BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembaharuana islam di Indonesia
dilatarbelakangi karena meraja relanya bid’ah dan khurafat yang membuat umat
islam dalam keadaan statis, sehingga umat islam menjadi mundur dan terbelakang.
Di tengah-tengah
situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap
berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya,
sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif.
K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil gusdur termasuk tokoh yang
banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya
yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah menyebabkan ia
menjadi tokoh kontroversial. Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang
keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan
tercapainya gagasannya itu. Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia
juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara
memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru
pendidikan Islam.
Pembaruan pemikiran bertujuan unutk
memurnikan akidah dari segala macam kepercayaan yang menyimpang dari akidah
islam. Selain itu pembaruan pemikiran
bertujuan untuk membuat umat islam menjadi maju. Salah satu tokoh yang berjuang
dalam pembaharuan pemikiran isalam di Indonesia adalah Nurcholis Madjid.
Bagaimana profil kedua
tokoh pembaharuan tersebut (?) dan bagaimana pemikiran politik kedua tokoh
tersebut (?) Inilah yang menjadi beberapa pertanyaan yang akan coba pemakalah
uraikan pada pembahasan makalah ini. Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu
pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
profil kedua tokoh pembaharuan tersebut?
2. Bagaimana
ide-ide atau pemikiran mereka dalam politik ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui profil
kedua tokoh yaitu Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
2. Untuk mengetahui pemikiran politik Abdurrahman
Wahid dan Nurcholish Madjid.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini
yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih
memahami mengenai Politik Abdurrahman
Wahid dan Nurcholish Madjid, baik itu penjelasan, penguraian, serta
pengidentifikasian yang dapat di aplikasikan dalam proses
pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan
atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), yang lahir pada bulan Sya‘ban, bulan kedelapan. Tepatnya 4
Sya‘ban 1940 atau 7 September. Akan tetapi, ulang tahunnya sendiri lebih sering
dirayakan pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota
Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai
Bisri Syansuri. Kedua kakek Gus Dur, yakni Kai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim
Asy‘ari adalah ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati. Keduanya adalah
tokoh pendiri NU.[1]
Kiai
Hasyim Asy‘ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah, merupakan tokoh pendiri NU pada
tahun 1926. Sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang
tradisional, beliau juga dikenal sebagai seorang Nasionalis yang teguh
pendirian. Banyak dari temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan
Nasionalis pada periode sebelum perang. Setelah NU didirikan, kakek Gus Dur ini
diangkat sebagai Ra’is Akbar yang secara harfiah berarti Ketua Agung. Dalam
posisi ini, beliau menjadi Kepala Penasihat Agama dalam organisasi NU. Gelar
lain dari kakek Gus Dur ini adalah Guru Agung atau Hadrat al-Syaikh.Sedangkan
kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri, juga merupakan tokoh kunci
organisasi NU bersama dengan Kiai Hasyim Asy‘ari. Selain itu beliau juga aktif
dalam pergerakan nasional.
Ayah
Gus Dur, Wahid Hasyim, tumbuh besar dan belajar di madrasah ayahnya, Hasyim
Asy‘ari. Sedangkan ibu dari Wahid Hasyim (nenek Gus Dur) adalah puteri dari
keluarga ningrat Jawa. Wahid Hasyim dibesarkan dengan perlengkapan untuk
menjadi bagian dari masyarakat elit perkotaan. Setelah mengenyam dua tahun
pendidikan di Mekah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengembangkan
gagasannya, yakni mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik
di Tebuireng. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai bergabung dalam organisasi NU
untuk menyalurkan hasratnya ikut ambil bagian dalam kancah politik serta
gerakan Nasionalis.[2]
Ibu
kandung Gus Dur bernama Solichah. Ayah Gus Dur menikahi ibunya saat usianya
baru menginjak enam belas tahun. Karena usianya yang masih begitu muda saat
menikah, maka Solichah tidak mengenyam banyak pendidikan, akan tetapi ia selalu
ingin tahu dan memiliki pikiran aktif dan keinginan kuat. Solichah muda
mengenyam banyak pendidikan di madrasah milik ayahnya (Kiai Bisri Syansuri).
Setelah menikah Solichah mendapatkan bimbingan dari suaminya.
Sebagaimana
kebiasan santri Jawa dan kaum muslim ortodoks, Gus Dur menggunakan nama ayahnya
setelah namanya sendiri, yakni menjadi Abdurrahman Wahid (Abdurrahman putera
Wahid). Akan tetapi, nama resminya lain lagi, yakni Abdurrahman ad-Dakhil. Gus
Dur adalah anak pertama dari Wahid Hasyim dan Solichah.[3]
Demikianlah,
Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur yang baru berusia empat tahun, ia diajak ayahnya
ke Jakarta.Adik laki-lakinya Umar baru saja dilahirkan pada bulan Januari tahun
itu tetapi Wahid Hasyim memilih untuk meninggalkan keuarganya di Jombang, dan
ia sendiri bersama putera tertuanya pergi menetap di Jakarta. Pada saat ini
Wahid Hasyim dan Gus Dur tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat
itu merupakan daerah yang dikuasai oleh pengusaha terkemuka, para profesional,
dan politikus.[4]
Pada
tahun 1949, Gus Dur beserta seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, ayahnya
memangku jabatan Menteri Agama. Wahid Hasyim menduduki jabatan selama lima
kabinet dan baru melepaskan jabatan pada tahun 1952. Pada tahap ini pendidikan
Gus Dur bersifat ,sekuler. Gus Dur memulai sekolah dasarnya di SD KRIS di
Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga, kemudian di kelas empat.
Lalu pindah ke SD Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarganya
yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Di rumahnya, di Jakarta Pusat tersebut,
Gus Dur banyak berjumpa dengan tamu-tamu asing yang datang untuk menemui
ayahnya, berbicara dalam berbagai bahasa. Di rumah ini pula banyak terdapat
buku, majalah dan koran dalam jumlah yang besar. Dalam tahun-tahun di Jakarta
ini pula Gus Dur sering menemani ayahnya pergi ke pertemuan-pertemuan, hingga
ia dapat menyaksikan bagaimana ayahnya hidup dalam dunianya dengan cara yang
sederhana.[5]
Gus Dur
menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta, tahun 1957.
Sejak saat itu, ia mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Hingga
tahun 1959, Gus Dur bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang di bawah
bimbingan Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu pemuka NU. Di saat yang
sama, Gus Dur juga
belajar di Pesantren Denanyar di Jombang dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri.
Kemudian, di tahun ini pula, Gus Dur pindah ke Jombang dan belajar secara penuh
di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan Kiai Wahab Khasbullah, hingga
tahun 1963. Pada saat itu, Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dan
mistik dari kebudayaan Islam tradisional, dan juga telah membiasakan diri untuk
secara teratur berziarah ke makam-makam untuk berdoa dan meditasi pada tengah
malam. Pada masa ini juga Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya
tentang Islam dan sastra Arab klasik.
Tahun
1963 sampai dengan 1971, Gus Dur menghabiskan waktunya diluar negeri. Kota
pertama yang menjadi tempat pembelajarannya yang pertama adalah
Kairo. Di sana, Gus Dur menempuh studinya di Al-Azhar. Akan tetapi, studi
formal Gus Dur mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan metode perkuliahan
yang dirasakannya membosankan membuatnya jarang masuk kelas, hal
ini mempengaruhi nilai-nilainya. Karena prestasinya yang tidak baik di
Al-Azhar, Gus Dur kembali menerima beasiswa untuk studinya di Baghdad. Di sini menjadi
tempat berkembangnya intelektual Gus Dur secara mantap. Universitas Baghdad
telah menjadi lingkungan yang membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan.
Pertengahan
tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas
Baghdad dan pindah ke Eropa. Karena ijazah dari Universitas Baghdad hampir
tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus Dur menghabiskan waktunya di
Eropa tanpa menjalankan studi formal dan kembali ke Jawa, tahun 1971.
B.
Pemikiran
Politik Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid, sejak 1980-an,
merupakan tokoh yang paling populer di kalangan NU, Indonesia, bahkan dunia
internasional karena pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya yang unik dan
sering kontroversial. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal
1980-an yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang
cukup luas, melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai
kalangan pejabat negara maupun para aktivis pergerakan.
Kedekatannya dengan pemerintah dan
kelompok-kelompok agama minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai
tokoh Islam yang paling akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra
pluralisme dan humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan
akan pentingnya terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia. Islam dan Wacana Negara Salah satu persoalan krusial
yang telah cukup lama memancing debat dan kontroversi baik di dalam
literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun dalam kajian politik
mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang berkaitan dengan hubungan
antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu politik Islam Indonesia
terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang
varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan. Dua kelompok itu adalah
kelompok simbolik dan kelompok substantif. Kalangan Islam politik
simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik dalam politik
dengan melegalformalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan ini berpendapat
bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara
agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apa pun.
Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang menolak seluruh bentuk
perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini,
usaha simbolisasi syari'at akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan
makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru
dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih
kepentingan politik kaum elit.
Peta persoalan semacam ini, oleh
kalangan intelektual muslim, coba diamati, dikaji, dan disikapi sesuai dengan
perspektif keislaman mereka masing-masing. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah
salah satu intelektual muslim yang juga terus berupaya mencari pijakan-pijakan
teologis; Bagaimana sesunguhnya Islam bisa “dibumikan” sebagai ajaran moral
yang mampu memberikan makna di dalam proses perubahan sosial-politik yang
tengah berlangsung dalam dinamika politik bangsa. Salah satu isu pokok yang
menjadi wacana (discourse) yang menarik adalah, bagaimana kaitan Islam dengan
negara; dan bagaimana konsep Islam tentang negara?
Dalam pandangan Gus Dur, untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mengatakan bahwa “Dalam Islam, Negara
itu adalah hukum, al-hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara.” Bagi
Gus Dur tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah “Negara
Islam.” Tetapi, ada perintah dalam Alquran untuk membentuk suatu masyarakat
yang mengacu pada nilai-nilai keutamaan (viruies) yang menjalankan amar ma‘rūf
(membangun kebaikan) dan nahī munkar (mencegah keburukan), untuk menegakkan
iman dan keadilan di muka bumi. Karena itu, Islam tidak boleh direduksi menjadi
negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama. Yang pentingbagi Islam
adalah etika kemasyarakatan dan komunitas, alasannya, ialah karena Islam tidak
mengenal konsep pemerintah yang difenitif. Dalam persoalan pokok, misalnya,
suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsinten; terkadang memakai ikhtilaf,
bai'at dan terkadang ahl halli wal ‘aqdi.
Gus Dur sendiri berpendapat bahwa
pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk “negara damai” (dār al-sulh)
yang harus dipertahankan, karena umat Islam masih bisa melaksanakan syari'ah
–dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat sekalipun hal itu tidak
diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Dalam Teologi Politik Gus Dur
(2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran Abdurrahman Wahid dari
perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut pandang) ini
merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Abdurrahman Wahid ketika berhadapan
dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi
terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan negara pada tataran
formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi
1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final
merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas
pluralisme Pancasila.
NU sebelum dipimpin Gus
Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang eksklusif dari
pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman
keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-niali kebenaran yang
diyakininya. Hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah
citra NU menjadi inklisif, modern, dan moderat. Gus Dur juga sangat bersemangat
dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional,
sementara kata orang, yang bersangkutan belum tentu demokrat dalam pergaulan
sehari-hari. Ini mungkin berkaitan dengan tradisi pesantern, dimana posisi kiai
tak dapat diganggu gugut dan tidak bisa dikritik.
Sayangnya,
langkah-langkah yang ditempuh Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai Ketua PBNU
sering kontradiktif dengan nilai-nilai yang ia perjuangkan. Mungkin karena
kurang di topang oleh budaya yang masih tumbuh dan berkembang di kalangan elite
NU, sehingga tidak jarang memaksa Gus Dur harus bertindak otoriter dan tidak
toleran. Hal ini terlihat ketika ia menunjuk Motori abdul Jalil untuk memimpin
PKB, padahal meurut tokoh-tokoh snior NU, Motori bukanlah calon ideal. Juga
sebelumnya ketika dia tidak mau mengakomodasi Abu Hasan dalam kepengurusan
PBNU, sehingga kemudian Abu Hasan dan kawan-kawan membentuk semacam NU
tandingan.
Kalau tokoh-tokoh NU
sebelumnya kurang berhasrat menjalin hubungan khusus dengan tokoh-tokoh
non-muslim. Gus Dur justru tampak sebaliknya, bahkan tambak lebih akrab
dibanding persahabatannya dengan tokoh-tokoh Muslim. Kenyataan ini tidak hanya
menimbulkan kecurigan di kalangan tokoh-tokoh Islam terhadapnya, bahkan sampai
menimbulkan kemarahan beberapa kelompok umat. Pembelaan dan perjuanagan atas
hak-hak minoritas dinilai meyeberang kepentingan umat Islam sendiri.
Begitu juga hubungannya
dengan masyarakat internasional, ia sering diundang dan berbicara dalam forum
yang berskala internasional yang diadakan di berbagai negara. Ia juga dipercaya
untuk duduk sebagai pengurus dalam beberapa organisasi internasional. Ia sangat
akrab dengan tokoh-tokoh Barat bahkan sempat memenuhi undangan ke Israel yang
mengecewkan banyak orang.[6]
C. Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid atau yang lebih
populer dengan sebutan Cak Nur lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17
Maret 1939 atau bertepatan dengan 26 Muharram 1358 Hijriyah. Ayahnya KH. Abdul
Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan dan
dipimpin oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim
Asy'ari. Ibunya putri Kiai Sadjad dari Kediri yang juga teman dari KH. Hasyim
Asyari.[7]
Nurcholish Madjid muda hidup di
tengah keluarga yang lebih kental membicarakan politik. Selain keluarganya yang
berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ayahnya, KH. Abdul Madjid, adalah
salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi "geger"
politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap
bertahan di Masyumi. Pada usia 14 tahun, Nurcholish Madjid belajar ke Pesantren
Darul-Ulum, Rejoso, Jombang. Bertahan selama dua tahun, karena banyak dicemooh
oleh teman-temannya karena pendirian politik ayahnya yang banyak terlibat di
Masyumi. Nurcholish kemudian dipindahkan ayahnya ke Pesantren Modem Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur. Menamatkan pendidikannya di Gontor pada 1960, dan sempat
mengajar di almamaternya selama satu tahun lebih.
Perpindahan pendidikan Nurcholish
Madjid ke Gontor cukup berpengaruh dalam mewarnai intelektualitas Nurcholish
Madjid. Yakni tradisi yang memadukan dua kultur, liberal gaya modern Barat
dengan tradisi Islam klasik. Kedua kultur ini diwujudkan dalam sistem
pengajaran maupun materi pelajaran. Literatur kitab kuning karya ulama klasik
juga diajarkan di Gontor tetapi dengan sistem pengajaran modern, suatu sistem
yang reiatif kurang dikenal dalam tradisi pesantren klasik ada umumnya.
Semasa menjadi mahasiswa Nurcholish
Madjid aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihan Nurcholish Madjid untuk
ada di organisasi ini merupakan sesuatu yang tidak biasa bagi para mahasiswa teologi,
karena HMI dianggap sebagai gerakan kaum modernis yang cenderung dekat dengan Masyumi.
Keberadaan Nurcholish Madjid di HMI sebenarnya banyak dipengaruhi oleh
keinginan ayahnya agar ia memiliki rasa hormat yang tinggi pada
pemimpin-pemimpin Masyumi, seperti Mohamad Natsir.
Karier organisasi Nurcholish Madjid
dimulai dari komisariat HMI, kemudian terpilih sebagai ketua umum HMI selama dua
periode (1966-1969) dan (1969-1971). Berbeda dengan kelaziman langgam
kepemimpinan di HMI pada umumnya, kepemimpinan Nurcholish Madjid lebih
bersumber pada otoritas dan produktivitas intelektualnya daripada misalnya,
kecanggihan mengelola sumber-sumber dukungan politik pada umumnya. Kekuatan
gagasannya menjadikan sosok Nurcholish Madjid lebih dikenal sebagai pemimpin
mahasiswa "gudangnya" pemikiran daripada diatributi sebagai demagog politik.[8]
Selain itu, Nurcholish Madjid juga
menjabat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT),
periode 1967-1969. Pada waktu yang bersamaan Nurcholish Madjid juga menjabat
sebagai Wakil Sekretaris Umum dan pendiri International Islamic Federation of
Student Organization (IIFSO), suatu himpunan organisasi mahasiswa Islam
se-dunia, periode 1967-1969.
Selepas menjabat kepemimpinan di
HMI, pada periode yang kedua, 1971, Nurcholish Madjid lebih banyak meluangkan
waktu untuk membaca dan menulis, selain juga menghadiri sejumlah undangan
diskusi dan forum-forum ilmiah lainnya. Tetapi Nurcholish Madjid relatif
menahan diri untuk tidak menanggapi berbagai kritikan dan tudingan yang
dialamatkan kepadanya yang pada kurun waktu itu tengah mencapai klimaksnya.
Menjelang berakhirnya kepemimpinan
Soeharto pada bulan Mei 1998, Nurcholish Madjid, merupakan salah satu, dari
tokoh-tokoh muslim yang diundang untuk bertemu dengan Presiden Soeharto pada
tanggal 19 Mei 1998. Nurcholish Madjid dalam pertemuan antara sejumlah tokoh
tersebut, secara langsung mengemukakan kepada Soeharto bahwa yang dimaksud
dengan reformasi oleh rakyat adalah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Terhadap sikap Nurcholish Madjid ini, Soeharto tidak keberatan, asalkan sesuai
konstitusi.
D. Perjalanan Intelektual Nurcholish Madjid
Pemikiran Nurcholish yang paling
menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat
pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan "Islam
yes, partai Islam no". Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai
Islam sudah menjadi "Tuhan" baru bagi orang-orang Islam. Partai atau
organisasi Islam dianggap sakral dan
orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi
kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana,
termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu
itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak
Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu
dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu
kebangsaan.
Karena gagasannya ini, tuduhan
negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam
sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh
Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia
dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan
dengan judul "Muslim Intellectual Responses to "New Order"
Modernization in Indonesia". Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota
Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo.
Mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina
pada tahun 1986, dan menjadi anggota MPR-RI pada tahun 1988. Menjadi guru besar
tamu di Mc Gill University, Montreal, Canada, 1991-1992, sebelumnya juga
mendapatkan Fellow dalam Eisenhower Fellowship1990. Nurcholish Madjid juga
pernah tercatat sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan Komisi
Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia, tetapi mengundurkan diri
pada tahun 1998. Menjabat anggota Dewan Penasihat Komite Independen Pemantau
Pemilu (KIPP) 1999, dan Anggota Tim 11 yang menyeleksi partai-partai peserta
pemilu 1999. Hingga saat ini masih menjabat sebagai Rektor di Universitas
Paramadina Mulya dan pengajar pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.[9]
Pemikiran politik Nurcholish yang
semakin memasuki ranah filsafat terjadi saat ia kuliah di Universitas Chicago, di
Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang
filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais
dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji
Masyarakat, "Tidak Ada Negara Islam", yang menggulirkan kegiatan
surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia.
Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth 'i (jelas) untuk membentuk
negara Islam.
E. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, untuk semua
tujuan sosial politik, manusia memang harus kembali kepada naturnya, yaitu
fitrah manusia yang suci (hanif). Dan dari sini pula Nurcholish Madjid
membangun dasar teologis mengenai Islam sebagai agama kemanusiaan yang nantinya
akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran,
yang sekaligus menjadi inti pemikiran keagamaan Nurcholish yang mendasari
segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting di sini untuk mengutip
lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, seperti yang telah
dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu menjadi dasar ceramah-ceramah
maupun tulilsan-tulisannya,baik mengenai agama Islam maupun politik sebagaimana
berikut:
“(1) Manusia diikat dalam suatu
perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dari
kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pusat orientasi hidupnya; (2) Hasilnya ialah kelahiran manusia dalam
kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika
seandainya tidak ada pengaruh lingkungan; (3) Kesucian asal itu bersemayam
dalam hati nurani (nurani, artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya
untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar; (4) Tetapi
karena manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (antara lain,
berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera),
maka setiap pribadinya mempunyai potensi untuk salah, karena “tergoda” oleh
hal-hal menarik dalam jangka pendek; (5) Maka , untuk hidupnya, manusia
dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama, dan terbebani kewajiban terus
menerus mencari dan memilih jalan hidup yag lurus, benar dan baik; (6) jadi
manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa perbuatan baik buruknya
harus dapat dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama manusia, maupun di
akhirat di hadapan Tuhan Yang Maha Esa; (7) Berbeda dengan pertanggungjawaban
di dunia yang nisbi sehingga masih ada kemungkinan manusia menghindarinya,
pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, dan sama sekali tidak mungkin
dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan di akhirat itu
bersifat sangat pribadi, sehingga tidak ada pembelaan, hubungan solidaritas dan
perkawanan, sekalipun sesama antara teman, karib kerabat, anak dan ibu-bapak;
(8) Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di
dunia ini, mempunyai hak dasar untuk memilih dan menentukan sedniri perilaku
moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut
pertanggungjawaban moral dan etis, dan manusia akan sama derajat dengan makhluk
yang lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati); (9) Karena hakekat
dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai puncak segala makhluk Allah,
yang diciptakan olehnya dalam sebaik-baik ciptaan, yang menurut asalnya berharkat
dan martabat setinggi-tingginya; (10) Karena Allah pun memuliakan anak cucu
Adam ini, dan melindungi serta menanggungnya di daratan maupun dilautan; (11)
setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka
barangsiapa merugikan seorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alasan yang
sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, dan barangsiapa berbuat
baik kepada seseorang, seperti menolong hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik
kepada seluruh umat manusia.; (12) Oleh karena itu setiap pribadi manusia harus
berbuat baik kepada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri pribadi terhadap
pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, dalam suatu
jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka”.(Nurcholish, 1995 :
193-194)
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang
untuk memilih dan menyatakan pendapat dan pikiran serta kewajiban setiap orang
untuk medengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran
tentang musyawarah.” Dalam Islam istilah musyawarah sendiri secara etimologis,
menurut Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling
memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik: jadi bersifat reciprocal
dan mutual. Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud
dengan baik jika tidak disertai dengan kelapangan dada, kerendahan hati dan
keterbukaan. Prinsip ini menurut
Nurcholish Madjid dapat disimpulkan dari perintah Allah kepada Nabi
Muhammad saw. untuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau, yaitu sebagai
berikut (Q.S. Ali Imran 153).
Dengan melihat perangkat normatif perintah
bermusyawarah tersebut, Nurcholish Madjid memberikan tinjauan moral-etis dalam
pelaksanaan bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yang
selanjutnya sebagai dasar kehidupan masyarakat zaman nabi tersebuat karena
selalu dikaitkan dengan prinsip:
1.
Adanya Rahmat
Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad;
2.
Dengan rahmat Allah itu Nabi saw. senantiasa menunjukan
sikap-sikap lemah lembut, lapang dada dan penuh pengertian kepada orang lain;
3.
beliau tidak kejam, dan tidak pula kasar;
4.
perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain;
5.
perintah untuk memohonkan ampun kepada Allah bagi orang
lain;
6.
perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar semua hal
itu;
7.
menyandarkan diri (tawakkal) kepada Allah jika sudah membuat
keputusan.
Menurut Nurcholish, ditinjau dari segi
proses sejarah dan perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu
adalah suatu bentuk kecenderungan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish,
apologetis tersebut
dapat ditinjau dari dua segi: Pertama, kemunculannya adalah apologi
terhadap ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisme, komunisme dan
lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon
dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan
berujung pada perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya
“negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara
komunis, dan lain sebagainya.
Kedua, pandangan legalisme sebagai
kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang dibuat
untuk memenuhi kebutuhan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara
pada masa lalu. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi wacana politik
Islam modern, yang mengasumsikan bahwa untuk menegakkan sebuah syari’at maka
haruslah dimulai dari negara sebagai elemen kekuasaan yang akan mampu mengatur
dan menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan
relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perombakan secara
total, sehingga sesuai dengan pola kehidupan modern dari segala aspeknya sudah
tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga
orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Nurcholish, hasilnya tidak
perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang,
untuk mengatur kehidupan bersama. Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat
berobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yang hakiki bukan semata merupakan
struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme
negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yang
merupakan kekuatan spiritual yang mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif,
demokratis serta menghargai pluralisme masyarakat.
Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan
yang lebih prinsispil dari konsepsi tentang “Negara Islam” tersebut adalah
sutau distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish,
Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah
rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang
dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Antara agama dan negara memang tidak
bisa dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam dimensi
dan cara pendekatannya.
Istilah sekularisasi itulah yang nampaknya
menjadi biang keladi kehebohan. Dengan istilah itu Nurcholish dituduh telah
berubah paham mejadi sekularis. Tak kurang dari Dr. M. Kanal Hassan sendiri
telah mencap Nurcholish Madjid sebagai seorang “modernis sekuler”. Nampaknya
Kamal Hassan dan orang yang epaham di Indonesia tidak mau tahu bahwa Nurcholish
menolak paham sekularisme, hanya karena ia menganjurkan sekularisasi (dalam
pengertian khusus) seolah-olah orang memaksanya untuk meyetujui kesimpulan
orang bahwa ia adalah seorang sekularis. Padahal, sebelum Nurcholish membantah
(secara tidak langsung) tuduhan yang momojokkan itu, dalam naskah pidatonya itu
sendiri ia sudah memberi penjelasan bahwa:
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai
penerapan seklarisme dan mengubah kaum Mslimin sebagai sekularis. Tetapi
dimaksudkan untuk “menduniawikan” niali-niali yang sudah semestinya bersifat
duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
“mengukhrowikan”-nya. Dengan demikian, kesedihan mental untuk selalu menguji
dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan
material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut,
sekularisasi dimaksudkan utnuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia
sebagai”khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagao khalifah Allah itu memberikan
ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetpakan dan memilih sendiri cara
dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi
ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia
atas perbuatan-perbuatan itundi hadapan Tuhan.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas
dapat ditarik beberapa kesimpilan sebagai berikut :
Pertama, Dilihat dari segi latar
belakang pendidikan, Gus Dur adalah seorang tokoh yang memiliki pengalaman
pendidikan yang lengkap antara pendidikan agama dan umum. Kedua, dilihat dari
pengabdiannya, Gus Dur bukan hanya mengabdikan dirinya untuk kepentingan
komunitas Islam, atau kepentingan Indonesia saja melainkankemanusiaan di
seluruh dunia. Ketiga, dilihat dari segi corak gagasaan dan pemikirannya,
tampak bahwa Gus Dur dapat dikatagorikan sebagai pemikir yang bercorak multi
warna. Keempat, gagasan dan pemikiran Gus Dur dalam bidang pendidikan secara
signifikan berkisar pada modernisasi pendidikan pesantren.
Ide sekularisasai
yang diajarakan Nurcholis secara
garis besar yakni memisahkan dunia dan akhirat. Yaitu urusan dunia diurus ilmu
dan kemampuan akal rasional agama lebih mementingkan komunikasi psikologi
spiritual atau memisahkan secara jelas wilayah yang sacral dan wilayah yang
temporal.
Mengenai
gagasan islam yes partai islam no!, dapat disimpulakan bahwa umat islam
Indonesia tidak selayaknya menjadikan Indonesia Negara islam karena Indonesia
tersiri dari berbagai perbedaan yang majemuk.
DAFTAR PUSTAKA
Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Autorizhede Biography
of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2003
Suhaedy, Ahmad dan Ulil Abshar, Gila Gus Dur, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
Edi, Agus, ISLAM, KEMODERNAN, DAN KEINDONESIAAN: Dr.
Nurcholish Madjid, Bandung: MIZAN, 1987
[1] http://repository.uinjkt.ac.id/,
diakses 18 November 2014, 21:22
[2] Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Greg, Barton, Biografi Gus Dur: The Autorizhede Biography
of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2003), h.35.
[6]
Ahmad Suhaedy dan Ulil
Abshar, Gila Gus Dur (Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta, 2000). Cet ke I. h. 4-5.
[7]
http://repository.usu.ac.id/, diakses
pada 19 November 2014, 17:43
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10] Agus, Edi, ISLAM, KEMODERNAN, DAN KEINDONESIAAN: Dr. Nurcholish Madjid
(Bandung: MIZAN, 1987) Cet.I, h. 19-20.
No comments:
Post a Comment