My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Pembaharuana islam di Indonesia dilatarbelakangi karena meraja relanya bid’ah dan khurafat yang membuat umat islam dalam keadaan statis, sehingga umat islam menjadi mundur dan terbelakang.
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil gusdur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam.
Pembaruan pemikiran bertujuan unutk memurnikan akidah dari segala macam kepercayaan yang menyimpang dari akidah islam. Selain itu pembaruan pemikiran bertujuan untuk membuat umat islam menjadi maju. Salah satu tokoh yang berjuang dalam pembaharuan pemikiran isalam di Indonesia adalah Nurcholis Madjid.
Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut (?) dan bagaimana pemikiran politik kedua tokoh tersebut (?) Inilah yang menjadi beberapa pertanyaan yang akan coba pemakalah uraikan pada pembahasan makalah ini. Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut?
2.      Bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam politik ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui profil kedua tokoh yaitu Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
2.      Untuk mengetahui pemikiran politik Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang lahir pada bulan Sya‘ban, bulan kedelapan. Tepatnya 4 Sya‘ban 1940 atau 7 September. Akan tetapi, ulang tahunnya sendiri lebih sering dirayakan pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Kedua kakek Gus Dur, yakni Kai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy‘ari adalah ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati. Keduanya adalah tokoh pendiri NU.[1]
Kiai Hasyim Asy‘ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah, merupakan tokoh pendiri NU pada tahun 1926. Sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional, beliau juga dikenal sebagai seorang Nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan Nasionalis pada periode sebelum perang. Setelah NU didirikan, kakek Gus Dur ini diangkat sebagai Ra’is Akbar yang secara harfiah berarti Ketua Agung. Dalam posisi ini, beliau menjadi Kepala Penasihat Agama dalam organisasi NU. Gelar lain dari kakek Gus Dur ini adalah Guru Agung atau Hadrat al-Syaikh.Sedangkan kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri, juga merupakan tokoh kunci organisasi NU bersama dengan Kiai Hasyim Asy‘ari. Selain itu beliau juga aktif dalam pergerakan nasional.
Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, tumbuh besar dan belajar di madrasah ayahnya, Hasyim Asy‘ari. Sedangkan ibu dari Wahid Hasyim (nenek Gus Dur) adalah puteri dari keluarga ningrat Jawa. Wahid Hasyim dibesarkan dengan perlengkapan untuk menjadi bagian dari masyarakat elit perkotaan. Setelah mengenyam dua tahun pendidikan di Mekah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengembangkan gagasannya, yakni mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik di Tebuireng. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai bergabung dalam organisasi NU untuk menyalurkan hasratnya ikut ambil bagian dalam kancah politik serta gerakan Nasionalis.[2]
Ibu kandung Gus Dur bernama Solichah. Ayah Gus Dur menikahi ibunya saat usianya baru menginjak enam belas tahun. Karena usianya yang masih begitu muda saat menikah, maka Solichah tidak mengenyam banyak pendidikan, akan tetapi ia selalu ingin tahu dan memiliki pikiran aktif dan keinginan kuat. Solichah muda mengenyam banyak pendidikan di madrasah milik ayahnya (Kiai Bisri Syansuri). Setelah menikah Solichah mendapatkan bimbingan dari suaminya.
Sebagaimana kebiasan santri Jawa dan kaum muslim ortodoks, Gus Dur menggunakan nama ayahnya setelah namanya sendiri, yakni menjadi Abdurrahman Wahid (Abdurrahman putera Wahid). Akan tetapi, nama resminya lain lagi, yakni Abdurrahman ad-Dakhil. Gus Dur adalah anak pertama dari Wahid Hasyim dan Solichah.[3]
Demikianlah, Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur yang baru berusia empat tahun, ia diajak ayahnya ke Jakarta.Adik laki-lakinya Umar baru saja dilahirkan pada bulan Januari tahun itu tetapi Wahid Hasyim memilih untuk meninggalkan keuarganya di Jombang, dan ia sendiri bersama putera tertuanya pergi menetap di Jakarta. Pada saat ini Wahid Hasyim dan Gus Dur tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan daerah yang dikuasai oleh pengusaha terkemuka, para profesional, dan politikus.[4]
Pada tahun 1949, Gus Dur beserta seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, ayahnya memangku jabatan Menteri Agama. Wahid Hasyim menduduki jabatan selama lima kabinet dan baru melepaskan jabatan pada tahun 1952. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur bersifat ,sekuler. Gus Dur memulai sekolah dasarnya di SD KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga, kemudian di kelas empat. Lalu pindah ke SD Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Di rumahnya, di Jakarta Pusat tersebut, Gus Dur banyak berjumpa dengan tamu-tamu asing yang datang untuk menemui ayahnya, berbicara dalam berbagai bahasa. Di rumah ini pula banyak terdapat buku, majalah dan koran dalam jumlah yang besar. Dalam tahun-tahun di Jakarta ini pula Gus Dur sering menemani ayahnya pergi ke pertemuan-pertemuan, hingga ia dapat menyaksikan bagaimana ayahnya hidup dalam dunianya dengan cara yang sederhana.[5]
Gus Dur menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta, tahun 1957. Sejak saat itu, ia mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Hingga tahun 1959, Gus Dur bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang di bawah bimbingan Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu pemuka NU. Di saat yang sama, Gus  Dur juga belajar di Pesantren Denanyar di Jombang dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Kemudian, di tahun ini pula, Gus Dur pindah ke Jombang dan belajar secara penuh di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan Kiai Wahab Khasbullah, hingga tahun 1963. Pada saat itu, Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional, dan juga telah membiasakan diri untuk secara teratur berziarah ke makam-makam untuk berdoa dan meditasi pada tengah malam. Pada masa ini juga Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.
Tahun 1963 sampai dengan 1971, Gus Dur menghabiskan waktunya diluar negeri. Kota pertama yang menjadi tempat pembelajarannya yang pertama adalah Kairo. Di sana, Gus Dur menempuh studinya di Al-Azhar. Akan tetapi, studi formal Gus Dur mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan metode perkuliahan yang dirasakannya membosankan membuatnya jarang masuk kelas, hal ini mempengaruhi nilai-nilainya. Karena prestasinya yang tidak baik di Al-Azhar, Gus Dur kembali menerima beasiswa untuk studinya di Baghdad. Di sini menjadi tempat berkembangnya intelektual Gus Dur secara mantap. Universitas Baghdad telah menjadi lingkungan yang membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan.
Pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas Baghdad dan pindah ke Eropa. Karena ijazah dari Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus Dur menghabiskan waktunya di Eropa tanpa menjalankan studi formal dan kembali ke Jawa, tahun 1971.
B.     Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid, sejak 1980-an, merupakan tokoh yang paling populer di kalangan NU, Indonesia, bahkan dunia internasional karena pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya yang unik dan sering kontroversial. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal 1980-an yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang cukup luas, melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai kalangan pejabat negara maupun para aktivis pergerakan.
Kedekatannya dengan pemerintah dan kelompok-kelompok agama minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai tokoh Islam yang paling akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra pluralisme dan humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan akan pentingnya terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Islam dan Wacana Negara Salah satu persoalan krusial yang telah cukup lama memancing debat dan kontroversi baik di dalam literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun dalam kajian politik mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang berkaitan dengan hubungan antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu politik Islam Indonesia terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan. Dua kelompok itu adalah kelompok simbolik dan kelompok substantif. Kalangan Islam politik simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik dalam politik dengan melegalformalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apa pun. Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syari'at akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit.
Peta persoalan semacam ini, oleh kalangan intelektual muslim, coba diamati, dikaji, dan disikapi sesuai dengan perspektif keislaman mereka masing-masing. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu intelektual muslim yang juga terus berupaya mencari pijakan-pijakan teologis; Bagaimana sesunguhnya Islam bisa “dibumikan” sebagai ajaran moral yang mampu memberikan makna di dalam proses perubahan sosial-politik yang tengah berlangsung dalam dinamika politik bangsa. Salah satu isu pokok yang menjadi wacana (discourse) yang menarik adalah, bagaimana kaitan Islam dengan negara; dan bagaimana konsep Islam tentang negara?
Dalam pandangan Gus Dur, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mengatakan bahwa “Dalam Islam, Negara itu adalah hukum, al-hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara.” Bagi Gus Dur tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah “Negara Islam.” Tetapi, ada perintah dalam Alquran untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai keutamaan (viruies) yang menjalankan amar ma‘rūf (membangun kebaikan) dan nahī munkar (mencegah keburukan), untuk menegakkan iman dan keadilan di muka bumi. Karena itu, Islam tidak boleh direduksi menjadi negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama. Yang pentingbagi Islam adalah etika kemasyarakatan dan komunitas, alasannya, ialah karena Islam tidak mengenal konsep pemerintah yang difenitif. Dalam persoalan pokok, misalnya, suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsinten; terkadang memakai ikhtilaf, bai'at dan terkadang ahl halli wal ‘aqdi.
Gus Dur sendiri berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk “negara damai” (dār al-sulh) yang harus dipertahankan, karena umat Islam masih bisa melaksanakan syari'ah –dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran Abdurrahman Wahid dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Abdurrahman Wahid ketika berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.
NU sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-niali kebenaran yang diyakininya. Hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklisif, modern, dan moderat. Gus Dur juga sangat bersemangat dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional, sementara kata orang, yang bersangkutan belum tentu demokrat dalam pergaulan sehari-hari. Ini mungkin berkaitan dengan tradisi pesantern, dimana posisi kiai tak dapat diganggu gugut dan tidak bisa dikritik.
Sayangnya, langkah-langkah yang ditempuh Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai Ketua PBNU sering kontradiktif dengan nilai-nilai yang ia perjuangkan. Mungkin karena kurang di topang oleh budaya yang masih tumbuh dan berkembang di kalangan elite NU, sehingga tidak jarang memaksa Gus Dur harus bertindak otoriter dan tidak toleran. Hal ini terlihat ketika ia menunjuk Motori abdul Jalil untuk memimpin PKB, padahal meurut tokoh-tokoh snior NU, Motori bukanlah calon ideal. Juga sebelumnya ketika dia tidak mau mengakomodasi Abu Hasan dalam kepengurusan PBNU, sehingga kemudian Abu Hasan dan kawan-kawan membentuk semacam NU tandingan.
Kalau tokoh-tokoh NU sebelumnya kurang berhasrat menjalin hubungan khusus dengan tokoh-tokoh non-muslim. Gus Dur justru tampak sebaliknya, bahkan tambak lebih akrab dibanding persahabatannya dengan tokoh-tokoh Muslim. Kenyataan ini tidak hanya menimbulkan kecurigan di kalangan tokoh-tokoh Islam terhadapnya, bahkan sampai menimbulkan kemarahan beberapa kelompok umat. Pembelaan dan perjuanagan atas hak-hak minoritas dinilai meyeberang kepentingan umat Islam sendiri.
Begitu juga hubungannya dengan masyarakat internasional, ia sering diundang dan berbicara dalam forum yang berskala internasional yang diadakan di berbagai negara. Ia juga dipercaya untuk duduk sebagai pengurus dalam beberapa organisasi internasional. Ia sangat akrab dengan tokoh-tokoh Barat bahkan sempat memenuhi undangan ke Israel yang mengecewkan banyak orang.[6] 

C.    Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid atau yang lebih populer dengan sebutan Cak Nur lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939 atau bertepatan dengan 26 Muharram 1358 Hijriyah. Ayahnya KH. Abdul Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan dan dipimpin oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Ibunya putri Kiai Sadjad dari Kediri yang juga teman dari KH. Hasyim Asyari.[7]
Nurcholish Madjid muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan politik. Selain keluarganya yang berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ayahnya, KH. Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi "geger" politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Pada usia 14 tahun, Nurcholish Madjid belajar ke Pesantren Darul-Ulum, Rejoso, Jombang. Bertahan selama dua tahun, karena banyak dicemooh oleh teman-temannya karena pendirian politik ayahnya yang banyak terlibat di Masyumi. Nurcholish kemudian dipindahkan ayahnya ke Pesantren Modem Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Menamatkan pendidikannya di Gontor pada 1960, dan sempat mengajar di almamaternya selama satu tahun lebih.
Perpindahan pendidikan Nurcholish Madjid ke Gontor cukup berpengaruh dalam mewarnai intelektualitas Nurcholish Madjid. Yakni tradisi yang memadukan dua kultur, liberal gaya modern Barat dengan tradisi Islam klasik. Kedua kultur ini diwujudkan dalam sistem pengajaran maupun materi pelajaran. Literatur kitab kuning karya ulama klasik juga diajarkan di Gontor tetapi dengan sistem pengajaran modern, suatu sistem yang reiatif kurang dikenal dalam tradisi pesantren klasik ada umumnya.
Semasa menjadi mahasiswa Nurcholish Madjid aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihan Nurcholish Madjid untuk ada di organisasi ini merupakan sesuatu yang tidak biasa bagi para mahasiswa teologi, karena HMI dianggap sebagai gerakan kaum modernis yang cenderung dekat dengan Masyumi. Keberadaan Nurcholish Madjid di HMI sebenarnya banyak dipengaruhi oleh keinginan ayahnya agar ia memiliki rasa hormat yang tinggi pada pemimpin-pemimpin Masyumi, seperti Mohamad Natsir.
Karier organisasi Nurcholish Madjid dimulai dari komisariat HMI, kemudian terpilih sebagai ketua umum HMI selama dua periode (1966-1969) dan (1969-1971). Berbeda dengan kelaziman langgam kepemimpinan di HMI pada umumnya, kepemimpinan Nurcholish Madjid lebih bersumber pada otoritas dan produktivitas intelektualnya daripada misalnya, kecanggihan mengelola sumber-sumber dukungan politik pada umumnya. Kekuatan gagasannya menjadikan sosok Nurcholish Madjid lebih dikenal sebagai pemimpin mahasiswa "gudangnya" pemikiran daripada diatributi sebagai demagog politik.[8]
Selain itu, Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), periode 1967-1969. Pada waktu yang bersamaan Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum dan pendiri International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO), suatu himpunan organisasi mahasiswa Islam se-dunia, periode 1967-1969.
Selepas menjabat kepemimpinan di HMI, pada periode yang kedua, 1971, Nurcholish Madjid lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca dan menulis, selain juga menghadiri sejumlah undangan diskusi dan forum-forum ilmiah lainnya. Tetapi Nurcholish Madjid relatif menahan diri untuk tidak menanggapi berbagai kritikan dan tudingan yang dialamatkan kepadanya yang pada kurun waktu itu tengah mencapai klimaksnya.
Menjelang berakhirnya kepemimpinan Soeharto pada bulan Mei 1998, Nurcholish Madjid, merupakan salah satu, dari tokoh-tokoh muslim yang diundang untuk bertemu dengan Presiden Soeharto pada tanggal 19 Mei 1998. Nurcholish Madjid dalam pertemuan antara sejumlah tokoh tersebut, secara langsung mengemukakan kepada Soeharto bahwa yang dimaksud dengan reformasi oleh rakyat adalah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Terhadap sikap Nurcholish Madjid ini, Soeharto tidak keberatan, asalkan sesuai konstitusi.
D.    Perjalanan Intelektual Nurcholish Madjid
Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan "Islam yes, partai Islam no". Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi "Tuhan" baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi  Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu  dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak  bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul "Muslim Intellectual Responses to "New Order" Modernization in Indonesia". Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo.
Mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1986, dan menjadi anggota MPR-RI pada tahun 1988. Menjadi guru besar tamu di Mc Gill University, Montreal, Canada, 1991-1992, sebelumnya juga mendapatkan Fellow dalam Eisenhower Fellowship1990. Nurcholish Madjid juga pernah tercatat sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1998. Menjabat anggota Dewan Penasihat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) 1999, dan Anggota Tim 11 yang menyeleksi partai-partai peserta pemilu 1999. Hingga saat ini masih menjabat sebagai Rektor di Universitas Paramadina Mulya dan pengajar pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.[9]
Pemikiran politik Nurcholish yang semakin memasuki ranah filsafat terjadi saat ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, "Tidak Ada Negara Islam", yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth 'i (jelas) untuk membentuk negara Islam.

E.     Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid

Menurut Nurcholish Madjid, untuk semua tujuan sosial politik, manusia memang harus kembali kepada naturnya, yaitu fitrah manusia yang suci (hanif). Dan dari sini pula Nurcholish Madjid membangun dasar teologis mengenai Islam sebagai agama kemanusiaan yang nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yang sekaligus menjadi inti pemikiran keagamaan Nurcholish yang mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting di sini untuk mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, seperti yang telah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu menjadi dasar ceramah-ceramah maupun tulilsan-tulisannya,baik mengenai agama Islam maupun politik sebagaimana berikut:
“(1) Manusia diikat dalam suatu perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dari kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya; (2) Hasilnya ialah kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika seandainya tidak ada pengaruh lingkungan; (3) Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani, artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar; (4) Tetapi karena manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (antara lain, berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya mempunyai potensi untuk salah, karena “tergoda” oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek; (5) Maka , untuk hidupnya, manusia dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama, dan terbebani kewajiban terus menerus mencari dan memilih jalan hidup yag lurus, benar dan baik; (6) jadi manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa perbuatan baik buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama manusia, maupun di akhirat di hadapan Tuhan Yang Maha Esa; (7) Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang nisbi sehingga masih ada kemungkinan manusia menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, dan sama sekali tidak mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan di akhirat itu bersifat sangat pribadi, sehingga tidak ada pembelaan, hubungan solidaritas dan perkawanan, sekalipun sesama antara teman, karib kerabat, anak dan ibu-bapak; (8) Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di dunia ini, mempunyai hak dasar untuk memilih dan menentukan sedniri perilaku moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, dan manusia akan sama derajat dengan makhluk yang lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati); (9) Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai puncak segala makhluk Allah, yang diciptakan olehnya dalam sebaik-baik ciptaan, yang menurut asalnya berharkat dan martabat setinggi-tingginya; (10) Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, dan melindungi serta menanggungnya di daratan maupun dilautan; (11) setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barangsiapa merugikan seorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alasan yang sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, dan barangsiapa berbuat baik kepada seseorang, seperti menolong hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia.; (12) Oleh karena itu setiap pribadi manusia harus berbuat baik kepada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri pribadi terhadap pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194)

Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang untuk memilih dan menyatakan pendapat dan pikiran serta kewajiban setiap orang untuk medengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran tentang musyawarah.” Dalam Islam istilah musyawarah sendiri secara etimologis, menurut Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual. Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud dengan baik jika tidak disertai dengan kelapangan dada, kerendahan hati dan keterbukaan. Prinsip ini menurut Nurcholish Madjid dapat disimpulkan dari perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. untuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau, yaitu sebagai berikut (Q.S. Ali Imran 153).
Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tersebut, Nurcholish Madjid memberikan tinjauan moral-etis dalam pelaksanaan bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yang selanjutnya sebagai dasar kehidupan masyarakat zaman nabi tersebuat karena selalu dikaitkan dengan prinsip:
1.      Adanya  Rahmat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad;
2.      Dengan rahmat Allah itu Nabi saw. senantiasa menunjukan sikap-sikap lemah lembut, lapang dada dan penuh pengertian kepada orang lain;
3.      beliau tidak kejam, dan tidak pula kasar;
4.      perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain;
5.      perintah untuk memohonkan ampun kepada Allah bagi orang lain;
6.      perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar semua hal itu;
7.      menyandarkan diri (tawakkal) kepada Allah jika sudah membuat keputusan.
Menurut Nurcholish, ditinjau dari segi proses sejarah dan perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu adalah suatu bentuk kecenderungan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tersebut dapat ditinjau dari dua segi: Pertama, kemunculannya adalah apologi terhadap ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung pada perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, dan lain sebagainya.
Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa lalu. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi wacana politik Islam modern, yang mengasumsikan bahwa untuk menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai dari negara sebagai elemen kekuasaan yang akan mampu mengatur dan menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perombakan secara total, sehingga sesuai dengan pola kehidupan modern dari segala aspeknya sudah tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama. Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yang hakiki bukan semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme masyarakat.
Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yang lebih prinsispil dari konsepsi tentang “Negara Islam” tersebut adalah sutau distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Antara agama dan negara memang tidak bisa dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya.
Istilah sekularisasi itulah yang nampaknya menjadi biang keladi kehebohan. Dengan istilah itu Nurcholish dituduh telah berubah paham mejadi sekularis. Tak kurang dari Dr. M. Kanal Hassan sendiri telah mencap Nurcholish Madjid sebagai seorang “modernis sekuler”. Nampaknya Kamal Hassan dan orang yang epaham di Indonesia tidak mau tahu bahwa Nurcholish menolak paham sekularisme, hanya karena ia menganjurkan sekularisasi (dalam pengertian khusus) seolah-olah orang memaksanya untuk meyetujui kesimpulan orang bahwa ia adalah seorang sekularis. Padahal, sebelum Nurcholish membantah (secara tidak langsung) tuduhan yang momojokkan itu, dalam naskah pidatonya itu sendiri ia sudah memberi penjelasan bahwa:
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan seklarisme dan mengubah kaum Mslimin sebagai sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk “menduniawikan” niali-niali yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk “mengukhrowikan”-nya. Dengan demikian, kesedihan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan utnuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai”khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagao khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetpakan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itundi hadapan Tuhan.[10]









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa kesimpilan sebagai berikut :
Pertama, Dilihat dari segi latar belakang pendidikan, Gus Dur adalah seorang tokoh yang memiliki pengalaman pendidikan yang lengkap antara pendidikan agama dan umum. Kedua, dilihat dari pengabdiannya, Gus Dur bukan hanya mengabdikan dirinya untuk kepentingan komunitas Islam, atau kepentingan Indonesia saja melainkankemanusiaan di seluruh dunia. Ketiga, dilihat dari segi corak gagasaan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikatagorikan sebagai pemikir yang bercorak multi warna. Keempat, gagasan dan pemikiran Gus Dur dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pendidikan pesantren.
Ide sekularisasai yang diajarakan Nurcholis secara garis besar yakni memisahkan dunia dan akhirat. Yaitu urusan dunia diurus ilmu dan kemampuan akal rasional agama lebih mementingkan komunikasi psikologi spiritual atau memisahkan secara jelas wilayah yang sacral dan wilayah yang temporal.
Mengenai gagasan islam yes partai islam no!, dapat disimpulakan bahwa umat islam Indonesia tidak selayaknya menjadikan Indonesia Negara islam karena Indonesia tersiri dari berbagai perbedaan yang majemuk.














DAFTAR PUSTAKA

Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Autorizhede Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2003
Suhaedy, Ahmad dan Ulil Abshar, Gila Gus Dur, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
Edi, Agus, ISLAM, KEMODERNAN, DAN KEINDONESIAAN: Dr. Nurcholish Madjid, Bandung: MIZAN, 1987




[1] http://repository.uinjkt.ac.id/, diakses 18 November 2014, 21:22
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Greg, Barton, Biografi Gus Dur: The Autorizhede Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2003), h.35.
[6] Ahmad Suhaedy dan Ulil Abshar, Gila Gus Dur (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000). Cet ke I. h. 4-5.
[7] http://repository.usu.ac.id/, diakses pada 19 November 2014, 17:43
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Agus, Edi, ISLAM, KEMODERNAN, DAN KEINDONESIAAN: Dr. Nurcholish Madjid (Bandung: MIZAN, 1987) Cet.I, h. 19-20.

No comments:

Post a Comment