My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Mohammad Natsir


abstract
Mohammad Natsir is a character who strenuously defended the unitary state of Indonesia. This can be seen from his actions when he was involved in various movements, both are social, political, or religious. Specialized in the field of politics Natsir been active since adolescence. Political success Natsir be marked by the election of Chairman of the Party Masjumi (Consultative Council of Indonesian Muslims) in 1946 he led until 1957, became Minister of Information RI 3 times (1946 to 1949) and culminating on September 5, 1950, he was appointed as prime Indonesian minister fifth. After resigning from his post on 26 April 1951 due to disagreements with President Sukarno, he increasingly vocal about the importance of the role of Islam in Indonesia to make imprisoned by Sukarno. In religious movement Natsir also noted a remarkable achievement. He held various positions in religious organizations. He is also the founder and the Chairman of the Board Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) in Jakarta from 1967 until his death. In Islamic thought, Natsir much affected by several prominent antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam Ash Shahid Hasan al-Banna, Imam Al-Hudhaibi, Sheikh Salim and Sheikh Ahmad Surkati.
The authors concluded that Mohammad Natsir thinking about the Islamic State became controversial because of the interaction with Iingkungan Mohammad Natsir surrounding socio-historical life. Meanwhile, the concept of the Islamic State, Natsir found an Islamic state will be not as formally called the Islamic State or by Islam, but the country prepared in accordance with the teachings of Islam both in theory and practice so that the state Natsir serve as a tool or utensil for the operation of Islamic law. Thus Islam becomes the goal and the state is a tool to realize the teachings of Islam.
From the results of this paper the authors suggest to researchers in political science in order toenhance Mohammad Natsir ideas which do not meet the demands of modern society in bemegara, especially the concept of democracy. While the authors suggested the political practitioner in order to take thought Mohammad Natsir related to the concept of the state as a "tool" and liberal thinking about bolehnya adopt any system of rule of origin does not conflict with Islamic values.

Keywords: Mohammad Natsir, Gait Politics, Propagation



Abstrak
Mohammad Natsir adalah seorang tokoh yang gigih mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari sepak terjangnya tatkala beliau ikut terlibat dalam berbagai gerakan,baik bersifat sosial,politik,maupun keagamaan. Khusus dalam bidang politik Natsir sudah mulai aktif sejak masa remaja. Keberhasilan politiknya ditandai dengan terpilihnya Natsir menjadi Ketua umum Partai Besar Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1946 yang dipimpinnya sampai tahun 1957, menjadi Menteri Penerangan RI sebanyak 3 kali (1946-1949) dan puncaknya pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Dalam gerakan keagamaan Natsir juga mencatat prestasi yang luar biasa. Beliau memegang berbagai jabatan penting dalam organisasi-organisasi keagamaan. Beliau juga pendiri dan sekaligus Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta sejak tahun 1967 hingga akhir hayatnya. Dalam pemikiran Islam, Natsir banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna,  Imam Al-Hudhaibi, Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.
 Penulis menyimpulkan bahwa Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan Iingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu, dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam. Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam.
Dari hasil makalah ini penulis menyarankan kepada peneliti ilmu politik agar dapat
menyempurnakan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir yang belum memenuhi tuntutan masyarakat modern dalam bemegara, terutama konsep tentang demokrasi. Sedangkan kepada para Praktisi politik penulis menyarankan agar dapat mengambil pemikiran Mohammad Natsir yang berhubungan dengan konsep negara sebagai "alat" dan pemikiran liberalnya tentang bolehnya mengadopsi sistem pemerintahan apa saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Biografi Mohammad Natsir
Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana dan kakaeknya seorang ulama.[1]
Natsir berasal dari keluarga muslim yang taat, dan dimasa remaja mulai berkenalan dengan pendidikan barat. Pada awalnya ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche School) di solok pada tahun 1916-1923, kemudian Mulo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang pada tahun 1923-1927. Baru kemudian pada tahun 1927-1930 melanjutkan pendidikan di AMS (Algemene Middelbare School) Bandung. Setelah itu Natsir belajar di Persatuan Islam (Persis) dibawah asuhan ustadz A.Hasan. Selanjutnya Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs) dan pada tahun 1932-1942 dipercaya sebagai direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung. Selain aktif di majalah pembela Islam, ia juga terlibat di Jong Islameten Bond yang didirikan oleh Haji Agus Salim.
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah  ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Tahun 1946 Natsir mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dipimpinnya sampai tahun 1957. Natsir juga pernah menjabat sebagai menteri penerangan (1946-1949). Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal. Hal ini merupakan lanjutan dari perdebatan panjang M. Natsir dengan golongan nasionalis melalui majalah pembela Islam. M. Natsir yang pada awalnya begitu mendukung nasionalisme bahkan cukup sering menghadiri orasi Soekarno, berubah menjadi mengkritik kelompok ini karena sikap mereka yang mulai merendahkan Islam. Misalnya, pernyataan Dr. Sutomo yang mengatakan bahwa pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Makkah. Dan beberapa serangan lainnya dalam kampanye nasionalis seperti kritikan terhadap bolehnya poligami dalam Islam.
Ketika orde baru berkuasa Natsir tetap kritis melalui organisasi Dewan Da’wah Islam Indonesia yang didirikannya. Tahun 1967 Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan. Selain itu Natsir juga aktif sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Al Islami (World Muslim Congress) dan anggota inti Rabithah Alam Al Islami.
Ditengah kesibukannya yang sangat banyak, Natsir masih sempat menulis beberapa buku antaralain Capita Selecta (3 jilid), Fiqhud Da’wah, Marilah Shalat, Revolusi Indonesia, Islam Sebagai Dasar Negara, Dari Masa Ke Masa (beberapa jilid), Kumpulan Khutbah Hari Raya, Islam dan Kristen di Indonesia, Kebudayaan Islam, Islam dan Akal Merdeka, Di Bawah Naungan Risalah, Kode dan Etik Da’wah, Tugas dan Peranan Ulama, Kubu Pertahanan Mental Dari Abad Ke Abad, Membangun Umat dan Negara, Berbahagialah Perintis, World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah, Asas Keyakinan Agama Kami, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia, Tentang Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Demokrasi Di Bawah Hukum, Pesan Perjuangan Seorang Bapak-Percakapan Antar Generasi, dan lain-lain.
Natsir banyak mendapatkan penghargaan, antaralain pada tahun 1957 mendapat bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Meskipun demikian, perdana menteri pertama Indonesia ini baru mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2008. Hal ini lebih disebabkan karena kedekatan Natsir dengan Islam dan pemihakan Soekarno dan orde baru kepada pemahaman sekularisme. Bahkan pada masa orde lama pada periode demokrasi terpimpin, Natsir pernah dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan karena dukungannya terhadap PRRI/Permesta yang merupakan gerakan kritik terhadap kedekatan Soekarno terhadap China dan pemusatan pembangunan hanya di pulau jawa.Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.
Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.[2]
Dalam pemikiran Islam, Natsir banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna,  Imam Al-Hudhaibi, Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.
Terlepas dari pro dan kontra, jalan pemikiran M. Natsir yang dituangkan dalam karya berbagai karya ilmiah , menjadi catatan sejarah bagi khazanah Islam di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Indonesia di abada ke-20 telah memiliki tokoh- tokoh muslim bertaraf nasional dan internasional, satu diantaranya siapa lagi kalau bukan M.Natsir.
Tokoh politik dan intelektual muslim ini menikah dengan Nurnahar pada tanggal 20 Oktober 1934 di bandung. Dari pernikahan ini, mereka memperoleh enam orang anak, yaitu Siti Muclisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1937), Asma Farida (17 Maret 1939), Dra. Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Dra. Asyatul Asryah (20 Mei 1942), dan Ir. Ahmad Fauzi (26 April 1944).[3]
M.Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama di berbagai media cetakdan elektronik.   

Natsir Sebagai Politisi dan Negarawan
            1. Masa Muda dan Formasi Pemikiran:
            Dalam periode ini, ada tiga aktivitas yang menonjol dari Natsir yakni aktivitas dalam JIB (Jong Islamieten Bond); aktivitas dalam Persatuan Islam (Persis), dan polemik terkenal Natsir dengan Bung Karno mengenai konsep negara. Aktivitas-aktivitas ini sangat menentukan dalam kehidupan Natsir, terutama formasi pemikirannya (thought formation) tentang demokrasi; tempat Islam dalam Negara Indonesia yang mau didirikan serta hubungan antara Islam dengan nasionalisme. Yang menarik dari Natsir adalah konsistensi alur pemikirannya, yang berbeda.

Latar Belakang Sosiopolitik Natsir
            Pada periode pasca-kemerdekaan Natsir mulai berkiprah di lapangan politik. Pengalamannya di JIB sangat berharga bagi perjalanan karier politiknya, terutama ketika ia memegang jabtan-jabatan strategis di pemerintahan. Natsir yang kemudian aktif di di partai politik Masyumi, pada tahun 1946, dalam kabinet Syahrir, diangkat sebagai Menteri Penerangan. Natsir dapat bertahan dalam jabatannya ini selama tiga kabinet hingga 1949. Stu hal yang penting dicatat, pada April 1950, Natsir berjasa menyelamatkan republik ini dengan mosi integralnya yang terkenal. Mosi ini berhasil menyatukan kembali Indonesia yang terpecah-pecah menjadi 17 negara bagian ke dalam republik. Seperti diketahui, beberapa tahun Indonesia merdeka, Belanda ingin menjajah kembali. Mereka melakukan agresi militer pertama pada 1947 dan kedua pada 1948. Akhirnya, untuk menghentikan pertikaian kedua negara ini, Belanda  ingin menjajah kembali. Mereka melakukan agresi militer pertama pada 1947 dan kedua pada 1948. Akhirnya, untuk menghentikan pertikaian kedua negara ini, Belanda berhasil memecah belah Indonesia menjadi negara federasi dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Dengan demikian, Belanda lebih mudah melakukan politik divide et imperanya. Natsir segera melihat indikasi demikian sehingga mengeluarkan mosi integral. Keberhasilan ini sekaligus mengangkat pamor Natsir dan mengantarkannya ke puncak jabatan, perdana menteri.

Natsir dan  Negara Islam
            Sejak awal Natsir betrpendirian bahwa Islam bukan hanya sekedar agama pribadi yang mengurus soal-soal hubungan manusia kepada Tuhan. Islam adalah agama yang lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik.
            Tentang pemimpin negara, bagi Natsir, namanya saja bisa berbeda-beda dan tidak harus bergelar  khalifah. Yang penting adalah bahwa kepala negara haruslah ulil amr kaum Muslimin keturunan bangsa tersebut dan sanggup menjalankan peraturan-peraturan Islam dalam susunan kenegaraan. Karenanya, Natsir mensyaratkan cinta kepada agama bagi seorang kepala negara.
            Islam mengatur sifat-sifat yang perlu ada bagi kepala negara serta hak dan kewajibannya. Agama Islam menetapkan wajibnya melakukan musyawarah terhadap permasalahan yang tidak diatur Al-Quran dan Sunnah untuk mencapai kemaslahatan. Islam menetapkan aturan pembasmi bermacam-macam penyakit masyarakat. Islam menetapkan beberapa peraturan tentang perekonomian seperti tertuang dalam kewajiban membayar zakat, sedekah, dan larang riba.[4] Natsir mengaskan, ajaran Islam memiliki sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan agama dan negara serta menjamin keragaman hidup berbagai golongan. Islam memiliki toleransi yang besar terhadap kelompok minoritas. Karena itu, kelompok tidak perlu takut pada Islam. Karena itu, kelompok minoritas tidak perlu takut pada Islam, karena mereka akan dilindungi dan kebebasannya  akan terjamin.
Kerangka Metodologis Pemikiran Mohammad Natsir
1.      Akal, Pengetahuan dan Agama
Dalam pandangan Muhammad ‘Uthman El-Muhammady, basis pemikiran Mohammad Natsir berada pada tiga ranah, yaitu akal, pengetahuan dan agama, yang kemudian diekspresikan dalam wilayah keagamaan, pendidikan, budaya dan siyasah. Tiga ranah tersebut pada kenyataannya merupakan kerangka utama dari pemikiran Mohammad Natsir terhadap segala aspek kehidupan, baik itu secara pribadi maupun kolektif kenegaraan. Dalam kaitannya dengan aspek kenegaraan (politik), tiga ranah tersebut secara simultan dijelaskan melalui basis epistimologi sebagai berikut.
Tataran keagamaan selain sebagi level tertinggi, juga merupakan dasar dari kedua ranah yang lain. Dengan arti kata, bahwa keberadaan dari entitas pengetahuan, budaya dan siyasah haruslah memiliki landasan teologis keagamaan sebagai "parental guidance" yang akan menentukan kemana arah dan tujuan yang ingin dicapai. Islam sebagai sebuah sistem keagamaan menurut Natsir juga merupakan pandangan hidup (way of life) bagi umat manusia. Ini terlihat dari penekanan Islam terhadap prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rokhani, material dan spiritual.
Natsir berpandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan harus melakukan perannya sebagai khalifah sekaligus hamba dari sang pencipta, melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan. Untuk mampu melakukan peran tersebut, maka akal pikiran, jiwa raga dan berbagai potensi lainnya harus dibina secara optimal. Sarana yang paling efektif untuk membina manusia yang demikian itu adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai moral dari suatu sistem kepercayaan, dalam hal ini adalah Islam.
Budaya dan siyasah merupakan sarana yang tepat bagi manusia untuk mengekspresikan keberadaannya sebagai makhluk tertinggi. Disinilah arti sebuah kehidupan diwujudkan dalam bentuk yang sesungguhnya. Manusia yang hidup bersama dengan segala kebutuhan dan kepentingannya (need and interest), akan melahirkan kesadaran kolektif guna mencapai tingkat kebudayaan tertinggi atau yang dikernal dengan peradaban. 
Islam sebagai sebuah tatanan nilai dituntut perannya mulai dari ketika kesadaran kolektif belum berwujud sampai kepada penemuan bentuknya sebagai sebuah negara. Inilah inti dari perbedaan Natsir dengan para pemikir "sekuler" yang ada.
Pandangan Natsir terkait hal tersebut di atas, tidak lepas dari kerangka berfikir yang ia peroleh dan kembangkan sepanjang perjalanan hidupnya. Mengenai Islam, Natsir memiliki keyakinan penting:
  1. Islam memiliki watak holistik
  2. Keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain.
  3. Kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara
Indonesia
Sejalan dengan pendapat di atas, Ahmad Syafi'i Maarif mencatat bahwa Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama (baca: Islam) dengan mengemukakan dua premis pokok. Pertama; agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan. Sementara filsafat hanya mengakui tiga dasar berfikir (empirisme, rasionalisme dan intuisionisme), sedangkan wahyu tidak diakuinya. Kedua; jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.

  1. Solusi Antagonisme Agama dan Demokrasi
Berangkat dari pemikiran tersebut, muncul berbagai dilema, yang salah satunya adalah adanya kenyataan bahwa bagaimanapun juga sistem religi "tidaklah selalu sesuai" dengan konsep demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Kata agama dan demokrasi merupakan dua hal yang memiliki latar dan semangat yang berbeda. Agama, dipahami sebagai wahyu Tuhan yang karenanya berada dalam dimensi sakral. Agama merupakan wilayah untouchable. Dalam artian, agama selalu bermula dari pengakuan terhadap wahyu Tuhan. Keterikatan manusia dengan keharusan untuk mengakui wahyu inilah yang membuatnya tidak bisa bertindak sesuka hati. Bahasa agama dengan demikian adalah bahasa kewajiban (language of duty, language of obligation).
Tentu hal ini berbanding terbalik dengan demokrasi. Kalau merujuk pada terminologi Abraham Lincoln tentang demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka asas fundamental yang dirumuskan oleh Lincoln sebagai asas gerak untuk demokrasi, dianulir oleh kaidah-kaidah teologis yang biasa ada dalam agama. Demokrasi, jika dilihat dari arah gerakannya merupakan gerak bottom up. Demokrasi selalu didasarkan atas apa yang menjadi kehendak mayoritas dari sebuah komunitas, tanpa mengindahkan prinsip-prinsip penghargaan terhadap hak minoritas.
Kontrak yang dibuat oleh masing-masing anggota komunitas tersebut, tentunya membutuhkan sebuah kesepakatan yang didasarkan atas argumen rasional. Rasionalitas inilah yang menjadi dasar bagi pembentukan social contract dalam sebuah lembaga yang didasarkan atas klaim-klaim demokrasi. Ini tentu berbeda dengan agama, di mana kepatuhan yang diwujudkan adalah kepatuhan yang didasarkan atas doktrin teologis dan argumen normatif.
Disinilah Natsir mencoba mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah sistem religi memang anti Istibdad (despotisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi ini tidak berarti, dalam pemerintahan, semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya.
Natsir menyayangkan persepsi bahwa jika ada pendapat bahwa agama dan negara harus bersatu lalu yang dilihat adalah Islam yang keliru dalam praktik. Menurut Natsir, apabila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, maka hendaknya mampu menghapuskan gambaran keliru tentang negara Islam. Jadi, harus dibedakan antara ajaran Islam sebagai ide dengan praktik pelaksanaannya dalam masyarakat.
Natsir menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakan pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau komunisme. Natsir lalu mengutip nash al-Qur’an yang dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam: “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi pada-Ku”. Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah menjadi hamba Allah. Dan untuk menjadi predikat “hamba Allah” tersebut, menurut Natsir, Allah telah memberi berbagai rule atau aturan.
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk kita, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang terakhir ini tak lebih tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.
Sementara Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan demi terlaksananya syari’at Islam, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, Islam adalah “filsafat hidup” yang menjadi pedoman amal umat Islam dalam setiap bidang. Ia merupakan agama yang serba mencakup berbagai hal (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian dan diatur dalam Islam. 


Selintas Pemikiran Politik Mohammad Natsir
            Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”.
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.
Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan periode konstituante.
Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu ‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.
Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.  
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang pokok.

Posisi Ideal Relasi Agama dan Negara Menurut Mohammad Natsir Kaitannya Dengan Politik Saat Ini.
Secara mendasar Natsir menginginkan tempat yang lebih luas dan peran yang lebih besar bagi Islam dalam hubungannya dengan negara. Dengan keyakinannya terhadap karakteristik Islam, Natsir mencoba memberi pemahaman terhadap pihak-pihak yang menghawatirkan akan munculnya stagnasi sosial ketika agama ditempatkan sebagai landasan ideologis suatu negara. Menurutnya agama dan negara adalah satu kesatuan dengan hubungan yang bersifat resiprokal. Artinya negara membutuhkan agama sebagai landasan sekaligus sebagai penunjuk arah, dan agama membutuhkan negara sebagai "alat" guna tegaknya tata aturan yang dimilikinya.
Sebagai landasan, jelas agama dengan sifat ketauhidannya akan secara otomatis menyediakan jalur (track) yang harus dilalui oleh negara, sekaligus "mengingatkannya" ketika negara keluar dari track tersebut. Jalur yang dimaksud disini terkait dua hal. Pertama; pembangunan kesadaran mental bagi setiap individu, yang pada akhirnya akan berubah menjadi kesadaran mental kolektif. Kedua; terdapat beberapa tata aturan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk merubahnya.
Negara sebagai "alat" untuk menegakkan tata auturan agama, tidak lepas dari karakteristik sebuah negara yang memiliki kekuatan mengikat bagi semua warganya. Tanpa sarana penegak, Agama hanya akan menjadi setumpuk tata aturan yang tidak jelas penggunaannya, dan tidak mempunyai kekuatan untuk mengarahkan.
Karena itu dalam pandangan Natsir, tidak diragukan lagi bahwa Islam memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan. Dalam konteks khusus inilah ia melihat negara sebagai alat yang cocok guna menjamin kebereadaan perintah-perintah dan hukum-hukum Islam.
Dengan pertimbangan di atas, Natsir menegaskan bahwa Islam dan negara adalah dua entitas religio-politik yang menyatu. "Negara bagi kita bukan tujuan, tapi alat". Urusan kenegaraan pada pokoknya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu intergreerend deel dari Islam". Baginya sejauh menyangkut konsep politik, inilah perbedaan utama antara umat Islam dan non Islam.
Akan tetapi bagaimanapun juga menurut Bakhtiar Effendy, terlepas dari itu semua, Natsir juga mengakui Islam hanya memberikan prinsip-prinsip umum. Aturan-aturan yang lebih terperinci mengenai bagaimana sebuah negara harus diorganisasikan atau dijalankan, tergantung kepada kemampuan para pemimpinnya untuk melakukan ijtihad, dengan syarat semuanya dilakukan dengan cara-cara demokratis.
Namun lebih lanjut Natsir menyatakan, bahwa kedua korelasi di atas tidak dimaksudkan bahwa agama –dalam hal ini Islam– dapat dengan mudah dijadikan sebagai alat legitimasi bagi para pemegang kekuasaan untuk membenarkan segala perbuatannya. Pada bagian tertentu, diperlukan musyawarah atau "ijtihad" untuk menentukan kebijakan yang bersifat organik. Atau dengan kata lain, penempatan agama yang diinginkan oleh Natsir haruslah berimbang dan tidak bersifat dominan.
Hal ini jelas berbeda dengan konsep religiopolitik organik yang diungkapkan oleh beberapa tokoh barat. Semisal konsep yang diungkapkan oleh Donald Eugene Smith. Bahwa ketika agama dan negara ditempatkan dalam satu wadah, maka setidaknya muncul tiga karakteristik utama. Yaitu ideologi keagamaan yang bersifat integralis, mekanisme pengendalian keagamaan di dalam masyarakat dan kekuasaan politik yang dominan.
Yang didalamnya terdapat, pertama; konsep masyarakat keagamaan yang bersifat komprehensif. Kedua; penyesuaian terhadap norma-norma keagamaan mengenai tingkah laku sosial tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh mekanisme-mekanisme interen, yang tidak diperlukan dengan pembentukan ecclesia yang berada di atas dan menentang masyarakat. Ketiga; penegakan tertib sosio religius pada tingkatnya yang paling tinggi, merupakan tanggung jawab penguasa politik, yang menempati kedudukan dominan dalam sistem tersebut.
Sebaliknya konsep hubungan agama dan negara Natsir ini, memiliki relevansi yang begitu dekat dengan "paradigma simbiotik", yang memandang hubungan agama dan negara sebagai reciprocal relation. Agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Sementara pada posisi lain negara juga tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama, karena keterpisahan agama dari negara dapat menimbulkan kekacauan dan a-moral.
Sekilas pernyataan ini tidak berbeda dengan konsep negara religio politik organik seperti yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi bacaan secara kritis atas wacana ini akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan. Teori simbiotik membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang berkembang, tetapi agama kemudian memberikan justifikasinya. Agama tidak harus menjadi dasar negara. Negara, dalam pandangan ini tetap merupakan lembaga politik yang mandiri. Dengan demikian, paradigma simbiotik di satu pihak bersifat teologis, tetapi pada sisi lain bersifat pragmatik.
Jadi, pandangan simbiotik tetap memberi peluang bagi hak-hak masyarakat, meskipun dibatasi dengan norma-norma agama. Hak-hak rakyat untuk menentukan kepala negara dalam pandangan paradigma ini ditempuh melalui lembaga representasi yang disebut ahl halli wal aqdi, dengan syarat-syarat tertentu yaitu adil, ahli ra’yi (ilmuwan) dan memiliki kualifikasi moral seorang pemimpin. Menurut al-Mawardi juga harus memenuhi syarat khusus, misalnya; baik panca indra, tiada cacat anggota tubuhnya, dan mempunyai buah pikiran yang bagus yang mengembangkan rakyat. 

Sosialisasi Politik Mohammad Natsir
1.      Masa Kanak-Kanak dan Lingkungan Sosial Masyarakat Minangkabau
Menurut B.Schrieke (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa masyarakat Minangkabau terdiri dari sejumlah republik atau negeria (negeri-negeri). Pemerintahan negeri ini ini dibentuk sesuai dengan tradisi kelompok-kelompok kepala-kepala suku keluarga. Keluarga tersebut didasarkan pada suatu Matriachat, menurut Hildert Geertzs (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) dimana keturunan dan harta benda diperhitungakan melalui garis ibu dan bukan garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita, dan bukanh suaminya. Didaerah ini, adat istiadat suku dipegang amat ketat, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Pada permulaan abad ini, lahir gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori kaum muda di daerah ini. Mereka ulama yang dipengaruhi gerakan Wahabi Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. Diantara kaum reformis itu ada yang sempat berguru pada tokoh-tokoh Wahabi, dan kuat dipengaruhi gagasan-gagasan Muhammad Rasyid maupun Muhammad Abduh. Tututan gerakan ini antara lain purifikasi (pemurnian) ajaran Islam.[5]
Gerakan pembaharuan menimbulkan reaksi keras dari kalangan adat (tradisionalis); kepala-kepala suku negeri atau kaum “kolor”. Akibatnya, timbul polarisasi sosial yaitu dengan terciptanya golongan kaum muda pendukung gerakan pembaharauan dan golongan adat yang empertahankanstatus quo. Gerakan ini juga sempat menciptakan krisis identitas dalam masyarakat Minangkabau.

2.      Natsir dan Persis (Persatuan Islam)
Semasa tinggal di Bandung, Natsir juga belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam), Ahmad Hassan. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa yang menariknya ke dalam gerakan perjuangan Persis yang dipimpin oleh Hassan.[6]
Menurut Federsfield (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa Persatuan Islam resmi dibentuk tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang menaruh perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan. Menurut Noer (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) berpendapat bahwa ide pendirian organisasi tersebut berasal dari pertemuan bersifat kenduri yang kemudian berkembang setelah para perintisnya memperluas diskusi-diskusi tentang ajaran-ajaran Islam dan situasi pergerakan yang dihadapi kaum Muslimin. Pada umumnya masalah “Reformasi Islam” menjadi topik utama diskusi-dikusi yang diadakan tersebut. Mereka yang termasuk oendiri Persis ini adalah Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus, dan Ahmad Hassan. Yang dissebut terakhir adalah seorang ahli debat dalam setiap diskusi yang diadakan Persis.
Arti pentingnya Natsir dalam kegiatan organisasi dalam kegiatan organisasi Modernis Muslim ini karena keikutsertaannya itu, terutama sebagai redaksi Pembela Islam, telah memperkokoh posisi organisasi dalam menghadapi ancaman eksternal saat itu, ancaman Kertening Politiek yang dilancarkan yang dilancarkan oleh para missi dan zending Kristen didukung pemerintah kolonial Belanda, jadi umat Islam menghadapi dua lawan sekaligus: Zending Kristen dan pemerintahan Kolonial Belanda. Keduanya bersatu, bahu membahu mengkikis Islam dari Indonesia. Dukungan kolonial terhadap gerakan Kristenisasi, terutama dimasa pemerintahan gubernur Jenderal Inderburg, tidak sebatas dukungan moral dan politik. Lebih dari itu pemerintahan kolonial memberikan dana (finansial aid) dalam jumlah besar.
Di lain kesempatan, Natsir juga menyaksikan pelecehan beberapa pemimpin puncak PNI terhadap beberapa toko Islam, menyadarkan bahwa “gerakan kebangsaan yang dipelopori Soekarno dan kawan-kawan mengadung bibit-bibit kebencian dan memandang enteng kepada Islam”. Sikap kalangan PNI terhadap para pemimpin Islam nampaknya tidak berubah sampai penghujung akhir tahun 1930. Dalam kondisi demikian, pertarungan-pertarungan antara kedua golongan sulit dihindari.[7]
Sebagai gerakan politik, Persis tidak mengutamakan kekuatan massa, tapi lebih merupakan organisasi kader seperti PNI baru dari Bung Hatta dan Sutan Sjharir saat itu. Pada saat makin populernya ideologi sekuler seperti nasionalisme dan sosialisme, Persis justru membahas secara rasional mengapa ideologi Islam dan Pembentukan Negara Islam tetap relevan. Hal ini merupakan suatu terobosan pemikiran mengingat ormas-ormas Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah masih mempfokuskan diri pada masalah-masalah sosial keagamaan.

Pemikiran Natsir (A.Muchlis)
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau Komunisme.Natsir lalu mengutip nash Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam:”Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi pada-Ku”. Bertitik tolak dari dasar ideologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dumia ini hanyalah ingin menjadihamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[8]
Natsir menegaskan negara bukanlah tujuan akhirr Islam, melainkan hanya alat merelisasikan aturan-aturan Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat dan pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara, di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) atau pun sebagai anggota masyarakat.”[9]

Beberapa pemikiran politik M.Natsir antara lain:
a.       Hidup hanya akan berarti jika dihabiskan untuk da’wah dan jihad. Menurut Natsir Islam adalah harga mati yang harus selalu diperjuangkan. Syair yang sering Natsir sitir untuk menggambarkan semangat tersebut adalah syair dari seorang pujangga mesir, Syauqi Bey yang berbunyi, “berdirilah tegak memperjuangkan pendirian selama hidupmu”.
b.      Islam bukanlah semata-mata suatu agama dalam definisi yang sempit, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Hal ini karena hakikat islam mengatur segala aspek kehidupan dan berlaku untuk sepanjang zaman. Bahkan pada setiap ibadah yang dilakukan terdapat nilai sosial yang menyertainya. Termasuk dalam hal sistem politik dan pemerintahan, Islam sangat fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman selama prinsip-prinsip pemikiran dalam Islam tetap bisa dipertahankan. Natsir begitu percaya bahwa Islam merupakan sumber perjuangan melawan segala macam bentuk penjajahan, seperti eksploitasi manusia atas manusia, pemberantasan kebodohan, pendewaan, kemelaratan dan kemiskinan.
c.       Sebagai perjuangan dan da’wah, maka dalam politik akan sangat banyak ditemukan rintangan dan tantangan seperti perang ideology, pemikiran, gerakan pemurtadan, dan sekularisasi. Dalam menghadapi semua tantangan manusia harus benar-benar memahami posisi dirinya sebagai hamba. “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.
d.      Islam tidak mungkin menyebabkkan rakyat menjadi bodoh, terbelakang, dan tertindas. Meskipun bernama pemerintahan Islam, jika para pemimpin ahli maksiat, takhayul dibiarkan, pemerintahan tidak diserahkan kepada yang ahli, maka sesungguhnya itu bukan pemerintahan islam. Keadaan seperti ini akan menyebabkan datangnya kerusakan dan bencana yang bertubi-tubi. Jadi, Natsir menginginkan pemerintahan yang baik secara simbol maupun substansi memperjuangkan Islam. Bukan pemerintahan sekuler, yang waktu itu dikampanyekan oleh Soekarno. Jika Soekarno menyatakan bahwa tidak ada perintah untuk menyatukan agama dengan negara, maka Natsir juga membalas bahwa tidak pula ada larangan jika agama dan negara harus bersatu.
e.       Demokrasi mempunyai persamaan dengan islam dalam hal hak rakyat untuk  mengkritik, menegur, dan membetulkan pemerintahan yang dzalim. Apabila tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan kekuatan atau kekerasan jika diperlukan. Argument ini Natsir dasarkan pada hadits nabi ketika seseorang bertanya, “Apakah yang sebaik-baik jihad?” Rasulullah menjawab “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai). Atau dalam hadits yang lain, Rasullulah memperingatkan “apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi).
f.       Meskipun substansinya membolehkan demokrasi, tetapi tentu tidak pada semua aspek kehidupan bernegara. Terhadap persoalan-persoalan yang sudah jelas dalam Alquran dan Sunnah, maka negara tidak ada pilihan lain kecuali mentaati. Para anggota dewan hanya membahas persoalan-persoalan yang belum jelas dari Alquran dan sunnah saja atau membahas cara melaksanakan hukum dan teknisnya. Jadi negara harus tetap berada dibawah ordinasi agama. Artinya M. Natsir menggabungkan antara konsep pemerintahan modern dengan menempatkan ulama sebagai alat kontrol terhadap moralitas pemerintan.
g.      Jikapun ada yang mengatakan kalau demikian Islam tidak demokratis, maka nasir berpendapat bahwa demokrasi ala Islam adalah Theistic Democracy (Demokrasi berdasar pada nilai-nilai ketuhanan). Jika pun tetap ditolak sebagai demokrasi, menurut nasir itulah Islam, karena dalam tataran praktis demokrasi seharusnya dimaknai secara subjektif karena hakikat demokrasi seperti sepatu.
h.      Dalam hal pemerintahan, maka kepala pemerintahan tidak berarti kepala agama. Masalah agama dipimpin oleh para ulama. Jika terjadi konflik antara urusan pemerintahan dan agama maka persoalan harus diselesaikan sesuai dengan hukum Allah. “bila betul-betul hukum dan kehendak manusia sudah bertentangan dengan hukum-hukum dan kehendak Ilahi, hukum dan kehendak Ilahi itulah yang harus berdiri, hukum dan kehendak manusia mestilah gugur!. Dalam istilah barat kondisi ini sama dengan leg superior derogut leg imperior yang artinya undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah.
i.        Untuk penerapan syariat Islam dalam negara, maka sebuah negara harus dipimpin oleh seorang muslim. Oleh karena itu diperlukan pengkaderan pemimpin muslim yang terpelajar, yang memahamkan masyarakat bahwa Islam tidak sekedar urusan ritual semata. Selain itu, Natsir  believed  that  "New  leaders should  not  be engineered ... they should  not  be deliberately created. Finding new  leaders should depend on  the community; it  should  be  the community that  chooses  them”.
Hal ini merupakan refleksi  kritiknya terhadap kekurangan pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Dalam mosi integral 3 April 1950, pasca federalisme dalam KMB, Natsir ingin menembak dua hal, pertama,kritik keras terhadap pemerintah yang bersikap defensif dan sepertinya membiarkan rakyat mencari penyelesaian sendiri atas masalah-masalah yang dihadapi tanpa bimbingan pemerintah. Kedua, perlunya penyelesaian integral atas masalah-masalah serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia pada saat itu.
Adapun pada masa orde baru, kekecewaannya terhadap Soeharto di akhir hidupnya, ditunjukkan dengan penandatangan petisi 50 dan ucapannya yang sampai-sampai mengatakan "Sukarno," he  said, "was  a gentleman in comparison to Suharto. Kritik pedas yang ia berikatan terhadap sikap otoritarianisme sikap pak harto dan berkembangnya budaya materialistis, korupsi dan meningkatnya kesenjangan sosial yang dinilai mengancam bangsa.
j.        Jika dengan kekuasaan orang Islam ada yang menilai tidak adil, maka menurut Natsir Islam sangat menghargai kebebasan orang lain dalam beragama, sehingga tidak perlu khawatir. Justru sebaliknya, jika saja hukum Islam tidak diterapkan maka sadar atau tidak sebenarnya itu sedang mendholimi umat Islam sendiri yang penduduknya lebih dari 80%. Artinya hak mayoritas akan dirugikan.
k.      Dalam politik menurut Natsir yang perlu dilakukan bukan sekedar berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan suara terbanyak dengan asumsi akan mampu memasukkan hukum-hukum Islam dalam undang-undang negara, tetapi lebih dari itu, kaedah, prinsi-prinsip politik Islam merupakan perhatian utama agar umat Islam tidak tertipu.

Karier Mohammad Natsir
Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri. Di masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Soeharto menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.

Mohammad Natsir Sebagai Penulis
Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Natsir telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terwalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam. Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Sebenarnya, langkahnya ini yang peduli terhadap dunia pendidikan disebabkan setelah dia membaca karangan Snouck Hurgronje yang melawan Islam, seperti Netherland en de Islam yang memaparkan strategi Hurgronje dalam melawan Islam. Buku ini pada akhirnya kemudian membuat Natsir bertekad melawan Belanda lewat jalur pendidikan.

Asas/ Pondasi Pendidikan Islam
            Aspek pendidikan merupakan pemikiran yang paling krusial dan paling utama dalam pandangan Mohammad Natsir . Pendidikan Islam diyakininya tidak akan maju-majunya selama masih bersifat inklusif konservatif seperti selama ini dan tidak membuka pintu untuk menerima pemikiran orang-orang pintar dari luar sekalipun itu berasal dari orang-orang Barat. Sebab menurut Mohammad Natsir, kemunduran dan kemajuan itu, tidak bergantung kepada ketimuran dan kebaratan, tidak bergantung kepada putih, kuning atau hitamnya warna kulit, akan tetapi bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat atau bibit-bibit kesanggupan dalam salah satu umat. Dengan demikian, pendidikan Islam itu harus dinamis dan diselaraskan dengan ajaran Islam yang bersifat universal.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik garis bahwa pandangan Natsir lebih condong mendukung Negara Islam dengan ideologisasi Islamnya. Ada dua hal pandangan Natsir yang perlu ditegaskan. Pertama; umat Islam, dalam menyusun sistem ketatanegaraannya  boleh meniru Barat atau sistem masa saja, karena bagi Natsir, Barat dan Timur bukanlah menjadi ukuran, yang terpenting hukum-hukum Ilahi dapat tegak di dalamnya. Kedua; hubungan agama dan negara menyatu dalam satu koridor yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bagi Natsir Islam telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai dengan zamannya. Dan praktek kenegaraan pada masa Nabi dalam anggapan Natsir hanya menjadi patokan untuk mengatur negara. Pada kenyataannya Natsir tampaknya menginginkan Indonesia menjadi sebuah Negara Islam dengan ideologi Islam yang ia perjuangkan, paling tidak hukum-hukum Islam (syari’ah) bisa berjalan atau menjadi hukum yang dianut oleh seluruh masyarakat muslim di Indonesia.











DAFTAR PUSTAKA
Hakiem, Lukman, M.Natsir Di Panggung Sejarah Republik. Jakarta: Republika. 2008.
Iqbal, Muhammad, dkk, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri. 2010.
Saidan, Perbandingan pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir. Jakarta: Kementrian Agama RI. 2011.





[1] http://repository.usu.ac.id/, diakses 11 November 2014, 13:13.
[2] Ibid.
[3] Thorir Luth, M.Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 27
[4] Muhammad Iqbal,dkk,  Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2010), h. 218
[5] Ahmad, Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: kemenangan barisan Megawati reinkarnasi nasionalis sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h.20.
[6] Ibid,.h.25.
[7] Ibid,.h.28.
[8] Ibid,.h.54.
[9] Ibid,.h.55.

No comments:

Post a Comment