BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Krisis finalsial
Asia yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan ekonomi Indonesia melemah.
Keadaan memburuk. Adanya sistem monopoli di bidang perdagangan, jasa, dan
usaha. Pada masa orde baru, orang-orang dekat dengan pemerintah akan mudah
mendapatkan fasilitas dan kesempatan bahkan mampu berbuat apa saja demi
keberhasilan usahanya.Terjadi krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak
yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang
ditutup sehimgga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan amgka pengangguran
meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan krisis perbankan. KKN
semakin merajarela, ketidak adilan dalam bidang hukum, pemerintahan orde baru
yang otoriter (tidak demokrasi) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam
orde baru, adanya 5 paket UU serta memunculkan demonstrasi yang digerakkan oleh mahsiswa.
Tuntutan utama
kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu
terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas
Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah
Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat
mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “ Pahlawan
reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, presiden soeharto berjanji akan
mereshuffle cabinet pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga
akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU
Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, komite reformasi belum bisa terbentuk karenan empat
belas menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya
penolakan tersebut menyebabkan presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden
B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai dimulainya orde reformasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
politik Islam Pasca Orde Baru tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui politik Islam
Pasca Orde Baru.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini
yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih
memahami mengenai Politik Islam Pasca
Orde Baru, baik itu penjelasan, penguraian, serta
pengidentifikasian yang dapat di aplikasikan dalam proses
pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang
berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam
Era Reformasi
Proses reformasi di negara Indonesai diawali dengan
lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. lalu diangkatnya presiden B.J.
Habibi. Di era Reformasi banyak partai-partai Islam yang muncul diantaranya adalah
PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan Umat
(PKU), Partai Abud Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan Partai Cinta Damai (PCD),
PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Meskipun
partai-partai Islam ini tidak merai suara terbesar, namun koalisi mereka
melalui kaukus Poros Tengah dapat menghalangi tampilnya aliran dan kelompok
Politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan beberapa tokoh utama pada
posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais
sebagai ketua DPR-RI dan Gus Dur sebagai Presiden. Pasca Soeharto, era
reformasi nampaknya merupakan momentum untuk melahirkan ekspresi Islam
masing-masing, NU dan Muhammadiyah tidak lagi menjadi dwi-tunggal yang
mengundang perhatian banyak pengamat asing. Selain NU dan Muhammadiyah,
realitasnya, ada banyak organisasi massa Islam di Indonesia, misalnya Persis
atau Perti, namun memang tidak sebesar dua organisasi sebelumnya.
Sementara
itu, era reformasi adalah era keterbukaan yang memungkinkan orang untuk
mengekspresikan pikiran termasuk cara keberagaamaan. contoh misalnya; lahirnya
Front Pembela Islam (FPI) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Forum
Komunikasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan Laskar Jihadnya, dan lain-lain.
Masing-masing organisasi Islam ini lahir dengan karakternya masing-masing. Yang
menarik, gerakan organisasi ini mampu menyedot perhatian media massa dengan
seluas-luasnya di media dalam dan luar negeri.
Selain
sangat kental dengan simbol, gerakannya yang lebih mengandalkan unjuk kekuatan
dalam melawan sesuatu di mana hal ini tidak dijumpai sebelumnya banyak orang
dirugikan atas pembenaran tindakannya yang mengatasnamakan agama dengan kata
lain jihad. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh
menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan
pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid.
Pemerintah
memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri. Sejak
inilah Islam Indonesia banyak dikenal lebih pada gerakannya, beberapa gerakan
yang anarki dengan mengatasnamakan amar ma’ruf lebih sering didengar masyarakat
daripada kegiatan-kegiatan ilmiah dan kajian-kajian untuk mengeksplorasi Islam.
- Islam Indonesia; Kontribusi Demokrasi Pasca Reformasi.
Krisis politik
di Indonesia yang diyakini bersumber dari dampak utama (the prominent
effect) adanya krisis ekonomi semenjak pertenganan Juli 1997,merupakan awal
dominasi penyebab lengsernya rezim Orde Baru. Namun anehnya saat itu, kondisi
krisis ekonomi dan semakin amburadulnya tatanan demokrasi pemerintahan yang
ada, masih saja MPR dan kekuatan politik yang ada memberanikan diri mancalonkan
Soeharto yang sudah jelas banyak ditentang masyarakat luas. Maka tak ayal jika
pada akhirnya massa mahasiswa yang terus ‘mengamuk’ berdatangan dari berbagai
kelompok antara tanggal 18-20 Mei 1998 berhasil memaksa pimpinan DPR dan
staf-stafnya untuk mengambil sikap atas tuntutan reformasi. Selepas kondisi
itulah, yakni pasca jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi proses demokratisasi di
segala bidang mulai start untuk dijalankan demi tercapainya cita-cita
masyarakat Indonesia yang berdaulat.
Membuka file
itu, tentu saja mengingatkan kita pada kondisi peta Islam di Indonesia yang
–saat itu dan sesudahnya- telah banyak memberikan kontribusi atas wujudnya
transformasi sosial dan berlakunya sebuah proses demokratisasi yang sedang
melangkah sedikit demi sedikit di Indonesia. Melihat hal itu, maka tak terbantahkan, bahwa Islam di Indonesia,
sejatinya juga telah memberikan kontribusi atas hadirnya proses iklim
demokratisasi pasca jatuhnya rezim
otoriter Soeharto. Kontribusi tersebut bisa dicermati cukup dengan dua sisi
pandangan. Pertama adalah pandangan dari sisi normatif dan yang kedua adalah
dari sisi praktis-historis.
Pertama, bisa
terlihat dari sisi cita-cita normatif. Maksudnya adalah, bahwa Islam sebagai
sebuah agama, sesungguhnya telah meletakkan beberapa dasar prinsip demokrasi
dalam beberapa ajarannya seperti; shura (permusyawaratan), al-‘adalah
(keadilan), ijma’ (konsensus), ijtihâd (kemerdekaan berpikir), tasamuh (tolerensi),
al-hurrîyah (kebebasan), al-musâwah (egalitarian), ash-shidqu wal amânah
(kejujuran dan tanggung jawab). Prinsip-prinsip tersebut, sebetulnya merupakan
inti semangat makna demokrasi dan tentu hal itu bisa dibaca pada kitab
al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an tidak menyebut suatu bentuk dan sistem ketata-negaraan
secara sharih, tatanan sistem demokrasi yang [saat itu dan sekarang] menjadi
primadona bentuk demokrasi negara-negara di dunia, memiliki titik temu dan
relevansi kuat untuk mengegolkan proses demokrasi di segala aspek kehidupan.
Dengan demikian, dalam Islam sebetulnya telah tertanam beberapa prinsip pokok
dan tata nilai berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan bernegara untuk
menunjang lajunya proses demokrasi.
Kedua, adalah
dari sisi praktis-historis. Maksudnya adalah, bahwa selain Islam di Indonesia
telah meletakkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam prakteknya Islam juga telah
membuktikan nilai-nilai tersebut. Dalam sejarah (historis) di Indonesia, para
pemimpin Muslim yang mewakili mayoritas bangsa, telah memainkan peran penting
dalam menentukan reformasi sosial dan politik. Bila era Orde Lama para pemimpin
Muslim berperan melalui Masyumi, maka pada pasca lengsernya lengsernya Suharto,
dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah secara proaktif terlibat
langsung dalam proses perubahan kepemimpinan untuk membangun sistem demokrasi
di Indonesia.
Abdurahman Wahid
(Gus Dur) dan Amin Rais yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar
di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, diakui rupakan tokoh penting dan sangat
vital di dalam prosesi penumbangan rezim Soeharto dan mereka cukup dikenal juga
sebagai tokoh yang gandrung akan tegaknya proses dan sistem demokrasi di
Indonesia. Kekuatan dan karisma yang dimiliki keduanya, tentu juga telah
ditampilkan lewat masing-masing kebesaran massa organisasinya, NU dan
Muhammadiyah. Turut terlibatnya mereka, sebagai pemimpin partai Islam, dalam
menegakkan cita-cita demokrasi di bumi pertiwi Indonesia, merupakan bukti
kongkrit bahwa cita-cita Islam sejatinya sangatlah mendukung atas berjalannya
proses demokratisasi untuk menciptakan –salah satunya- masyarakat madani.
Amin Rais
bersama organisasi Muhammadiyahnya yang berjumlah 28.000.000 anggota berikut
dengan berjuta-juta simpatisanya, sering terlihat dalam media menjadi tokoh
central penting dalam arus perkembangan politik pasca rezim Soeharto dalam
menyuarakan jargon-jargon demokrasi baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi
maupun budaya. Muhammadiyyah dan Amin Rais, sebagai organisasi masyarakat dan
Ketuanya, tidak hanya bertujuan “to up-hold and to up-lift the religion of
Islam so as tocreate the true Islamic society” saja melainkan lebih dari itu,
sepak terjang Ketua PP. Muhammadiyah saat itu, sangatlah ketara ketika terlibat
langsung dalam proses perubahan kepemimpinan nasional pada Mei 1998.
Pada waktu yang
sama dengan momen yang berbeda, Gus Dur dengan NUnya, juga turut diacungi
jempol dalam gerakannya yang pelan tapi pasti, di dalam menumbuhkan sikap demokarasi
di Indonesia. Sejak NU memutuskan kembali ke khithah 1926 pada Muktamar NU
ke-27 tahun 1984 sampai peristiwa lengsernya rezim otoriter Orde Baru tahun
1998, gerakannya hanya dipusatkan pada transformasi sosial-ekonomi. Dalam hal
ini, NU sebagai Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah, menegaskan keseluruh anggota
dan simpatisannya untuk tidak terbuai dalam kekuasaan yang korup, nepotis, dan
manipulatif (KKN). Di saat warga bangsa gila harta, jabatan, dan kursi
kekuasaan, NU di era reformasi dengan tenangnya menata barisan untuk merumuskan
pesan-pesan moralitas politik. Karena itulah, kasus Muktamar NU ke-29 di
Cipasung, bisa dilihat sebagai contoh bahwa organisasi NU sangatlah concern
terhadap demokratisasi bangsa dan
negara. Dengan menanamkan sikap-sikap di atas dalam menghadapi situasi negara dan bangsa yang hampir kolep,
tentunya NU telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara dalam
penegakan demokrasi di Indonesia.
Ditambah lagi
dengan langkah-langkah Gus Dur dalam mengaktualisasikan demokratisasi dan
penegakan HAM diberbagai persoalan bangsa, begitu pula taqrir baru para Kyai
dalam membangun partai kebangkitan bangsa [PKB] yang berformat sangat inklusif,
populis, moderat dan humanis, tentu saja menambah starting point bahwa Islam di
Indonesia berpotensi untuk menumbuh-kembangkan sikap demokrasi. Artinya, sudah
sangat klop-lah bahwa Islam di Indonesia mempunyai peran yang sangat urgen dan
berpotensi menumbuhkan sikap-sikap demokrasi dilihat dari karakter normatif dan
praksis-historisnya.
- Munculnya Partai-Partai Politik Islam
Setelah
dihujani terus-menerus oleh berbagai aksi dan persoalan ekonomi, politik, dan
sosial yang semakin melimpah, akhirnya Soeharto menyerah lewat pidato
pengunduran dirinya sebagai presiden yang diucapkan tepat pada Hari Rabu, 21
Mei 1998, pukul 09.00 WIB.[1]
Seusai
mengalihkan kekuasaan kepada Habibie, Soeharto melangkah keluar Istana Negara,
berhenti menjadi presiden zonder pertanggungjawaban atas praktik
kepemimpinannya. Anehnya, tak seorang pun dari 200 juta anak bangsa ini mampu
memaksanya untuk bertanggung jawab. Sebelumnya Soeharto memerintah negeri ini
selama lebih tiga dasawarsa dengan corak kekuasaan layaknya seorang raja, yang
dapat berbuat sekehendak hatinya tanpa dapat tersentuh hukum. Di masa modern,
kekuasaan semacam ini dilakukan oleh rezim komunis Kuba dibawah kendali Fidel
Castro yang masih memimpin hingga sekarang.
Penunjukkan
Habibie sebagai penggantinya didasarkan pada pasal 8 UUD 1945. Habibie tidak
hanya seorang jenius di bidang kedirgantaraan yang saat itu menjabat wakil
presiden, namun juga seorang murid politik Soeharto. Dibandingkan dengan
gurunya, Habibie tidak cukup beruntung. la mewarisi negara yang berantakan
serta posisinya yang tampak lemah vis-a-vis rakyat. Merosotnya peran negara
dalam kehidupan rakyat mengakibatkan praktik pengerahan massa dalam melakukan
tawar-menawar politik sangat diminati oleh sejumlah elite baik ketika
berhadapan dengan sesama elite maupun dengan negara. Akibatnya muncul berbagai
kerusuhan yang menelan banyak korban.
Selain
itu, Habibie dihadapkan pada tuntutan reformasi di semua bidang kehidupan yang
menggema di mana-mana. Dalam kaitan ini, oleh sebagian besar masyarakat ia
masih dianggap tidak legitimate untuk memimpin, karena dipandang sebagai bagian
dari rezim Orde Baru yang harus disingkirkan. Hal ini tampaknya disadari pula
oleh Habibie. Karena itu, sejak awal kepemimpinannya, ia banyak melakukan
tindakan populer guna mendongkrak legitimasinya dan pada saat yang sama
memasang kuda-kuda untuk pertarungan memperebutkan kursi presiden periode
berikutnya. Sejarah mencatat bahwa Habibie telah memberi kebebasan yang luar
biasa kepada dunia pers, membebaskan tahanan politik (tapol) dan narapidana
politik (napol), menggusur Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari
wacana politik nasional, menghapus keharusan pemakaian asas tunggal Pancasila
bagi organisasi massa (ormas) dan organisasi politik (orpol), mengeluarkan
Undang-Undang Otonomi Daerah, kebebasan mendirikan partai politik bagi seluruh
masyarakat dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu pada bulan Juni 1999.
Dua
butir yang disebut terakhir ternyata disambut oleh masyarakat dengan
kegembiraan yang meluap-luap (euphoria). Pengungkapannya mengambil bentuk
mendirikan partai dalam jumlah yang sangat besar (181 partai) yang diandaikan
dapat berfungsi sebagai instrumen politik paling signifikan. Tentu saja respons
seperti ini sangat wajar, jika kita mengingat bahwa kemerdekaan politik rakyat
telah terpasung oleh kebejatan negara Orde Baru selama 32 tahun. Pada masa
euphoria ini, partai-partai dengan basis sosial besar dan kecil secara
ideologis dapat dibelah menjadi dua bagian besar: nasionalisme-religius dan nasionalisme-sekuler.[2]
Sebenarnya,
fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde
Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa
partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia
(PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan
politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan
Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada
peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir,
fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih
fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan
partai Islam.[3]
- Faktor-faktor yang Mendorong Munculnya Reformasi
1)
Adanya ketidakadilan di bidang perekonomian dan hukum
selama pemerintahan orde baru selama 32 tahun.
2)
Krisis Politik.
Pembaharuan
yang dituntut terutama ditukukan pada terbitnya lima paket undang-undang
politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan yaitu :
a.
UU No. 1 tahun 1985 tentang pemilihan umum
b.
UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, tugas
dan wewenang DPR/MPR
c.
UU No. 3
tahun 1985 tentang Parpoil dan golongan karya
d.
UU No. 5
tahun 1985 tentang referendum
e.
UU No. 8
tahun 1985 tentang organisasi massa
3)
Krisis Hukum Pelaksanaan hukum pada masa orde baru
terdapat banyak ketidakadilan terutama yang menyangkut hukum bagi keluarga
pejabat. Bahkan hkum dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan dan kebijakan
pemerintah atau sering terjadi rkayasa dalam proses peradilan.
4)
Krisis Ekonomi Faktor penyebab krisis ekonomi yang
melanda Indonesia antara lain :
a.
Utang Luar Negeri Indonesia
b.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
c.
Pola pemerintahan sentralistis
5)
Krisis
Kepercayaan Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi
kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Soeharto. Puncak dari ketidakpercayaan
rakyat adalah terjadinya berbagai aksi demonstrasi menentang pemerintah karena
mengeluarkan kebijakan yang melukai hati rakyat misal kenaikan BBM dan ongkos
angkutan pada 4 Mei 1998. puncak aksi rakyat dan mahasiswa terjadi pada 12 Mei
1998 dimana terjadi peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti oleh
aparat yaitu :
a.
Elang Mulia Lesmana
b.
Heri Hertanto
c.
Hendriawan Lesmana
d.
Hafidhin Royan
Yang akhirnya mendorong timbulnya aksi massa lebih besar pada 13 dan 14 Mei
1998 sehingga terjadi aksi anarkis terutama ditujukan pada etnis Cina. Tuntutan
mundur kepada Soeharto semakin menguat setelah munculnya tokoh-tokoh masyarakat
yang ikut menuntut Soeharto mundur diantaranya :
1.
Gus Dur
2.
Amien Rais
3.
Megawati
4.
Sri Sultan Hemengkubuwono X
(Yang
dikenal dengan Tokoh Deklarasi Ciganjur) pada tanggal 21 Mei 1998 kemudian
menyerahkan kekuasaan pada BJ. Habibie.
- Beberapa Kebijakan yang Dikeluarkan B.J Habibie untuk Mewujudkan Tujuan dari Reformasi
1.
kebijakan dalam bidang politik
Reformasi
dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa orde baru
dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga
undang-undang tersebut.
a.
UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
b.
UU No. 3 Tahin 1999 tentang pemilihan umum
c.
UU No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan
DPR/MPR
2.
Kebijakan Dalam Bidang Ekonomi
Untuk
memperbaiki prekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional ( BPPN ). Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan UU No 5 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:
3.
Kebebasan Dalam Menyampaikan Pendapat dan Pers
Kebebasan
menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini
terlihat dari mumculnya partai-partai politik dari berbagaia golongan dan ideology.
Masyarakat dapat menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di
samping kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada
Pers. Reformasi dalam Pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan
Surat Ijin Usaha Penerbitan ( SIUP ).
4.
Pelaksanaan Pemilu
Pada masa
pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang
damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48
partai politik. Dalam pemerintahan B. J. Habibie juga berhasil menyelesaikan
masalah Timor Timur. B.J.Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak
pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30
Agustus 1999 dibawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut
menunjukan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat
itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur
mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
Selain
dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh B.J. Habibie, perubahan
juga dilakukan dengan penyempurnaan pelaksanaan dan perbaikan
peraturan-peraturan yan tidakk demokratis, dengan meningkatkan peran
lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang
dan tanggung jawab yang mengacu kepada prinsip pemisahan kekuasaan dn tata
hubungan yang jelas antara lembaga Eksekutuf, Legislatif dan Yudikatif.
Masa
reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain :
1.
Keluarnya ketetapan MPR RI No X / MPR/1998 Tentang
Pokok-Pokok Reformasi.
2.
Ketetapan No VII/MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR
tentang referendum
3.
Tap MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
negara yang bebas dari KKN.
4.
Tap MPR RI No XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa
jabatan presiden dan wakil presiden RI.
5.
Amandemen UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV.
- Sistematika Pelaksanaan UU 1945 Pada Masa Reformasi
Pada masa orde Reformasi demokrasi
yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi dengan berdasarkan kepada
Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde
Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi berdasar atas
kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu
memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosila bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi
telah banya member ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya
termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan
mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat
melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena
dianggap menyimpang dari garis Reformasi.
Ciri-ciri umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde
Reformasi:
1.
Mengutamakan musyawarah mufakat
2.
Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan
negara
3.
Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
4.
Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5.
Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan
keputusan hasil musyawarah
6.
Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
yang luhur
7.
Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral
kepada Than Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
8.
Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan
pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya
masyarakat
9.
Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga
Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10. Penghormatan
kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai.
11. Adanya
kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia
Setelah diadakannya amandemen, UUD
1945 mengalami perubahan. Hasil perubahan terhadap UUD 1945 setelah di
amandemen :
- Pembukaan
- Pasal-pasal: 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.
- Sistem Pemerintahan Pada Masa Orde Reformasi
Sistem pemerintahan masa orde
reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
- Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
- Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersuh dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.
- Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD.
Di dalam amandemen UUD 1945 ada
penegasan tentang sisten pemerintahan presidensial tetap dipertahankan dan
bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sejalan
dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya
perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat,
sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan
presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat
kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun
harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah
beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana
kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru
akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi
yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment