My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Politik Islam Pasca Orde Baru


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Krisis finalsial Asia yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan ekonomi Indonesia melemah. Keadaan memburuk. Adanya sistem monopoli di bidang perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang dekat dengan pemerintah akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan bahkan mampu berbuat apa saja demi keberhasilan usahanya.Terjadi krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehimgga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan amgka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan krisis perbankan. KKN semakin merajarela, ketidak adilan dalam bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokrasi) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta memunculkan demonstrasi yang  digerakkan oleh mahsiswa.
Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “ Pahlawan reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, presiden soeharto berjanji akan mereshuffle cabinet pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, komite reformasi belum bisa terbentuk karenan empat belas menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai dimulainya orde reformasi.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana politik Islam Pasca Orde Baru tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui politik Islam Pasca Orde Baru.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik Islam Pasca Orde Baru, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam Era Reformasi
            Proses reformasi di negara Indonesai diawali dengan lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. lalu diangkatnya presiden B.J. Habibi. Di era Reformasi banyak partai-partai Islam yang muncul diantaranya adalah PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abud Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan Partai Cinta Damai (PCD), PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Meskipun partai-partai Islam ini tidak merai suara terbesar, namun koalisi mereka melalui kaukus Poros Tengah dapat menghalangi tampilnya aliran dan kelompok Politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan beberapa tokoh utama pada posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais sebagai ketua DPR-RI dan Gus Dur sebagai Presiden. Pasca Soeharto, era reformasi nampaknya merupakan momentum untuk melahirkan ekspresi Islam masing-masing, NU dan Muhammadiyah tidak lagi menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian banyak pengamat asing. Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya, ada banyak organisasi massa Islam di Indonesia, misalnya Persis atau Perti, namun memang tidak sebesar dua organisasi sebelumnya.
            Sementara itu, era reformasi adalah era keterbukaan yang memungkinkan orang untuk mengekspresikan pikiran termasuk cara keberagaamaan. contoh misalnya; lahirnya Front Pembela Islam (FPI) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Forum Komunikasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan Laskar Jihadnya, dan lain-lain. Masing-masing organisasi Islam ini lahir dengan karakternya masing-masing. Yang menarik, gerakan organisasi ini mampu menyedot perhatian media massa dengan seluas-luasnya di media dalam dan luar negeri.
            Selain sangat kental dengan simbol, gerakannya yang lebih mengandalkan unjuk kekuatan dalam melawan sesuatu di mana hal ini tidak dijumpai sebelumnya banyak orang dirugikan atas pembenaran tindakannya yang mengatasnamakan agama dengan kata lain jihad. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid.
            Pemerintah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri. Sejak inilah Islam Indonesia banyak dikenal lebih pada gerakannya, beberapa gerakan yang anarki dengan mengatasnamakan amar ma’ruf lebih sering didengar masyarakat daripada kegiatan-kegiatan ilmiah dan kajian-kajian untuk mengeksplorasi Islam.
  1. Islam Indonesia; Kontribusi Demokrasi Pasca Reformasi.

Krisis politik di Indonesia yang diyakini bersumber dari dampak utama (the prominent effect) adanya krisis ekonomi semenjak pertenganan Juli 1997,merupakan awal dominasi penyebab lengsernya rezim Orde Baru. Namun anehnya saat itu, kondisi krisis ekonomi dan semakin amburadulnya tatanan demokrasi pemerintahan yang ada, masih saja MPR dan kekuatan politik yang ada memberanikan diri mancalonkan Soeharto yang sudah jelas banyak ditentang masyarakat luas. Maka tak ayal jika pada akhirnya massa mahasiswa yang terus ‘mengamuk’ berdatangan dari berbagai kelompok antara tanggal 18-20 Mei 1998 berhasil memaksa pimpinan DPR dan staf-stafnya untuk mengambil sikap atas tuntutan reformasi. Selepas kondisi itulah, yakni pasca jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi proses demokratisasi di segala bidang mulai start untuk dijalankan demi tercapainya cita-cita masyarakat Indonesia yang berdaulat.
Membuka file itu, tentu saja mengingatkan kita pada kondisi peta Islam di Indonesia yang –saat itu dan sesudahnya- telah banyak memberikan kontribusi atas wujudnya transformasi sosial dan berlakunya sebuah proses demokratisasi yang sedang melangkah sedikit demi sedikit di Indonesia. Melihat hal itu, maka  tak terbantahkan, bahwa Islam di Indonesia, sejatinya juga telah memberikan kontribusi atas hadirnya proses iklim demokratisasi pasca  jatuhnya rezim otoriter Soeharto. Kontribusi tersebut bisa dicermati cukup dengan dua sisi pandangan. Pertama adalah pandangan dari sisi normatif dan yang kedua adalah dari sisi praktis-historis.
Pertama, bisa terlihat dari sisi cita-cita normatif. Maksudnya adalah, bahwa Islam sebagai sebuah agama, sesungguhnya telah meletakkan beberapa dasar prinsip demokrasi dalam beberapa ajarannya seperti; shura (permusyawaratan), al-‘adalah (keadilan), ijma’ (konsensus), ijtihâd (kemerdekaan berpikir), tasamuh (tolerensi), al-hurrîyah (kebebasan), al-musâwah (egalitarian), ash-shidqu wal amânah (kejujuran dan tanggung jawab). Prinsip-prinsip tersebut, sebetulnya merupakan inti semangat makna demokrasi dan tentu hal itu bisa dibaca pada kitab al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an tidak menyebut suatu bentuk dan sistem ketata-negaraan secara sharih, tatanan sistem demokrasi yang [saat itu dan sekarang] menjadi primadona bentuk demokrasi negara-negara di dunia, memiliki titik temu dan relevansi kuat untuk mengegolkan proses demokrasi di segala aspek kehidupan. Dengan demikian, dalam Islam sebetulnya telah tertanam beberapa prinsip pokok dan tata nilai berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan bernegara untuk menunjang lajunya proses demokrasi.
Kedua, adalah dari sisi praktis-historis. Maksudnya adalah, bahwa selain Islam di Indonesia telah meletakkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam prakteknya Islam juga telah membuktikan nilai-nilai tersebut. Dalam sejarah (historis) di Indonesia, para pemimpin Muslim yang mewakili mayoritas bangsa, telah memainkan peran penting dalam menentukan reformasi sosial dan politik. Bila era Orde Lama para pemimpin Muslim berperan melalui Masyumi, maka pada pasca lengsernya lengsernya Suharto, dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah secara proaktif terlibat langsung dalam proses perubahan kepemimpinan untuk membangun sistem demokrasi di Indonesia.
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Amin Rais yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, diakui rupakan tokoh penting dan sangat vital di dalam prosesi penumbangan rezim Soeharto dan mereka cukup dikenal juga sebagai tokoh yang gandrung akan tegaknya proses dan sistem demokrasi di Indonesia. Kekuatan dan karisma yang dimiliki keduanya, tentu juga telah ditampilkan lewat masing-masing kebesaran massa organisasinya, NU dan Muhammadiyah. Turut terlibatnya mereka, sebagai pemimpin partai Islam, dalam menegakkan cita-cita demokrasi di bumi pertiwi Indonesia, merupakan bukti kongkrit bahwa cita-cita Islam sejatinya sangatlah mendukung atas berjalannya proses demokratisasi untuk menciptakan –salah satunya- masyarakat madani.
Amin Rais bersama organisasi Muhammadiyahnya yang berjumlah 28.000.000 anggota berikut dengan berjuta-juta simpatisanya, sering terlihat dalam media menjadi tokoh central penting dalam arus perkembangan politik pasca rezim Soeharto dalam menyuarakan jargon-jargon demokrasi baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Muhammadiyyah dan Amin Rais, sebagai organisasi masyarakat dan Ketuanya, tidak hanya bertujuan “to up-hold and to up-lift the religion of Islam so as tocreate the true Islamic society” saja melainkan lebih dari itu, sepak terjang Ketua PP. Muhammadiyah saat itu, sangatlah ketara ketika terlibat langsung dalam proses perubahan kepemimpinan nasional pada Mei 1998.
Pada waktu yang sama dengan momen yang berbeda, Gus Dur dengan NUnya, juga turut diacungi jempol dalam gerakannya yang pelan tapi pasti, di dalam menumbuhkan sikap demokarasi di Indonesia. Sejak NU memutuskan kembali ke khithah 1926 pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 sampai peristiwa lengsernya rezim otoriter Orde Baru tahun 1998, gerakannya hanya dipusatkan pada transformasi sosial-ekonomi. Dalam hal ini, NU sebagai Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah, menegaskan keseluruh anggota dan simpatisannya untuk tidak terbuai dalam kekuasaan yang korup, nepotis, dan manipulatif (KKN). Di saat warga bangsa gila harta, jabatan, dan kursi kekuasaan, NU di era reformasi dengan tenangnya menata barisan untuk merumuskan pesan-pesan moralitas politik. Karena itulah, kasus Muktamar NU ke-29 di Cipasung, bisa dilihat sebagai contoh bahwa organisasi NU sangatlah concern terhadap demokratisasi  bangsa dan negara. Dengan menanamkan sikap-sikap di atas dalam menghadapi  situasi negara dan bangsa yang hampir kolep, tentunya NU telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara dalam penegakan demokrasi di Indonesia.
Ditambah lagi dengan langkah-langkah Gus Dur dalam mengaktualisasikan demokratisasi dan penegakan HAM diberbagai persoalan bangsa, begitu pula taqrir baru para Kyai dalam membangun partai kebangkitan bangsa [PKB] yang berformat sangat inklusif, populis, moderat dan humanis, tentu saja menambah starting point bahwa Islam di Indonesia berpotensi untuk menumbuh-kembangkan sikap demokrasi. Artinya, sudah sangat klop-lah bahwa Islam di Indonesia mempunyai peran yang sangat urgen dan berpotensi menumbuhkan sikap-sikap demokrasi dilihat dari karakter normatif dan praksis-historisnya.
  1. Munculnya Partai-Partai Politik Islam
Setelah dihujani terus-menerus oleh berbagai aksi dan persoalan ekonomi, politik, dan sosial yang semakin melimpah, akhirnya Soeharto menyerah lewat pidato pengunduran dirinya sebagai presiden yang diucapkan tepat pada Hari Rabu, 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB.[1]
Seusai mengalihkan kekuasaan kepada Habibie, Soeharto melangkah keluar Istana Negara, berhenti menjadi presiden zonder pertanggungjawaban atas praktik kepemimpinannya. Anehnya, tak seorang pun dari 200 juta anak bangsa ini mampu memaksanya untuk bertanggung jawab. Sebelumnya Soeharto memerintah negeri ini selama lebih tiga dasawarsa dengan corak kekuasaan layaknya seorang raja, yang dapat berbuat sekehendak hatinya tanpa dapat tersentuh hukum. Di masa modern, kekuasaan semacam ini dilakukan oleh rezim komunis Kuba dibawah kendali Fidel Castro yang masih memimpin hingga sekarang.
Penunjukkan Habibie sebagai penggantinya didasarkan pada pasal 8 UUD 1945. Habibie tidak hanya seorang jenius di bidang kedirgantaraan yang saat itu menjabat wakil presiden, namun juga seorang murid politik Soeharto. Dibandingkan dengan gurunya, Habibie tidak cukup beruntung. la mewarisi negara yang berantakan serta posisinya yang tampak lemah vis-a-vis rakyat. Merosotnya peran negara dalam kehidupan rakyat mengakibatkan praktik pengerahan massa dalam melakukan tawar-menawar politik sangat diminati oleh sejumlah elite baik ketika berhadapan dengan sesama elite maupun dengan negara. Akibatnya muncul berbagai kerusuhan yang menelan banyak korban.
Selain itu, Habibie dihadapkan pada tuntutan reformasi di semua bidang kehidupan yang menggema di mana-mana. Dalam kaitan ini, oleh sebagian besar masyarakat ia masih dianggap tidak legitimate untuk memimpin, karena dipandang sebagai bagian dari rezim Orde Baru yang harus disingkirkan. Hal ini tampaknya disadari pula oleh Habibie. Karena itu, sejak awal kepemimpinannya, ia banyak melakukan tindakan populer guna mendongkrak legitimasinya dan pada saat yang sama memasang kuda-kuda untuk pertarungan memperebutkan kursi presiden periode berikutnya. Sejarah mencatat bahwa Habibie telah memberi kebebasan yang luar biasa kepada dunia pers, membebaskan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol), menggusur Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari wacana politik nasional, menghapus keharusan pemakaian asas tunggal Pancasila bagi organisasi massa (ormas) dan organisasi politik (orpol), mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah, kebebasan mendirikan partai politik bagi seluruh masyarakat dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu pada bulan Juni 1999.
Dua butir yang disebut terakhir ternyata disambut oleh masyarakat dengan kegembiraan yang meluap-luap (euphoria). Pengungkapannya mengambil bentuk mendirikan partai dalam jumlah yang sangat besar (181 partai) yang diandaikan dapat berfungsi sebagai instrumen politik paling signifikan. Tentu saja respons seperti ini sangat wajar, jika kita mengingat bahwa kemerdekaan politik rakyat telah terpasung oleh kebejatan negara Orde Baru selama 32 tahun. Pada masa euphoria ini, partai-partai dengan basis sosial besar dan kecil secara ideologis dapat dibelah menjadi dua bagian besar: nasionalisme-religius dan nasionalisme-sekuler.[2]
Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam.[3]
  1. Faktor-faktor yang Mendorong Munculnya Reformasi
1)      Adanya ketidakadilan di bidang perekonomian dan hukum selama pemerintahan orde baru selama 32 tahun.
2)      Krisis Politik.
Pembaharuan yang dituntut terutama ditukukan pada terbitnya lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan yaitu :
a.       UU No. 1 tahun 1985 tentang pemilihan umum
b.      UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPR/MPR
c.        UU No. 3 tahun 1985 tentang Parpoil dan golongan karya
d.       UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum
e.        UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi massa
3)      Krisis Hukum Pelaksanaan hukum pada masa orde baru terdapat banyak ketidakadilan terutama yang menyangkut hukum bagi keluarga pejabat. Bahkan hkum dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rkayasa dalam proses peradilan.
4)      Krisis Ekonomi Faktor penyebab krisis ekonomi yang melanda Indonesia antara lain :
a.       Utang Luar Negeri Indonesia
b.      Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
c.       Pola pemerintahan sentralistis
5)       Krisis Kepercayaan Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Soeharto. Puncak dari ketidakpercayaan rakyat adalah terjadinya berbagai aksi demonstrasi menentang pemerintah karena mengeluarkan kebijakan yang melukai hati rakyat misal kenaikan BBM dan ongkos angkutan pada 4 Mei 1998. puncak aksi rakyat dan mahasiswa terjadi pada 12 Mei 1998 dimana terjadi peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti oleh aparat yaitu :
a.       Elang Mulia Lesmana
b.      Heri Hertanto
c.       Hendriawan Lesmana
d.      Hafidhin Royan
Yang akhirnya mendorong timbulnya aksi massa lebih besar pada 13 dan 14 Mei 1998 sehingga terjadi aksi anarkis terutama ditujukan pada etnis Cina. Tuntutan mundur kepada Soeharto semakin menguat setelah munculnya tokoh-tokoh masyarakat yang ikut menuntut Soeharto mundur diantaranya :
1.      Gus Dur
2.      Amien Rais
3.      Megawati
4.      Sri Sultan Hemengkubuwono X
 (Yang dikenal dengan Tokoh Deklarasi Ciganjur) pada tanggal 21 Mei 1998 kemudian menyerahkan kekuasaan pada BJ. Habibie.

  1. Beberapa Kebijakan yang Dikeluarkan B.J Habibie untuk Mewujudkan Tujuan dari Reformasi
1.      kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa orde baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
a.       UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
b.      UU No. 3 Tahin 1999 tentang pemilihan umum
c.       UU No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR
2.      Kebijakan Dalam Bidang Ekonomi
Untuk memperbaiki prekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional ( BPPN ). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No 5 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:
3.      Kebebasan Dalam Menyampaikan Pendapat dan Pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari mumculnya partai-partai politik dari berbagaia golongan dan ideology. Masyarakat dapat menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada Pers. Reformasi dalam Pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Ijin Usaha Penerbitan ( SIUP ).
4.      Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Dalam pemerintahan B. J. Habibie juga berhasil menyelesaikan masalah Timor Timur. B.J.Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dibawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
Selain dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh B.J. Habibie, perubahan juga dilakukan dengan penyempurnaan pelaksanaan dan perbaikan peraturan-peraturan yan tidakk demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu kepada prinsip pemisahan kekuasaan dn tata hubungan yang jelas antara lembaga Eksekutuf, Legislatif dan Yudikatif.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain :
1.      Keluarnya ketetapan MPR RI No X / MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi.
2.      Ketetapan No VII/MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR tentang referendum
3.      Tap MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN.
4.      Tap MPR RI No XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden RI.
5.      Amandemen UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV.


  1. Sistematika Pelaksanaan UU 1945 Pada Masa Reformasi
Pada masa orde Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi dengan berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi berdasar atas kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi telah banya member ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena dianggap menyimpang dari garis Reformasi.
Ciri-ciri umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi:
1.      Mengutamakan musyawarah mufakat
2.      Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara
3.      Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
4.      Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5.      Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil musyawarah
6.      Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur
7.      Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Than Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
8.      Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya masyarakat
9.      Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10.  Penghormatan kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai.
11.  Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia

Setelah diadakannya amandemen, UUD 1945 mengalami perubahan. Hasil perubahan terhadap UUD 1945 setelah di amandemen :
  1. Pembukaan
  2. Pasal-pasal: 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.

  1. Sistem Pemerintahan Pada Masa Orde Reformasi
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
  1. Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
  2. Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersuh dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi.
  3. Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.
  4. Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih  langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD.
Di dalam amandemen UUD 1945 ada penegasan tentang sisten pemerintahan presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung




BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.










DAFTAR PUSTAKA



[1] http://digilib.walisongo.ac.id/, diakses pada 10 Desember 2014, 17:41.
[2] Ibid.
[3]  http://lib.ui.ac.id/, diakseas pada 10 Desember 2014, 19:16.

No comments:

Post a Comment