota Basrah dan menawan kaum wanitanya. Maka ia pun segera
membantah desas-desus ini sambil berkata : “Sungguh tidak mungkin aku berbuat
yang demikian itu terhadap orang-orang kafir.”
Tahap Kelima
Pada
waktu itu, sesuatu yang pertama kali dilakukan oleh Ali r.a. setelah ia memikul
jabatan khilafah atas pundaknya, ialah memecat Mu’awiyah dari kedudukannya di
Sya pada bulan Muharram 36H dan mengangkat Sumbul bin Hunaif sebagai
penggantinya. Tapi wali yang baru ini segera setelah sampai ke Tabuk, didatangi
oleh segerombolan pasukan berkuda dari wilayah Syam yang berkata padanya:
“Seandainya Usman yang mengutusmu, maka kami akan mengucapkan ‘selamat datang’
kepadamu tapi bila selain itu kembalialah!”
Tahap Keenam
Sebenarnya
ini merupakan kesempatan terakhir untuk menjaga agar sistem tetap tidak berubah
menjadi sistem kerajaa. Kesempatan ini masih ada seandainya kedua hakim
penengah melaksanakan apa yang telah disepakati bersama dan berpegang taguh
pada persyaratan yang telah diberikan kepada mereka sebagai hakim mengeha yang
keputusan penyelesaian.
Tahap Terakhir
Berkuasanya
Mu’awiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang
menyimpangkan negara Islam atau ad-Daulah
al-Islamiyah dari sistem khilafah ke sistem kerajaan.
BAB
IV
PERBEDAAN
ANTARA KHILAFAH DAN KERAJAAN
1.
Perubahan aturan
pengangkatan khalifah
Sistem
kerajaan telah dimulai dengan berubahnya kaidah ini. Adapun “khilafah”
Mu’awiyah tidak termasuk kedalam jenih khilafah rasyidah (khiilafah yang yadil
dan bijak), yakni dengan cara kaum musliminlah yang menetapkan khalifah mereka,
sehingga tak seorangpun akann menduduki jabatan tersebut kecuali dengan
persetujuan dan permusyawaratan mereka. Sebab Mu’awiyah sendiri memang sangat
menginginkan untuk menjadi khalifah dengan cara apapun dan untukitu, ia telah
berperang sehingga berhasil menduduki jabatan khalifah.
2.
Perubahan cara
hidup para khulafa
Perubahan
kedua yang paling jelas setelah ini ialah kenyatan bahwa para “khilafah raja” –
kalau istilah ini dapat dibenarkan – telah memilih cara hidup kaisar dan kisra
semenjak permulaan masa kerajaan dan meninggalkn cara hidup Nabi saw. Dan para
khulafaurrasyiddin yang keempat. Mereka ini telah mendirikan istana-istana
kerajaan untuk kediaman mereka yang dikelilingi oleh para pengawal dan intel
khusus dan mereka juga memerintahkan para pengawal berjalan di depan rombongan
kerajaan mereka. Para penjaga menghalangi pintu diantara mereka dan rakyat,
terputuslah hubungan rakyat dengan mereka secara langsung, dan semenjak itu,
rumah-rumah mereka serta segala kegiatan mereka tidak lagi di tengah-tengah
rakyat. Oleh sebab itu mereka mngangkat direktur, sekretaris pribadi agar
melalui orang-orang itu mereka dapat mengetahui ihwal-ihwal rakyat, sedangkan
orang itu adalah pembantu yang tidak mungkin akan suatu kebenarannya. Menjadi
musthil bagi rakyatnya untuk pergi menemui para penguasa dan mengajukan
keluhan-keluhan mereka atau menyampaikan kebutuhan mereka secara langsung tnpa
perantara.
3.
Perubahan kondisi
Baitul Mal
Adapun
dalam masa sistem kerajaan, maka konsep ini telah mengalami perubahan bsar dan
jadilah kas negara sebagai milik penguasa dan kelurganya. Rakyat hanya wajib
menyetor pajak kepadanya tanpa memiliki hak untuk mempertanyakan pemerintah dan
mmbuat perhitungan dengannya. Cara hidup para raja dan para amir, bahkan cara
hidup para pejabat mereka dan komanda mereka pada masa tiu, tidak memiliki
ciri-ciri lain kecuali kepemilikan yang sempurna dan mutlak atas baitul-mal.
Diantara harta kekayaan itu, terdapat perkampungan fadak semenjak wafatnya Nabi
saw telah menjadi milik negara disepanjang masa kekuasaan para khulafa.
Perkampungan ini oleh Abu Bakar r.a. telah ditolak untuk diberikan kepda puteri
Rasulullah saw sebagai warisan dari ayahandanya, namun ketikaMarwan bin Hakam
berkuasa, ia telah memasukkannya ke dalam milik pribadinya dan mewwariskannya
kepada putra-putranya sepeninggalnya.
4.
Hilanngnya
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat
Kebebasan
seperti ini selalu terjaga dan terjamin bagi rakyat, pada masa para
khuafaurrasyiddin, dengan cara yang paling sempurna. Para khulafa itu sendiri
bukan saja membolehkan adanya kemerdekaan ini, tapi mereka bahkan menganjurkan
dengan sangat kepada rakyat agar menggunakannya. Hardikan dan ancaman sama
sekali tidak merupakan balasan bagi orang yang menyerukan kebenaran tapi
sebaliknya, ia memperoleh pujian, terimakasih, dan penghargaan Pnindasan bukan
mnjadi harga bagi kritik para pengkritik, tapi mereka akan diberi sanggahan
atas kecaman-kecaman merka dengan jawaban-jawaban yang memuaskan yang dapat
masuk akal dan diterima. Tapi keadaan telah berubah dan khilafah telah beralih
menjadikerajaan, hati nurani rakyat ditutup rapat-rapat dan lidah-lidah mereka
diikat kuat-kuat dan seakan para penguasa berkata kepada mereka: “Apabila
kalian ingin membuka mulut-mulut kalian, maka bukalah untuk mengucapkan
pujian-pujian dan ucapan-ucapan yang mencari muka serta mengagungkan kami, atau
jika tidak, lebih baik kalian diam saja, dan seandainya hati nurani kalian
tetap juga memiliki kekuatan dan semangat yang menyebabkan kalian tidak dapat
menahan diri dari mengucapkan kebenaran, maka bersiaplah untuk penjara,
pembunuhan, penyiksaan dan pembuangan.”
5.
Hilangnya kebebasan
peradilan
Dan
tidak seorang pun, berapapun tinggi kedudukan dan besar wibawanya yang berani
ikut campur dalam tindakannya mahkamah sedemikian rupa, sehingga sorang hakim
dapat menjatuhkan keputusan yang merugikan para khalifah itu sendiri, bahkan
dalam prakteknya seringkali membuat keputusan mereka. Namun ketika sistem
khilafah telah berubah menjadi sistem kerajaan prinsip ini tidka dapat berjalan
dengan mulus, bahkan sedikit demi sdikit makin menghilang.
6.
Berakhirnya
Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Ketika
sistem hilafah tlah beralih menjadi sistem kerajaan, berubahlah kaidah ini.
Permusyawaratan digantikan dengan kediktatoran pribadi dan para raja menjauhkan
diri dari para ahli ilmu yang berani menyatakan segala yang haq dan mengenali yang haq. Sebagaimana orang-orang ini pada
gilirannya juga menjauhkan diri dari para raja. Dan apabila para raja stelah
itu, mengangkat para penasihat untuk diajak musyawarah, maka mereka itu terdiri
dari pejabat-pejabat mereka, komandan mereka, amir keluarga kerajaan atau
pejabat-pejabat istana bukan dari kaum pemikir yang dipercayai oleh umat,
keahlian dan amanat serta keteguhan agama mereka.
7.
Munculnya
kefanatikan kesukuan atau Ashabiyah Qaumiyah
Dalam
bukunya al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu
Katsir telah menukilkan dari Ibnu memasuki Damsyik, api Ashabiyah (kefanatikan
kesukuan) antara orangorang Yaman dan Mudhar sdang sedang berkobar-kobar di
pusat ibukota pemerintahan Bani Umayyah, sehingga orang dapat melihat adanya
dua mihrab di setiap masjid dan dua mimbar di Masjid Jami’ yang dinaiki oleh
dua orang imam, masing-masing dari kelompok tidak bersedia melaksanakan shalat
dibelakang imam yang bukan berasal dari kaumnya sendiri.
8.
Hilangnya Kekuasaan
Hukum
Diantara
bencana terbesar yang telah melanda kaum muslimin di zaman sistem kerajaan
ialah ppelanggaran terhadap kekuasaan hukum, padahal ia termasuk diantara
prinsip-prinsip dasar yang terpenting dalam pemerintahan Islam.
BAB VI
PERTIKAIAN-PERTIKAIAN YANG BERKAITAN
DENGAN ALIRAN-ALIRAN ATAU MAZHAB-MAZHAB KAUM MUSLIMIN, AWAL MULANYA DAN
PENYEBABNYA
Situasi dan kondisi saat kilafah rasyidah
telah hilang eksistensinya ini, demikian pula penyebab-penyebab ini membawa
akbiat yang penting yakni munculnya perselisihan kemazhaban dalam barisan umat
Islam.
Akibatnya
pertikaian, maka lahirlah teori-teori yang masing-masing berdiri sendiri, dan
pada mulanya hanya bersifat politis semata-mata kemudian para pendukungnya
sedikit demi sedikit terpaksa menyusun beberapa teori yang bersifat keagaamaan
demi memperkuat pihak mereka dan memperkokoh kedudukan mereka. Dengan demikian
berubahlah kelompok politik ini sedikit demi sedikit sehingga akhirnya menjadi
kelompok-kelompok mazhab atau aliran ideologis.
Firqah-firqah
yang beraneka ragam yang muncul pada masa pengelompokkan dan perselisihan ini
pada hakikatnya semua akarnya hanya terbatas pada empat kelompok yakni Syi’ah
Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
BAB VII
IMAM ABU HANIFAH DAN KARYA AGUNGNYA
Penjelasan Akidah Ahlus-Sunnah
Imam
Abu Hanifah adalah orang pertama yang telah mengkodifikasikan akidah
Ahlus-Sunah wal-Jama’ah dalam menghadapi kelompok keagamaan ini dalam bukunya,
al-Fiqhul-Akbar
Tentang para Khulafaurrasyiddin
“Dan
kami menetapkan dan mengakui kekhalifahan setelah Rasulullah saw., pertama
untuk Abu Bakar r.a. sebagai diutamakan dan didahulukan atas semua umat,
kemudia Umar bin Khattab r.a., kemudia Utsman bin Affan r.a., kemudian Ali bin
Abi Thalib r.a. Mereka itulah khulafaurrasyiddin dan imam-imam yang beroleh petunjuk.”
Diuraikan secara lebih luas dalam buku Akidah
Thahawiyah.
Kodifikasi hukum-hukum Islam
Tapi
sesungguhnya karya terbesar Abu Hanifah yang telah menepatkannya dalam sejarah
Islam pada kedudukan yang agung langgeng dan tidak pernah redup sinarnya ialah
bahwasanya ia dengan ijtihad dan kekuatannya yang khusus, telah mengisi kembali
kekosongan besar yang terjadi dalam tatanan hukum Islam akibatnya tertutupnya
pintu permusyawaratan, setelah berlalunya masa khulafaurrasyiddin.
BAB VIII
MAZHAB DAN PENDIRIAN ABU HANIFAH
MENGENAI KHILAFAH DAN MASALAH-MASALAH YANG BERKAITAN DENGANNYA
1.
Masalah Hakimiyah atau Hak tertinggi yuridiksi dan
kedaulatan hukum
Adapaun
teori Abu Hanifah dalam soal hakimiyah ini ialah sama seperti doktrin Islam
yang asasi dan jelas, yaitu bahwa sang penguasa yang asli adalah Allah,
sedangkan Rasul harus ditaati sesuai dengan sifatnya sebagai wakil dan
pelaksana kehendak-Nya.d dan bahwasanya syari’at Allah dan Rasul-Nya adalah
konstitusi tertinggi yang tidak ada pilihan lain terhadapnya kecuali taat dan
mengikuti. Dan karena Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih (ahli hukum), dapat
menjelaskan hal ini dengan bahasa hukum fiqih.
2.
Cara yang benar bagi berlangsungnya Khilafah
Dalam
masalah khilafah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menguasai pemerintahan
dengan kekuatan kemudian mengambil bai’at setelah itu secara paksa bukanlah
cara yang sah menurut syari’at bagi berlangsungnya khilafah. Khilafah yang
benar ialah yang berdasarkan kesepakatan dan permusyawaratan para ahli pikir
yang memang patut diajak bermusyawarah.
3.
Persyaratan untuk berhak menjadi khalifah
Kebanyakan
persyaratan itu sudah diterima baik dengan sendirinya pada masa tersebut,
seperti persyaratan beragama Islam, laki-laki, merdeka, berilmu, sehat panca
indera, tubuhnya dan lain-lain sebagainya.
BAB IX
IMAM ABU YUSUF DAN KARYA AGUNGNYA
Nama
aslinya Ya’kub, dari salah satu suku bangsa Aran bernama Bujailah. Keluarganya
disebut Anshari karena hubungan antara mereka dengan kaum Anshar kota Madinah
melalui datuk dari Ibunya
Ia
menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam ilmu hadis, tafsir, sejarah umum,
sejarah bangsa Arab, bahasa, sastra, ilmu kalam (teologi) dan terutama sekali
ia sangat mendalami ilmu hadis dan menghafal hadis dalam jumlah besar.
Kodifikasi Fiqih menurut mazhab Hanafi, Kitab al-Kharaj,
No comments:
Post a Comment