My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Kartosoewirjo dan Mohammad Natsir


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Menurut S.M Kartosoewirjo negara Republik Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam namun tidak menganut paham yang berdasarkan Islam. Justru langkah yang diambil oleh para founding father’s, khususnya kaum nasionalis sekuler lebih memilih deologi Pancasila.
Sejarah Bangsa Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Mohammad Natsir. Dia adalah perdana menteri, tokoh politik, tokoh pergerakan, tokoh Islam, sekaligus tokoh pendidikan. M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Pemikiran dari kedua tokoh diatas dapat dikatakan banyak berfokus pada keislaman. Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut (?) dan bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam. (?) Inilah yang menjadi beberapa pertanyaan yang akan coba pemakalah uraikan pada pembahasan makalah ini. Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut?
2.      Bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui profil kedua tokoh yaitu Kartosoewirjo dan Mohammad Natsir.
2.      Untuk mengetahui pemikiran politik Kartosoewirjo dan Mohammad Natsir.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik Cokroaminoto dan Soekarno, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah sufi Islam Indonesia yang memimpin pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah Indonesia dari tahun 1949 hingga tahun 1962, dengan tujuan menggulingkan ideologi Pancasila dan mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah.[1]
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.[2]
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.[3]
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.[4]
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan.
Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
B.     Aktivitas Kartosoewirjo 
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, "Sumpah Pemuda".[5]
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.[6]
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah
yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tanganpenjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.[7]
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Dimana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur atau "kabur" dalam istilah orang-orang DI ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna "hijrah" itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang tegang." Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah "pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan "pemberontakan" yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.[8]
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid Kartosoewirjo.

  1. Karier Kartosoewirjo
S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.[9]
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.
D.    Masa Perang Kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia.[10]
Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri. Pada waktu itu, Sugondo Djojopuspito, yang kenal baik dengan SM Kartosoewitjo dan Amir Sjarifuddin ketika peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di Batavia, membujuk Kartosoewirjo: Wis to Mas, miliho menteri opo wae asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri Dalam Negeri (Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa saja, tapi jangan Menteri Pertahanan atau Menteri Dalam Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau dasar negara bukan Islam).
  1. Negara Islam Indonesia
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.[11]
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.[12]
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini. Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo.
  1. Biografi Mohammad Natsir
Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.[13] Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana dan kakaeknya seorang ulama.[14]
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah  ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah."
Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.
Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.[15]
  1. Sosialisasi Politik Mohammad Natsir
1.      Masa Kanak-Kanak dan Lingkungan Sosial Masyarakat Minangkabau
Menurut B.Schrieke (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa masyarakat Minangkabau terdiri dari sejumlah republik atau negeria (negeri-negeri). Pemerintahan negeri ini ini dibentuk sesuai dengan tradisi kelompok-kelompok kepala-kepala suku keluarga. Keluarga tersebut didasarkan pada suatu Matriachat, menurut Hildert Geertzs (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) dimana keturunan dan harta benda diperhitungakan melalui garis ibu dan bukan garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita, dan bukanh suaminya. Didaerah ini, adat istiadat suku dipegang amat ketat, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Pada permulaan abad ini, lahir gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori kaum muda di daerah ini. Mereka ulama yang dipengaruhi gerakan Wahabi Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. Diantara kaum reformis itu ada yang sempat berguru pada tokoh-tokoh Wahabi, dan kuat dipengaruhi gagasan-gagasan Muhammad Rasyid maupun Muhammad Abduh. Tututan gerakan ini antara lain purifikasi (pemurnian) ajaran Islam.[16]
Gerakan pembaharuan menimbulkan reaksi keras dari kalangan adat (tradisionalis); kepala-kepala suku negeri atau kaum “kolor”. Akibatnya, timbul polarisasi sosial yaitu dengan terciptanya golongan kaum muda pendukung gerakan pembaharauan dan golongan adat yang empertahankanstatus quo. Gerakan ini juga sempat menciptakan krisis identitas dalam masyarakat Minangkabau.
2.      Natsir dan Persis (Persatuan Islam)
Semasa tinggal di Bandung, Natsir juga belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam), Ahmad Hassan. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa yang menariknya ke dalam gerakan perjuangan Persis yang dipimpin oleh Hassan.[17]
Menurut Federsfield (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa Persatuan Islam resmi dibentuk tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang menaruh perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan. Menurut Noer (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) berpendapat bahwa ide pendirian organisasi tersebut berasal dari pertemuan bersifat kenduri yang kemudian berkembang setelah para perintisnya memperluas diskusi-diskusi tentang ajaran-ajaran Islam dan situasi pergerakan yang dihadapi kaum Muslimin. Pada umumnya masalah “Reformasi Islam” menjadi topik utama diskusi-dikusi yang diadakan tersebut. Mereka yang termasuk oendiri Persis ini adalah Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus, dan Ahmad Hassan. Yang dissebut terakhir adalah seorang ahli debat dalam setiap diskusi yang diadakan Persis.
Arti pentingnya Natsir dalam kegiatan organisasi dalam kegiatan organisasi Modernis Muslim ini karena keikutsertaannya itu, terutama sebagai redaksi Pembela Islam, telah memperkokoh posisi organisasi dalam menghadapi ancaman eksternal saat itu, ancaman Kertening Politiek yang dilancarkan yang dilancarkan oleh para missi dan zending Kristen didukung pemerintah kolonial Belanda, jadi umat Islam menghadapi dua lawan sekaligus: Zending Kristen dan pemerintahan Kolonial Belanda. Keduanya bersatu, bahu membahu mengkikis Islam dari Indonesia. Dukungan kolonial terhadap gerakan Kristenisasi, terutama dimasa pemerintahan gubernur Jenderal Inderburg, tidak sebatas dukungan moral dan politik. Lebih dari itu pemerintahan kolonial memberikan dana (finansial aid) dalam jumlah besar.
Di lain kesempatan, Natsir juga menyaksikan pelecehan beberapa pemimpin puncak PNI terhadap beberapa toko Islam, menyadarkan bahwa “gerakan kebangsaan yang dipelopori Soekarno dan kawan-kawan mengadung bibit-bibit kebencian dan memandang enteng kepada Islam”. Sikap kalangan PNI terhadap para pemimpin Islam nampaknya tidak berubah sampai penghujung akhir tahun 1930. Dalam kondisi demikian, pertarungan-pertarungan anatara kedua golongan sulit dihindari.[18]
  1. Pemikiran Natsir (A.Muchlis)
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau Komunisme.Natsir lalu mengutip nash Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam:”Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi pada-Ku”. Bertitik tolak dari dasar ideologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dumia ini hanyalah ingin menjadihamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[19]
Natsir menegaskan negara bukanlah tujuan akhirr Islam, melainkan hanya alat merelisasikan aturan-aturan Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat dan pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara, di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) atau pun sebagai anggota masyarakat.”[20]
  1. Karier Mohammad Natsir
Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.[21]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri. Di masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Soeharto menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.
  1. Mohammad Natsir Sebagai Penulis
Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Natsir telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terwalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam. Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Sebenarnya, langkahnya ini yang peduli terhadap dunia pendidikan disebabkan setelah dia membaca karangan Snouck Hurgronje yang melawan Islam, seperti Netherland en de Islam yang memaparkan strategi Hurgronje dalam melawan Islam. Buku ini pada akhirnya kemudian membuat Natsir bertekad melawan Belanda lewat jalur pendidikan.
























BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Alasan penolakan S.M kartosoewirjo terhadap negara Republik Indonesia adalah ideologi  Islam yang lebih sempurna dari pada ideologi pancasila, pemikiran S.M Kartosoewirjo yang anti kolonialisme dan anti pemikiran barat karena orang-orang barat sangat  jauh menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadis. Dan anggapan bahwa negara republik Indonesia dengan Presiden Soekarno telah kalah dan menyerah kepada Belanda sehingga dianggap kurang mampu melindungi rakyat. Konsep Negara Islam seperti halnya dengan konsep pemikiran S.M Kartosoewirjo tentang NII relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Natsir menegaskan negara bukanlah tujuan akhirr Islam, melainkan hanya alat merelisasikan aturan-aturan Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat dan pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara.










DAFTAR PUSTAKA

Suhelmi, Ahmad, Soekarno Versus Natsir: kemenangan barisan Megawati reinkarnasi nasionalis sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999



[2] http://katalogkukar.net/ebook/, diakses 10 November 2014, 21:09.
[3] Loc.cit.
[4] http://katalogkukar.net/ebook/, diakses 10 November 2014, 21:10.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[10] Ibid.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir, diakses 11 November 2014, 12:54.
[14] http://repository.usu.ac.id/, diakses 11 November 2014, 13:13.
[15] Ibid.
[16] Ahmad, Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: kemenangan barisan Megawati reinkarnasi nasionalis sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h.20.
[17] Ibid,.h.25.
[18] Ibid,.h.28.
[19] Ibid,.h.54.
[20] Ibid,.h.55.
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir, diakses 11 November 2014, 16:51.

No comments:

Post a Comment