BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut S.M Kartosoewirjo negara Republik
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam namun
tidak menganut paham yang berdasarkan Islam. Justru langkah yang diambil oleh
para founding father’s, khususnya kaum nasionalis sekuler lebih memilih deologi
Pancasila.
Sejarah Bangsa
Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Mohammad Natsir. Dia adalah perdana
menteri, tokoh politik, tokoh pergerakan, tokoh Islam, sekaligus tokoh
pendidikan. M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi
adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial,
dan kebudayaan.
Pemikiran dari kedua
tokoh diatas dapat dikatakan banyak berfokus pada keislaman. Bagaimana profil
kedua tokoh pembaharuan tersebut (?) dan bagaimana ide-ide atau pemikiran
mereka dalam khazanah keilmuan Islam. (?) Inilah yang menjadi beberapa
pertanyaan yang akan coba pemakalah uraikan pada pembahasan makalah ini.
Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
profil kedua tokoh pembaharuan tersebut?
2. Bagaimana
ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui profil
kedua tokoh yaitu Kartosoewirjo dan Mohammad Natsir.
2. Untuk mengetahui pemikiran politik
Kartosoewirjo dan Mohammad Natsir.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini
yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih
memahami mengenai Politik Cokroaminoto
dan Soekarno, baik itu penjelasan,
penguraian, serta pengidentifikasian
yang dapat di aplikasikan dalam
proses pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang
berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Kartosoewirjo
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal
5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah sufi Islam Indonesia yang memimpin
pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah Indonesia dari tahun 1949 hingga
tahun 1962, dengan tujuan menggulingkan ideologi Pancasila dan mendirikan
Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah.[1]
Ayahnya,
yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan
para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri
candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah
Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat
itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya.
Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.[2]
Dengan
kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia"
ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem
rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana
politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan
suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya
mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai
seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup
dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh
Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat
Buruh.
Pada umur 8
tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse
(ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat
tahun kemudian, ia masuk ELS
di Bojonegoro
(sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang
memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro,
Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh
Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah.
Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo.
Pemikiran Notodiharjo ini sangat
memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.[3]
Semasa
remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari
seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia
adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika
itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke
dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi
bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam.
Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada
tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan
studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda
untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak
aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Selama
kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai
"mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu
"terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam
minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan
berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah
dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah
Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.[4]
Dengan
modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi
politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran
Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo.
Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi
aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh
dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang
cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya
karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh
"komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai
ideologi yang akan membahayakan.
Padahal
ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan,
kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran
politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama
besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai
seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
B.
Aktivitas
Kartosoewirjo
Semenjak tahun
1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda
Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang
lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond
(JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya
kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi
salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, "Sumpah
Pemuda".[5]
Selain bertugas
sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur),
Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula
ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam
usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi
redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia
menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik
kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam
perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan
pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana
pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera,
yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah
ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan
belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya
sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943,
ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang
politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari
MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus
menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.[6]
Dalam masa
pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah
yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak
memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka
pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di
Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang
utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti
Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan
Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo
yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui
kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya
rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari
tanganpenjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus
1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada
Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.
Namun sejak
kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah
yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip
kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam
tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di
luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam
dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara
efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya
dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.[7]
Situasi yang
kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya
perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Dimana pada
perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis
demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda
atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting
yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda
harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur atau "kabur"
dalam istilah orang-orang DI ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara
Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi
ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya" TNI ini dengan
memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia menipu jutaan
rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan
Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat,
menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna
"hijrah" itu.
Pada tahun 1949
Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat
mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi
Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak
kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara
Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di
dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara
Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang tegang." Bahkan,
peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun
peristiwa ini disebut sebagai sebuah "pemberontakan", maka ia
bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci
anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini.
"Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras habis logistik
angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula
pemberontakan yang bersifat regional, bukan "pemberontakan" yang
muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena
sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran
Islam yang lurus.[8]
Akhirnya,
perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo
sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa
perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu
adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada
mujahid Kartosoewirjo.
- Karier Kartosoewirjo
S. M.
Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat
tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk
Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan
politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk
memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik
pihak nasionalis lewat artikelnya.[9]
Kariernya
kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian
bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia
menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong.
Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite
Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut
Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan
oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang
tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama
dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala
tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri
terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun
berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu
sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan
pemerintah Kolonial.
D.
Masa Perang
Kemerdekaan
Pada masa perang
kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya
membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia
menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march
ke Jawa Tengah.
Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit
wilayah kedaulatan Republik Indonesia.[10]
Kartosoewirjo juga
menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin
yang saat itu menjabat Perdana Menteri. Pada waktu itu, Sugondo Djojopuspito, yang kenal baik dengan SM
Kartosoewitjo dan Amir Sjarifuddin ketika peristiwa Sumpah Pemuda
1928 di Batavia, membujuk Kartosoewirjo: Wis to Mas, miliho menteri opo wae
asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri Dalam Negeri (Sudahlah Mas, pilih
jadi menteri apa saja, tapi jangan Menteri Pertahanan atau Menteri Dalam
Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak
mau, kalau dasar negara bukan Islam).
- Negara Islam Indonesia
Kekecewaannya terhadap
pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian
memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949.
Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa
Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia
kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo.
Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo
berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang
di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat
pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia
kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September
1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu,
Jakarta.[11]
Negara Islam Indonesia
(disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya
adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada
7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,
Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan
buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.[12]
Gerakan ini bertujuan
menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan
kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai
negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya
bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum
Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa
"Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al
Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas
menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan
syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan
Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam
Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Tentang kisah
wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari
bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan
umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma,
berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara
Islam ini. Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana
pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi
jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah
mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid
Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo.
- Biografi Mohammad Natsir
Mohammad Natsir
(lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17
Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah
seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan
pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka
Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri
Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai
presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid
se-Dunia.[13]
Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya,
Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana dan kakaeknya seorang ulama.[14]
Ketika kecil,
Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama
Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir
mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan
kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat
pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan
nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Natsir lahir dan
dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan
tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di
partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai
perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya
pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia
semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga
membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966,
Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto
hingga membuatnya dicekal.
Natsir banyak
menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah
karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia
telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam
sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan
perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya,
ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari
Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan
nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju
bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan
menolak diberi hadiah mobil mewah."
Ia diakui sebagai
tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tdak
hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia
juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten
Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam
Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan
Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern
yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun,
sejak 1932.
Kiprah Natsir
sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh
dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah
pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang
biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan
kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.[15]
- Sosialisasi Politik Mohammad Natsir
1.
Masa Kanak-Kanak dan Lingkungan Sosial Masyarakat
Minangkabau
Menurut B.Schrieke
(dalam Ahmad Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa masyarakat Minangkabau terdiri
dari sejumlah republik atau negeria
(negeri-negeri). Pemerintahan negeri ini ini dibentuk sesuai dengan tradisi
kelompok-kelompok kepala-kepala suku keluarga. Keluarga tersebut didasarkan
pada suatu Matriachat, menurut Hildert Geertzs (dalam Ahmad Suhelmi, 1999)
dimana keturunan dan harta benda diperhitungakan melalui garis ibu dan bukan
garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah
saudara laki-laki seorang wanita, dan bukanh suaminya. Didaerah ini, adat
istiadat suku dipegang amat ketat, terutama oleh golongan adat atau kaum
tradisionalis.
Pada permulaan
abad ini, lahir gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori kaum muda di daerah
ini. Mereka ulama yang dipengaruhi gerakan Wahabi Arab Saudi dan gerakan
pembaharuan Islam Mesir. Diantara kaum reformis itu ada yang sempat berguru
pada tokoh-tokoh Wahabi, dan kuat dipengaruhi gagasan-gagasan Muhammad Rasyid
maupun Muhammad Abduh. Tututan gerakan ini antara lain purifikasi (pemurnian)
ajaran Islam.[16]
Gerakan
pembaharuan menimbulkan reaksi keras dari kalangan adat (tradisionalis);
kepala-kepala suku negeri atau kaum “kolor”. Akibatnya, timbul polarisasi
sosial yaitu dengan terciptanya golongan kaum muda pendukung gerakan
pembaharauan dan golongan adat yang empertahankanstatus quo. Gerakan ini juga
sempat menciptakan krisis identitas dalam masyarakat Minangkabau.
2.
Natsir dan Persis (Persatuan Islam)
Semasa tinggal di
Bandung, Natsir juga belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam), Ahmad
Hassan. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa
yang menariknya ke dalam gerakan perjuangan Persis yang dipimpin oleh Hassan.[17]
Menurut
Federsfield (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa Persatuan Islam
resmi dibentuk tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang menaruh
perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan. Menurut Noer (dalam Ahmad
Suhelmi, 1999) berpendapat bahwa ide pendirian organisasi tersebut berasal dari
pertemuan bersifat kenduri yang kemudian berkembang setelah para perintisnya
memperluas diskusi-diskusi tentang ajaran-ajaran Islam dan situasi pergerakan
yang dihadapi kaum Muslimin. Pada umumnya masalah “Reformasi Islam” menjadi
topik utama diskusi-dikusi yang diadakan tersebut. Mereka yang termasuk oendiri
Persis ini adalah Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus, dan Ahmad Hassan. Yang
dissebut terakhir adalah seorang ahli debat dalam setiap diskusi yang diadakan
Persis.
Arti pentingnya
Natsir dalam kegiatan organisasi dalam kegiatan organisasi Modernis Muslim ini
karena keikutsertaannya itu, terutama sebagai redaksi Pembela Islam, telah memperkokoh posisi organisasi dalam menghadapi
ancaman eksternal saat itu, ancaman Kertening
Politiek yang dilancarkan yang dilancarkan oleh para missi dan zending
Kristen didukung pemerintah kolonial Belanda, jadi umat Islam menghadapi dua
lawan sekaligus: Zending Kristen dan pemerintahan Kolonial Belanda. Keduanya
bersatu, bahu membahu mengkikis Islam dari Indonesia. Dukungan kolonial
terhadap gerakan Kristenisasi, terutama dimasa pemerintahan gubernur Jenderal
Inderburg, tidak sebatas dukungan moral dan politik. Lebih dari itu
pemerintahan kolonial memberikan dana (finansial
aid) dalam jumlah besar.
Di lain
kesempatan, Natsir juga menyaksikan pelecehan beberapa pemimpin puncak PNI
terhadap beberapa toko Islam, menyadarkan bahwa “gerakan kebangsaan yang
dipelopori Soekarno dan kawan-kawan mengadung bibit-bibit kebencian dan
memandang enteng kepada Islam”. Sikap kalangan PNI terhadap para pemimpin Islam
nampaknya tidak berubah sampai penghujung akhir tahun 1930. Dalam kondisi
demikian, pertarungan-pertarungan anatara kedua golongan sulit dihindari.[18]
- Pemikiran Natsir (A.Muchlis)
Bagi Natsir,
agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa
urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.
Dinyatakannya pula bahwa kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi
seperti kalangan Kristen, fasis atau Komunisme.Natsir lalu mengutip nash
Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam:”Tidaklah Aku jadikan
jin dan manusia melainkan untuk mengabdi pada-Ku”. Bertitik tolak dari dasar
ideologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di
dumia ini hanyalah ingin menjadihamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan
akhirat kelak.[19]
Natsir menegaskan
negara bukanlah tujuan akhirr Islam, melainkan hanya alat merelisasikan
aturan-aturan Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar,
kewajiban zakat dan pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya
manakala tidak ada negara. Negara, di sini berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya
undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,
(sebagai individu) atau pun sebagai anggota masyarakat.”[20]
- Karier Mohammad Natsir
Natsir banyak
bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan
1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara
demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938,
ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk
cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro
Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung
dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro
Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari
tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh
Presiden Soekarno pada tahun 1960.[21]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan.
Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang
pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong
semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi
ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat
menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia
mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena
perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme
mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan
Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan
hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif
sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan
kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri
Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia
(PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen
dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung
kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Selama era
demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap
pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya
otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai
pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun
1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah
dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi
Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil
Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for
Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress)
di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru,
ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi
kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei
1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri. Di masa-masa awal Orde
Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka
mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak
pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah
Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Soeharto menganggap
orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut
menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali
Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia
pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak
kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi
Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga
ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai
hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.
- Mohammad Natsir Sebagai Penulis
Selama menjalani
pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929,
dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad,
yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als
Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya
mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935.
Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah
Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Natsir telah
menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya
tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis
pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terwalnya umumnya berbahasa
Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya,
hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya
selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada
politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan
Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa
tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan
bagi umat Islam. Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan
Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di
Indonesia.
Sekalipun Natsir
memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali
untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia
juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Sebenarnya,
langkahnya ini yang peduli terhadap dunia pendidikan disebabkan setelah dia
membaca karangan Snouck Hurgronje yang melawan Islam, seperti Netherland en de
Islam yang memaparkan strategi Hurgronje dalam melawan Islam. Buku ini pada
akhirnya kemudian membuat Natsir bertekad melawan Belanda lewat jalur
pendidikan.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa Alasan penolakan S.M kartosoewirjo terhadap negara
Republik Indonesia adalah ideologi Islam
yang lebih sempurna dari pada ideologi pancasila, pemikiran S.M Kartosoewirjo
yang anti kolonialisme dan anti pemikiran barat karena orang-orang barat sangat
jauh menyimpang dari Al-Qur’an dan
Hadis. Dan anggapan bahwa negara republik Indonesia dengan Presiden Soekarno
telah kalah dan menyerah kepada Belanda sehingga dianggap kurang mampu
melindungi rakyat. Konsep Negara Islam seperti halnya dengan konsep pemikiran S.M
Kartosoewirjo tentang NII relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Natsir menegaskan negara
bukanlah tujuan akhirr Islam, melainkan hanya alat merelisasikan aturan-aturan
Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat dan
pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara.
DAFTAR PUSTAKA
Suhelmi, Ahmad, Soekarno Versus
Natsir: kemenangan barisan Megawati reinkarnasi nasionalis sekuler, Jakarta: Darul
Falah, 1999
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo,
diakses 10 November 2014, 20:53.
[2] http://katalogkukar.net/ebook/, diakses 10
November 2014, 21:09.
[3]
Loc.cit.
[4]
http://katalogkukar.net/ebook/, diakses 10
November 2014, 21:10.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo,
diakses 10 November 2014, 23:03.
[10]
Ibid.
[11]
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo,
diakses 10 November 2014, 12:12.
[12]
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia,
diakses 11 November 2014, 11:50.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir,
diakses 11 November 2014, 12:54.
[14] http://repository.usu.ac.id/, diakses
11 November 2014, 13:13.
[15]
Ibid.
[16] Ahmad, Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: kemenangan barisan
Megawati reinkarnasi nasionalis sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h.20.
[17]
Ibid,.h.25.
[18] Ibid,.h.28.
[21]
http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir,
diakses 11 November 2014, 16:51.
No comments:
Post a Comment