abstract
Mohammad Natsir is a character who strenuously defended the
unitary state of Indonesia. This can be seen from his actions when he was
involved in various movements, both are social, political, or religious.
Specialized in the field of politics Natsir been active since adolescence.
Political success Natsir be marked by the election of Chairman of the Party
Masjumi (Consultative Council of Indonesian Muslims) in 1946 he led until 1957,
became Minister of Information RI 3 times (1946 to 1949) and culminating on
September 5, 1950, he was appointed as prime Indonesian minister fifth. After
resigning from his post on 26 April 1951 due to disagreements with President
Sukarno, he increasingly vocal about the importance of the role of Islam in Indonesia
to make imprisoned by Sukarno. In religious movement Natsir also noted a
remarkable achievement. He held various positions in religious organizations.
He is also the founder and the Chairman of the Board Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) in Jakarta from 1967 until his death. In Islamic thought, Natsir much
affected by several prominent antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam
Ash Shahid Hasan al-Banna, Imam Al-Hudhaibi, Sheikh Salim and Sheikh Ahmad
Surkati.
The authors concluded that Mohammad Natsir thinking about the
Islamic State became controversial because of the interaction with Iingkungan
Mohammad Natsir surrounding socio-historical life. Meanwhile, the concept of
the Islamic State, Natsir found an Islamic state will be not as formally called
the Islamic State or by Islam, but the country prepared in accordance with the
teachings of Islam both in theory and practice so that the state Natsir serve
as a tool or utensil for the operation of Islamic law. Thus Islam becomes the
goal and the state is a tool to realize the teachings of Islam.
From the results of this paper the authors suggest to researchers
in political science in order toenhance Mohammad Natsir ideas which do not meet
the demands of modern society in bemegara, especially the concept of democracy.
While the authors suggested the political practitioner in order to take thought
Mohammad Natsir related to the concept of the state as a "tool" and
liberal thinking about bolehnya adopt any system of rule of origin does not
conflict with Islamic values.
Keywords: Mohammad Natsir, Gait Politics, Propagation
Abstrak
Mohammad Natsir adalah seorang tokoh yang gigih
mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat kita lihat
dari sepak terjangnya tatkala beliau ikut terlibat dalam berbagai gerakan,baik
bersifat sosial,politik,maupun keagamaan. Khusus dalam bidang politik Natsir
sudah mulai aktif sejak masa remaja. Keberhasilan politiknya ditandai dengan
terpilihnya Natsir menjadi Ketua umum Partai Besar Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1946 yang
dipimpinnya sampai tahun 1957, menjadi Menteri Penerangan RI sebanyak 3
kali (1946-1949) dan puncaknya pada 5 September 1950,
ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri
dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan
Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di
Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Dalam gerakan
keagamaan Natsir juga mencatat prestasi yang luar biasa. Beliau memegang
berbagai jabatan penting dalam organisasi-organisasi keagamaan. Beliau juga
pendiri dan sekaligus Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta
sejak tahun 1967 hingga akhir hayatnya. Dalam
pemikiran Islam, Natsir banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh antaralain Ahmad
Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, Imam Al-Hudhaibi, Syaikh Agus Salim dan
Syaikh Ahmad Surkati.
Penulis
menyimpulkan bahwa Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi
kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan Iingkungan
sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu, dalam konsep Negara
Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena
secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara
disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya
sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi
berlakunya hukum Islam. Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah
alat untuk mewujudkan ajaran Islam.
Dari hasil makalah ini penulis
menyarankan kepada peneliti ilmu politik agar dapat
menyempurnakan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir yang belum
memenuhi tuntutan masyarakat modern dalam bemegara, terutama konsep tentang
demokrasi. Sedangkan kepada para Praktisi politik penulis menyarankan agar
dapat mengambil pemikiran Mohammad Natsir yang berhubungan dengan konsep negara
sebagai "alat" dan pemikiran liberalnya tentang bolehnya mengadopsi
sistem pemerintahan apa saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Biografi Mohammad
Natsir
Mohammad Natsir (lahir di Alahan
Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 –
meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah seorang ulama,
politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus
pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam
negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di
kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia
(World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Ayahnya, Sutan
Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah
ibu rumah tangga yang bijaksana dan kakaeknya seorang ulama.[1]
Natsir berasal dari keluarga muslim yang
taat, dan dimasa remaja mulai berkenalan dengan pendidikan barat. Pada awalnya
ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche School) di solok pada tahun
1916-1923, kemudian Mulo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang pada tahun
1923-1927. Baru kemudian pada tahun 1927-1930 melanjutkan pendidikan di AMS
(Algemene Middelbare School) Bandung. Setelah itu Natsir belajar di Persatuan
Islam (Persis) dibawah asuhan ustadz A.Hasan. Selanjutnya Natsir mengambil
kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs) dan pada tahun 1932-1942 dipercaya
sebagai direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung. Selain aktif di majalah
pembela Islam, ia juga terlibat di Jong Islameten Bond yang didirikan oleh Haji
Agus Salim.
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland
Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh
para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk
sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke
Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di
Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara
lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok,
sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam
secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an
dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Tahun 1946 Natsir
mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dipimpinnya
sampai tahun 1957. Natsir juga pernah menjabat sebagai menteri penerangan
(1946-1949). Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri
Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26
April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal
menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya
dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus
mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya
dicekal. Hal ini merupakan lanjutan dari perdebatan panjang M. Natsir dengan
golongan nasionalis melalui majalah pembela Islam. M. Natsir yang pada awalnya
begitu mendukung nasionalisme bahkan cukup sering menghadiri orasi Soekarno,
berubah menjadi mengkritik kelompok ini karena sikap mereka yang mulai
merendahkan Islam. Misalnya, pernyataan Dr. Sutomo yang mengatakan bahwa pergi ke
Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Makkah. Dan beberapa serangan
lainnya dalam kampanye nasionalis seperti kritikan terhadap bolehnya poligami
dalam Islam.
Ketika orde baru berkuasa Natsir tetap
kritis melalui organisasi Dewan Da’wah Islam Indonesia yang didirikannya. Tahun
1967 Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di
Pakistan. Selain itu Natsir juga aktif sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Al
Islami (World Muslim Congress) dan anggota inti Rabithah Alam Al Islami.
Ditengah kesibukannya yang sangat
banyak, Natsir masih sempat menulis beberapa buku antaralain Capita Selecta (3
jilid), Fiqhud Da’wah, Marilah Shalat, Revolusi Indonesia, Islam Sebagai Dasar
Negara, Dari Masa Ke Masa (beberapa jilid), Kumpulan Khutbah Hari Raya, Islam
dan Kristen di Indonesia, Kebudayaan Islam, Islam dan Akal Merdeka, Di Bawah
Naungan Risalah, Kode dan Etik Da’wah, Tugas dan Peranan Ulama, Kubu Pertahanan
Mental Dari Abad Ke Abad, Membangun Umat dan Negara, Berbahagialah Perintis,
World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah, Asas Keyakinan Agama Kami,
Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia, Tentang Pendidikan,
Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Demokrasi Di Bawah
Hukum, Pesan Perjuangan Seorang Bapak-Percakapan Antar Generasi, dan lain-lain.
Natsir banyak mendapatkan penghargaan,
antaralain pada tahun 1957 mendapat bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon)
dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasanya dalam membantu perjuangan
kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan
internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasanya di bidang
pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Meskipun demikian, perdana
menteri pertama Indonesia ini baru mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan
nasional pada tanggal 10 November 2008. Hal ini lebih disebabkan karena
kedekatan Natsir dengan Islam dan pemihakan Soekarno dan orde baru kepada
pemahaman sekularisme. Bahkan pada masa orde lama pada periode demokrasi terpimpin,
Natsir pernah dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan karena dukungannya
terhadap PRRI/Permesta yang merupakan gerakan kritik terhadap kedekatan
Soekarno terhadap China dan pemusatan pembangunan hanya di pulau jawa.Ia diakui
sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia
tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun
ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten
Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam
Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan
Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern
yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak
1932.
Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh
intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka
di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi
asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang
lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda
dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.[2]
Dalam pemikiran Islam, Natsir banyak
terpengaruh oleh beberapa tokoh antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam
Asy Syahid Hasan Al-Banna, Imam
Al-Hudhaibi, Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.
Terlepas dari pro dan kontra, jalan
pemikiran M. Natsir yang dituangkan dalam karya berbagai karya ilmiah , menjadi
catatan sejarah bagi khazanah Islam di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa
Indonesia di abada ke-20 telah memiliki tokoh- tokoh muslim bertaraf nasional
dan internasional, satu diantaranya siapa lagi kalau bukan M.Natsir.
Tokoh politik dan intelektual muslim ini
menikah dengan Nurnahar pada tanggal 20 Oktober 1934 di bandung. Dari
pernikahan ini, mereka memperoleh enam orang anak, yaitu Siti Muclisah (20
Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1937), Asma Farida (17 Maret 1939), Dra.
Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Dra. Asyatul Asryah (20 Mei 1942), dan Ir. Ahmad
Fauzi (26 April 1944).[3]
M.Natsir wafat pada tanggal 6 Februari
1993, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita
utama di berbagai media cetakdan elektronik.
Natsir Sebagai Politisi
dan Negarawan
1. Masa Muda dan Formasi Pemikiran:
Dalam periode ini, ada
tiga aktivitas yang menonjol dari Natsir yakni aktivitas dalam JIB (Jong Islamieten Bond); aktivitas dalam
Persatuan Islam (Persis), dan polemik terkenal Natsir dengan Bung Karno
mengenai konsep negara. Aktivitas-aktivitas ini sangat menentukan dalam
kehidupan Natsir, terutama formasi pemikirannya (thought formation) tentang demokrasi; tempat Islam dalam Negara
Indonesia yang mau didirikan serta hubungan antara Islam dengan nasionalisme.
Yang menarik dari Natsir adalah konsistensi alur pemikirannya, yang berbeda.
Latar Belakang
Sosiopolitik Natsir
Pada periode
pasca-kemerdekaan Natsir mulai berkiprah di lapangan politik. Pengalamannya di
JIB sangat berharga bagi perjalanan karier politiknya, terutama ketika ia
memegang jabtan-jabatan strategis di pemerintahan. Natsir yang kemudian aktif
di di partai politik Masyumi, pada tahun 1946, dalam kabinet Syahrir, diangkat
sebagai Menteri Penerangan. Natsir dapat bertahan dalam jabatannya ini selama tiga
kabinet hingga 1949. Stu hal yang penting dicatat, pada April 1950, Natsir
berjasa menyelamatkan republik ini dengan mosi integralnya yang terkenal. Mosi
ini berhasil menyatukan kembali Indonesia yang terpecah-pecah menjadi 17 negara
bagian ke dalam republik. Seperti diketahui, beberapa tahun Indonesia merdeka,
Belanda ingin menjajah kembali. Mereka melakukan agresi militer pertama pada
1947 dan kedua pada 1948. Akhirnya, untuk menghentikan pertikaian kedua negara ini,
Belanda ingin menjajah kembali. Mereka
melakukan agresi militer pertama pada 1947 dan kedua pada 1948. Akhirnya, untuk
menghentikan pertikaian kedua negara ini, Belanda berhasil memecah belah
Indonesia menjadi negara federasi dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun
1949. Dengan demikian, Belanda lebih mudah melakukan politik divide et imperanya. Natsir segera
melihat indikasi demikian sehingga mengeluarkan mosi integral. Keberhasilan ini
sekaligus mengangkat pamor Natsir dan mengantarkannya ke puncak jabatan,
perdana menteri.
Natsir dan Negara Islam
Sejak awal Natsir
betrpendirian bahwa Islam bukan hanya sekedar agama pribadi yang mengurus
soal-soal hubungan manusia kepada Tuhan. Islam adalah agama yang lengkap
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam
tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik.
Tentang pemimpin
negara, bagi Natsir, namanya saja bisa berbeda-beda dan tidak harus
bergelar khalifah. Yang penting adalah
bahwa kepala negara haruslah ulil amr kaum Muslimin keturunan bangsa tersebut
dan sanggup menjalankan peraturan-peraturan Islam dalam susunan kenegaraan.
Karenanya, Natsir mensyaratkan cinta kepada agama bagi seorang kepala negara.
Islam mengatur
sifat-sifat yang perlu ada bagi kepala negara serta hak dan kewajibannya. Agama
Islam menetapkan wajibnya melakukan musyawarah terhadap permasalahan yang tidak
diatur Al-Quran dan Sunnah untuk mencapai kemaslahatan. Islam menetapkan aturan
pembasmi bermacam-macam penyakit masyarakat. Islam menetapkan beberapa
peraturan tentang perekonomian seperti tertuang dalam kewajiban membayar zakat,
sedekah, dan larang riba.[4] Natsir mengaskan, ajaran
Islam memiliki sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan agama dan negara serta
menjamin keragaman hidup berbagai golongan. Islam memiliki toleransi yang besar
terhadap kelompok minoritas. Karena itu, kelompok tidak perlu takut pada Islam.
Karena itu, kelompok minoritas tidak perlu takut pada Islam, karena mereka akan
dilindungi dan kebebasannya akan
terjamin.
Kerangka Metodologis Pemikiran Mohammad Natsir
1. Akal, Pengetahuan dan Agama
Dalam
pandangan Muhammad ‘Uthman El-Muhammady, basis pemikiran Mohammad Natsir berada
pada tiga ranah, yaitu akal, pengetahuan dan agama, yang kemudian diekspresikan
dalam wilayah keagamaan, pendidikan, budaya dan siyasah. Tiga ranah tersebut
pada kenyataannya merupakan kerangka utama dari pemikiran Mohammad Natsir
terhadap segala aspek kehidupan, baik itu secara pribadi maupun kolektif
kenegaraan. Dalam kaitannya dengan aspek kenegaraan (politik), tiga ranah
tersebut secara simultan dijelaskan melalui basis epistimologi sebagai berikut.
Tataran
keagamaan selain sebagi level tertinggi, juga merupakan dasar dari kedua ranah
yang lain. Dengan arti kata, bahwa keberadaan dari entitas pengetahuan, budaya
dan siyasah haruslah memiliki landasan teologis keagamaan sebagai
"parental guidance" yang akan menentukan kemana arah dan tujuan yang
ingin dicapai. Islam sebagai sebuah sistem keagamaan menurut Natsir juga
merupakan pandangan hidup (way of life) bagi umat manusia. Ini terlihat dari
penekanan Islam terhadap prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani
dan rokhani, material dan spiritual.
Natsir
berpandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan harus
melakukan perannya sebagai khalifah sekaligus hamba dari sang pencipta, melalui
karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan. Untuk mampu melakukan peran
tersebut, maka akal pikiran, jiwa raga dan berbagai potensi lainnya harus
dibina secara optimal. Sarana yang paling efektif untuk membina manusia yang
demikian itu adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai moral dari
suatu sistem kepercayaan, dalam hal ini adalah Islam.
Budaya dan
siyasah merupakan sarana yang tepat bagi manusia untuk mengekspresikan
keberadaannya sebagai makhluk tertinggi. Disinilah arti sebuah kehidupan
diwujudkan dalam bentuk yang sesungguhnya. Manusia yang hidup bersama dengan
segala kebutuhan dan kepentingannya (need and interest), akan melahirkan
kesadaran kolektif guna mencapai tingkat kebudayaan tertinggi atau yang
dikernal dengan peradaban.
Islam sebagai
sebuah tatanan nilai dituntut perannya mulai dari ketika kesadaran kolektif
belum berwujud sampai kepada penemuan bentuknya sebagai sebuah negara. Inilah
inti dari perbedaan Natsir dengan para pemikir "sekuler" yang ada.
Pandangan Natsir terkait hal tersebut di
atas, tidak lepas dari kerangka berfikir yang ia peroleh dan kembangkan
sepanjang perjalanan hidupnya. Mengenai Islam, Natsir memiliki keyakinan
penting:
- Islam memiliki watak holistik
- Keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain.
- Kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara
Indonesia
Sejalan dengan
pendapat di atas, Ahmad Syafi'i Maarif mencatat bahwa Mohammad Natsir berbicara
tentang kelebihan agama (baca: Islam) dengan mengemukakan dua premis pokok.
Pertama; agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari
ilmu pengetahuan. Sementara filsafat hanya mengakui tiga dasar berfikir (empirisme,
rasionalisme dan intuisionisme), sedangkan wahyu tidak diakuinya. Kedua;
jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.
- Solusi Antagonisme Agama dan Demokrasi
Berangkat dari
pemikiran tersebut, muncul berbagai dilema, yang salah satunya adalah adanya
kenyataan bahwa bagaimanapun juga sistem religi "tidaklah selalu
sesuai" dengan
konsep demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Kata agama dan
demokrasi merupakan dua hal yang memiliki latar dan semangat yang berbeda.
Agama, dipahami sebagai wahyu Tuhan yang karenanya berada dalam dimensi sakral.
Agama merupakan wilayah untouchable. Dalam artian, agama selalu bermula
dari pengakuan terhadap wahyu Tuhan. Keterikatan manusia dengan keharusan untuk
mengakui wahyu inilah yang membuatnya tidak bisa bertindak sesuka hati. Bahasa
agama dengan demikian adalah bahasa kewajiban (language of duty, language of
obligation).
Tentu hal ini berbanding
terbalik dengan demokrasi. Kalau merujuk pada terminologi Abraham Lincoln
tentang demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka asas
fundamental yang dirumuskan oleh Lincoln sebagai asas gerak untuk demokrasi,
dianulir oleh kaidah-kaidah teologis yang biasa ada dalam agama. Demokrasi,
jika dilihat dari arah gerakannya merupakan gerak bottom up. Demokrasi selalu
didasarkan atas apa yang menjadi kehendak mayoritas dari sebuah komunitas,
tanpa mengindahkan prinsip-prinsip penghargaan terhadap hak minoritas.
Kontrak yang dibuat oleh masing-masing
anggota komunitas tersebut, tentunya membutuhkan sebuah kesepakatan yang
didasarkan atas argumen rasional. Rasionalitas inilah yang menjadi dasar bagi
pembentukan social contract dalam sebuah lembaga yang didasarkan atas
klaim-klaim demokrasi. Ini tentu berbeda dengan agama, di mana kepatuhan yang
diwujudkan adalah kepatuhan yang didasarkan atas doktrin teologis dan argumen
normatif.
Disinilah Natsir mencoba
mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah sistem
religi memang anti Istibdad (despotisme), anti absolutisme dan
kesewenang-wenangan. Akan tetapi ini tidak berarti, dalam pemerintahan, semua
urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen,
yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at
Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya.
Natsir menyayangkan persepsi
bahwa jika ada pendapat bahwa agama dan negara harus bersatu lalu yang dilihat
adalah Islam yang keliru dalam praktik. Menurut Natsir, apabila ingin memahami
agama dan negara dalam Islam secara jernih, maka hendaknya mampu menghapuskan gambaran
keliru tentang negara Islam. Jadi, harus dibedakan antara ajaran Islam sebagai
ide dengan praktik pelaksanaannya dalam masyarakat.
Natsir menganggap bahwa urusan
kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakan
pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti
kalangan Kristen, fasis, atau komunisme. Natsir lalu mengutip nash al-Qur’an
yang dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam: “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia
melainkan untuk mengabdi pada-Ku”. Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia
berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah
menjadi hamba Allah. Dan untuk menjadi predikat “hamba Allah” tersebut, menurut
Natsir, Allah telah memberi berbagai rule atau aturan.
Aturan atau cara kita
berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang
berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang
berhubungan dengan muamalah sesama makhluk kita, ada diberikan garis-garis
besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat
terhadap diri seseorang. Yang terakhir ini tak lebih tak kurang, ialah yang
dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.
Sementara Natsir menilai
bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan demi terlaksananya syari’at
Islam, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, Islam adalah “filsafat
hidup” yang menjadi pedoman amal umat Islam dalam setiap bidang. Ia merupakan
agama yang serba mencakup berbagai hal (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada
dasarnya merupakan bagian dan diatur dalam Islam.
Selintas Pemikiran Politik Mohammad Natsir
Agama, menurut
menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama,
bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu
kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang,
hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan
perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian,
orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah
bersama, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah urusan mereka
diputuslan dengan musyawarah!”.
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat
Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk
diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui
pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi
Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem
pemerintahan negara Islam.
Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa periode.
Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama pemikiran
Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan periode
konstituante.
Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu
‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution
adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh
alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.
Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena
itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari,
yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang terang
dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun
kolektif.
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil
yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi
negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya
dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah
berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam
perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri
ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah
menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi
yang pokok.
Posisi Ideal Relasi Agama dan Negara Menurut Mohammad Natsir Kaitannya
Dengan Politik Saat Ini.
Secara mendasar Natsir menginginkan tempat yang lebih luas dan peran yang
lebih besar bagi Islam dalam hubungannya dengan negara. Dengan keyakinannya
terhadap karakteristik Islam, Natsir mencoba memberi pemahaman terhadap
pihak-pihak yang menghawatirkan akan munculnya stagnasi sosial ketika agama ditempatkan
sebagai landasan ideologis suatu negara. Menurutnya agama dan negara adalah
satu kesatuan dengan hubungan yang bersifat resiprokal. Artinya negara
membutuhkan agama sebagai landasan sekaligus sebagai penunjuk arah, dan agama
membutuhkan negara sebagai "alat" guna tegaknya tata aturan yang
dimilikinya.
Sebagai landasan, jelas agama dengan sifat ketauhidannya akan secara otomatis
menyediakan jalur (track) yang harus dilalui oleh negara, sekaligus "mengingatkannya"
ketika negara keluar dari track tersebut. Jalur yang dimaksud disini terkait
dua hal. Pertama; pembangunan kesadaran mental bagi setiap individu, yang pada
akhirnya akan berubah menjadi kesadaran mental kolektif. Kedua; terdapat
beberapa tata aturan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk merubahnya.
Negara sebagai "alat" untuk menegakkan tata auturan agama,
tidak lepas dari karakteristik sebuah negara yang memiliki kekuatan mengikat
bagi semua warganya. Tanpa sarana penegak, Agama hanya akan menjadi setumpuk
tata aturan yang tidak jelas penggunaannya, dan tidak mempunyai kekuatan untuk
mengarahkan.
Karena itu dalam pandangan Natsir, tidak diragukan lagi bahwa Islam
memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan.
Dalam konteks khusus inilah ia melihat negara sebagai alat yang cocok guna
menjamin kebereadaan perintah-perintah dan hukum-hukum Islam.
Dengan pertimbangan di atas, Natsir menegaskan bahwa Islam dan negara
adalah dua entitas religio-politik yang menyatu. "Negara bagi kita bukan
tujuan, tapi alat". Urusan kenegaraan pada pokoknya adalah satu bagian yang
tak dapat dipisahkan, satu intergreerend deel dari Islam". Baginya sejauh menyangkut
konsep politik, inilah perbedaan utama antara umat Islam dan non Islam.
Akan tetapi bagaimanapun juga menurut Bakhtiar Effendy, terlepas dari itu
semua, Natsir juga mengakui Islam hanya memberikan prinsip-prinsip umum.
Aturan-aturan yang lebih terperinci mengenai bagaimana sebuah negara harus
diorganisasikan atau dijalankan, tergantung kepada kemampuan para pemimpinnya
untuk melakukan ijtihad, dengan syarat semuanya dilakukan dengan cara-cara
demokratis.
Namun lebih lanjut Natsir menyatakan, bahwa kedua korelasi di atas tidak
dimaksudkan bahwa agama –dalam hal ini Islam– dapat dengan mudah dijadikan
sebagai alat legitimasi bagi para pemegang kekuasaan untuk membenarkan segala
perbuatannya. Pada bagian tertentu, diperlukan musyawarah atau
"ijtihad" untuk menentukan kebijakan yang bersifat organik. Atau
dengan kata lain, penempatan agama yang diinginkan oleh Natsir haruslah berimbang
dan tidak bersifat dominan.
Hal ini jelas berbeda dengan konsep religiopolitik organik yang diungkapkan
oleh beberapa tokoh barat. Semisal konsep yang diungkapkan oleh Donald Eugene
Smith. Bahwa ketika agama dan negara ditempatkan dalam satu wadah, maka
setidaknya muncul tiga karakteristik utama. Yaitu ideologi keagamaan yang
bersifat integralis, mekanisme pengendalian keagamaan di dalam masyarakat dan
kekuasaan politik yang dominan.
Yang didalamnya terdapat, pertama; konsep masyarakat keagamaan yang
bersifat komprehensif. Kedua; penyesuaian terhadap norma-norma keagamaan
mengenai tingkah laku sosial tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh
mekanisme-mekanisme interen, yang tidak diperlukan dengan pembentukan ecclesia
yang berada di atas dan menentang masyarakat. Ketiga; penegakan tertib sosio
religius pada tingkatnya yang paling tinggi, merupakan tanggung jawab penguasa
politik, yang menempati kedudukan dominan dalam sistem tersebut.
Sebaliknya konsep hubungan agama dan negara Natsir ini, memiliki relevansi
yang begitu dekat dengan "paradigma simbiotik", yang memandang hubungan
agama dan negara sebagai reciprocal relation. Agama memerlukan negara karena
dengan negara agama dapat berkembang. Sementara pada posisi lain negara juga
tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama, karena keterpisahan agama
dari negara dapat menimbulkan kekacauan dan a-moral.
Sekilas pernyataan ini tidak berbeda dengan konsep negara religio politik
organik seperti yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi bacaan secara kritis
atas wacana ini akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan. Teori simbiotik
membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang berkembang, tetapi
agama kemudian memberikan justifikasinya. Agama tidak harus menjadi dasar
negara. Negara, dalam pandangan ini tetap merupakan lembaga politik yang
mandiri. Dengan demikian, paradigma simbiotik di satu pihak bersifat teologis,
tetapi pada sisi lain bersifat pragmatik.
Jadi, pandangan simbiotik tetap memberi peluang bagi hak-hak masyarakat,
meskipun dibatasi dengan norma-norma agama. Hak-hak rakyat untuk menentukan
kepala negara dalam pandangan paradigma ini ditempuh melalui lembaga
representasi yang disebut ahl halli wal aqdi, dengan syarat-syarat tertentu
yaitu adil, ahli ra’yi (ilmuwan) dan memiliki kualifikasi moral seorang
pemimpin. Menurut al-Mawardi juga harus memenuhi syarat khusus, misalnya; baik
panca indra, tiada cacat anggota tubuhnya, dan mempunyai buah pikiran yang
bagus yang mengembangkan rakyat.
Sosialisasi Politik
Mohammad Natsir
1.
Masa Kanak-Kanak dan Lingkungan Sosial Masyarakat Minangkabau
Menurut B.Schrieke (dalam Ahmad Suhelmi,
1999) mengemukakan bahwa masyarakat Minangkabau terdiri dari sejumlah republik
atau negeria (negeri-negeri).
Pemerintahan negeri ini ini dibentuk sesuai dengan tradisi kelompok-kelompok
kepala-kepala suku keluarga. Keluarga tersebut didasarkan pada suatu
Matriachat, menurut Hildert Geertzs (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) dimana
keturunan dan harta benda diperhitungakan melalui garis ibu dan bukan garis
bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara
laki-laki seorang wanita, dan bukanh suaminya. Didaerah ini, adat istiadat suku
dipegang amat ketat, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Pada permulaan abad ini, lahir gerakan
pembaharuan Islam yang dipelopori kaum muda di daerah ini. Mereka ulama yang
dipengaruhi gerakan Wahabi Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir.
Diantara kaum reformis itu ada yang sempat berguru pada tokoh-tokoh Wahabi, dan
kuat dipengaruhi gagasan-gagasan Muhammad Rasyid maupun Muhammad Abduh. Tututan
gerakan ini antara lain purifikasi (pemurnian) ajaran Islam.[5]
Gerakan pembaharuan menimbulkan reaksi
keras dari kalangan adat (tradisionalis); kepala-kepala suku negeri atau kaum
“kolor”. Akibatnya, timbul polarisasi sosial yaitu dengan terciptanya golongan
kaum muda pendukung gerakan pembaharauan dan golongan adat yang
empertahankanstatus quo. Gerakan ini juga sempat menciptakan krisis identitas
dalam masyarakat Minangkabau.
2.
Natsir dan Persis (Persatuan Islam)
Semasa tinggal di Bandung, Natsir juga
belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam), Ahmad Hassan. Peristiwa ini
tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa yang menariknya ke dalam
gerakan perjuangan Persis yang dipimpin oleh Hassan.[6]
Menurut Federsfield (dalam Ahmad
Suhelmi, 1999) mengemukakan bahwa Persatuan Islam resmi dibentuk tanggal 12
September 1923 oleh sekelompok Muslim yang menaruh perhatian pada kajian dan
kegiatan keagamaan. Menurut Noer (dalam Ahmad Suhelmi, 1999) berpendapat bahwa
ide pendirian organisasi tersebut berasal dari pertemuan bersifat kenduri yang
kemudian berkembang setelah para perintisnya memperluas diskusi-diskusi tentang
ajaran-ajaran Islam dan situasi pergerakan yang dihadapi kaum Muslimin. Pada umumnya
masalah “Reformasi Islam” menjadi topik utama diskusi-dikusi yang diadakan
tersebut. Mereka yang termasuk oendiri Persis ini adalah Haji Zamzam, Haji
Muhammad Yunus, dan Ahmad Hassan. Yang dissebut terakhir adalah seorang ahli
debat dalam setiap diskusi yang diadakan Persis.
Arti pentingnya Natsir dalam kegiatan
organisasi dalam kegiatan organisasi Modernis Muslim ini karena
keikutsertaannya itu, terutama sebagai redaksi Pembela Islam, telah memperkokoh posisi organisasi dalam menghadapi
ancaman eksternal saat itu, ancaman Kertening
Politiek yang dilancarkan yang dilancarkan oleh para missi dan zending
Kristen didukung pemerintah kolonial Belanda, jadi umat Islam menghadapi dua
lawan sekaligus: Zending Kristen dan pemerintahan Kolonial Belanda. Keduanya
bersatu, bahu membahu mengkikis Islam dari Indonesia. Dukungan kolonial
terhadap gerakan Kristenisasi, terutama dimasa pemerintahan gubernur Jenderal
Inderburg, tidak sebatas dukungan moral dan politik. Lebih dari itu
pemerintahan kolonial memberikan dana (finansial
aid) dalam jumlah besar.
Di lain kesempatan, Natsir juga
menyaksikan pelecehan beberapa pemimpin puncak PNI terhadap beberapa toko
Islam, menyadarkan bahwa “gerakan kebangsaan yang dipelopori Soekarno dan
kawan-kawan mengadung bibit-bibit kebencian dan memandang enteng kepada Islam”.
Sikap kalangan PNI terhadap para pemimpin Islam nampaknya tidak berubah sampai
penghujung akhir tahun 1930. Dalam kondisi demikian, pertarungan-pertarungan antara
kedua golongan sulit dihindari.[7]
Sebagai gerakan politik, Persis tidak
mengutamakan kekuatan massa, tapi lebih merupakan organisasi kader seperti PNI
baru dari Bung Hatta dan Sutan Sjharir saat itu. Pada saat makin populernya
ideologi sekuler seperti nasionalisme dan sosialisme, Persis justru membahas secara
rasional mengapa ideologi Islam dan Pembentukan Negara Islam tetap relevan. Hal
ini merupakan suatu terobosan pemikiran mengingat ormas-ormas Islam besar
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah masih mempfokuskan diri pada
masalah-masalah sosial keagamaan.
Pemikiran Natsir
(A.Muchlis)
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak
dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada
pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum
Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis
atau Komunisme.Natsir lalu mengutip nash Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai
dasar ideologi Islam:”Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
mengabdi pada-Ku”. Bertitik tolak dari dasar ideologi Islam ini, ia
berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dumia ini hanyalah ingin
menjadihamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[8]
Natsir menegaskan negara bukanlah tujuan
akhirr Islam, melainkan hanya alat merelisasikan aturan-aturan Islam itu,
Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat dan
pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada
negara. Negara, di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang
ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu)
atau pun sebagai anggota masyarakat.”[9]
Beberapa pemikiran
politik M.Natsir antara lain:
a.
Hidup hanya akan berarti
jika dihabiskan untuk da’wah dan jihad. Menurut Natsir Islam adalah harga mati
yang harus selalu diperjuangkan. Syair yang sering Natsir sitir untuk
menggambarkan semangat tersebut adalah syair dari seorang pujangga mesir,
Syauqi Bey yang berbunyi, “berdirilah tegak memperjuangkan pendirian selama
hidupmu”.
b.
Islam bukanlah semata-mata
suatu agama dalam definisi yang sempit, tapi adalah suatu pandangan hidup yang
meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Hal ini karena
hakikat islam mengatur segala aspek kehidupan dan berlaku untuk sepanjang
zaman. Bahkan pada setiap ibadah yang dilakukan terdapat nilai sosial yang
menyertainya. Termasuk dalam hal sistem politik dan pemerintahan, Islam sangat
fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman selama
prinsip-prinsip pemikiran dalam Islam tetap bisa dipertahankan. Natsir begitu
percaya bahwa Islam merupakan sumber perjuangan melawan segala macam bentuk
penjajahan, seperti eksploitasi manusia atas manusia, pemberantasan kebodohan,
pendewaan, kemelaratan dan kemiskinan.
c.
Sebagai perjuangan dan
da’wah, maka dalam politik akan sangat banyak ditemukan rintangan dan tantangan
seperti perang ideology, pemikiran, gerakan pemurtadan, dan sekularisasi. Dalam
menghadapi semua tantangan manusia harus benar-benar memahami posisi dirinya
sebagai hamba. “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk
mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia
ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti
yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan
akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari
ideologinya.
d.
Islam tidak mungkin
menyebabkkan rakyat menjadi bodoh, terbelakang, dan tertindas. Meskipun bernama
pemerintahan Islam, jika para pemimpin ahli maksiat, takhayul dibiarkan,
pemerintahan tidak diserahkan kepada yang ahli, maka sesungguhnya itu bukan
pemerintahan islam. Keadaan seperti ini akan menyebabkan datangnya kerusakan
dan bencana yang bertubi-tubi. Jadi, Natsir menginginkan pemerintahan yang baik
secara simbol maupun substansi memperjuangkan Islam. Bukan pemerintahan
sekuler, yang waktu itu dikampanyekan oleh Soekarno. Jika Soekarno menyatakan
bahwa tidak ada perintah untuk menyatukan agama dengan negara, maka Natsir juga
membalas bahwa tidak pula ada larangan jika agama dan negara harus bersatu.
e.
Demokrasi mempunyai
persamaan dengan islam dalam hal hak rakyat untuk mengkritik, menegur, dan membetulkan
pemerintahan yang dzalim. Apabila tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam
memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan kekuatan
atau kekerasan jika diperlukan. Argument ini Natsir dasarkan pada hadits nabi
ketika seseorang bertanya, “Apakah yang sebaik-baik jihad?” Rasulullah menjawab
“mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai). Atau
dalam hadits yang lain, Rasullulah memperingatkan “apabila orang melihat
sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan,
azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang
membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi).
f.
Meskipun substansinya
membolehkan demokrasi, tetapi tentu tidak pada semua aspek kehidupan bernegara.
Terhadap persoalan-persoalan yang sudah jelas dalam Alquran dan Sunnah, maka
negara tidak ada pilihan lain kecuali mentaati. Para anggota dewan hanya
membahas persoalan-persoalan yang belum jelas dari Alquran dan sunnah saja atau
membahas cara melaksanakan hukum dan teknisnya. Jadi negara harus tetap berada
dibawah ordinasi agama. Artinya M. Natsir menggabungkan antara konsep
pemerintahan modern dengan menempatkan ulama sebagai alat kontrol terhadap
moralitas pemerintan.
g.
Jikapun ada yang mengatakan
kalau demikian Islam tidak demokratis, maka nasir berpendapat bahwa demokrasi
ala Islam adalah Theistic Democracy (Demokrasi berdasar pada nilai-nilai
ketuhanan). Jika pun tetap ditolak sebagai demokrasi, menurut nasir itulah
Islam, karena dalam tataran praktis demokrasi seharusnya dimaknai secara subjektif
karena hakikat demokrasi seperti sepatu.
h.
Dalam hal pemerintahan, maka
kepala pemerintahan tidak berarti kepala agama. Masalah agama dipimpin oleh
para ulama. Jika terjadi konflik antara urusan pemerintahan dan agama maka
persoalan harus diselesaikan sesuai dengan hukum Allah. “bila betul-betul hukum
dan kehendak manusia sudah bertentangan dengan hukum-hukum dan kehendak Ilahi,
hukum dan kehendak Ilahi itulah yang harus berdiri, hukum dan kehendak manusia
mestilah gugur!. Dalam istilah barat kondisi ini sama dengan leg superior
derogut leg imperior yang artinya undang yang lebih tinggi mengalahkan
undang-undang yang lebih rendah.
i.
Untuk penerapan syariat
Islam dalam negara, maka sebuah negara harus dipimpin oleh seorang muslim. Oleh
karena itu diperlukan pengkaderan pemimpin muslim yang terpelajar, yang
memahamkan masyarakat bahwa Islam tidak sekedar urusan ritual semata. Selain
itu, Natsir believed that
"New leaders should not be
engineered ... they should not be deliberately created. Finding new leaders should depend on the community; it should
be the community that chooses
them”.
Hal ini merupakan refleksi
kritiknya terhadap kekurangan pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Dalam
mosi integral 3 April 1950, pasca federalisme dalam KMB, Natsir ingin menembak
dua hal, pertama,kritik keras terhadap pemerintah yang bersikap defensif dan
sepertinya membiarkan rakyat mencari penyelesaian sendiri atas masalah-masalah
yang dihadapi tanpa bimbingan pemerintah. Kedua, perlunya penyelesaian integral
atas masalah-masalah serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia pada saat itu.
Adapun pada masa orde baru, kekecewaannya terhadap Soeharto di
akhir hidupnya, ditunjukkan dengan penandatangan petisi 50 dan ucapannya yang
sampai-sampai mengatakan "Sukarno," he said, "was a gentleman in comparison to Suharto. Kritik
pedas yang ia berikatan terhadap sikap otoritarianisme sikap pak harto dan
berkembangnya budaya materialistis, korupsi dan meningkatnya kesenjangan sosial
yang dinilai mengancam bangsa.
j.
Jika dengan kekuasaan orang
Islam ada yang menilai tidak adil, maka menurut Natsir Islam sangat menghargai
kebebasan orang lain dalam beragama, sehingga tidak perlu khawatir. Justru
sebaliknya, jika saja hukum Islam tidak diterapkan maka sadar atau tidak
sebenarnya itu sedang mendholimi umat Islam sendiri yang penduduknya lebih dari
80%. Artinya hak mayoritas akan dirugikan.
k.
Dalam politik menurut Natsir
yang perlu dilakukan bukan sekedar berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan
suara terbanyak dengan asumsi akan mampu memasukkan hukum-hukum Islam dalam
undang-undang negara, tetapi lebih dari itu, kaedah, prinsi-prinsip politik
Islam merupakan perhatian utama agar umat Islam tidak tertipu.
Karier Mohammad Natsir
Natsir banyak bergaul dengan
pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan
Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan
pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung
dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang
Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro
Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung
dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin
Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945
sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden
Soekarno pada tahun 1960.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi
perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April
1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad
Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk
berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini
memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri
oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari
jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan
Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai
ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di
Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan
Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga
mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau
Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden
sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan
serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet
Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan
Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di
Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin
otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah
meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih
luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia
ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan
dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir
kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi
Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di
Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di
Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah,
seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia
dilarang pergi ke luar negeri. Di masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa
mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan
Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam
modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde
Baru membangun ekonomi. Soeharto menganggap orang yang mengkritik dirinya
sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama
dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti,
dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang
tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap
partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang
berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan
intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan
Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.
Mohammad Natsir Sebagai
Penulis
Selama menjalani pendidikannya di AMS,
Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang
ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul
Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad
sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar
Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis
tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji
Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Natsir telah menulis sekitar 45 buku
atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia
aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan
pada tahun 1929. Karya terwalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang
banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan
politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang
ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan
tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi
dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir
telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam.
Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun
1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
Sekalipun Natsir memiliki latar belakang
pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan
westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli
akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Sebenarnya, langkahnya
ini yang peduli terhadap dunia pendidikan disebabkan setelah dia membaca
karangan Snouck Hurgronje yang melawan Islam, seperti Netherland en de Islam
yang memaparkan strategi Hurgronje dalam melawan Islam. Buku ini pada akhirnya
kemudian membuat Natsir bertekad melawan Belanda lewat jalur pendidikan.
Asas/ Pondasi
Pendidikan Islam
Aspek pendidikan
merupakan pemikiran yang paling krusial dan paling utama dalam pandangan
Mohammad Natsir . Pendidikan Islam diyakininya tidak akan maju-majunya selama
masih bersifat inklusif konservatif seperti selama ini dan tidak membuka pintu
untuk menerima pemikiran orang-orang pintar dari luar sekalipun itu berasal
dari orang-orang Barat. Sebab menurut Mohammad Natsir, kemunduran dan kemajuan
itu, tidak bergantung kepada ketimuran dan kebaratan, tidak bergantung kepada
putih, kuning atau hitamnya warna kulit, akan tetapi bergantung kepada ada atau
tidaknya sifat-sifat atau bibit-bibit kesanggupan dalam salah satu umat. Dengan
demikian, pendidikan Islam itu harus dinamis dan diselaraskan dengan ajaran
Islam yang bersifat universal.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat ditarik garis bahwa pandangan Natsir lebih condong mendukung
Negara Islam dengan ideologisasi Islamnya. Ada dua hal pandangan Natsir yang
perlu ditegaskan. Pertama; umat Islam, dalam menyusun sistem
ketatanegaraannya boleh meniru Barat
atau sistem masa saja, karena bagi Natsir, Barat dan Timur bukanlah menjadi
ukuran, yang terpenting hukum-hukum Ilahi dapat tegak di dalamnya. Kedua;
hubungan agama dan negara menyatu dalam satu koridor yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, bagi Natsir Islam telah menyediakan perangkat dasar
yang dapat diterapkan sesuai dengan zamannya. Dan praktek kenegaraan pada masa
Nabi dalam anggapan Natsir hanya menjadi patokan untuk mengatur negara. Pada
kenyataannya Natsir tampaknya menginginkan Indonesia menjadi sebuah Negara
Islam dengan ideologi Islam yang ia perjuangkan, paling tidak hukum-hukum Islam
(syari’ah) bisa berjalan atau menjadi hukum yang dianut oleh seluruh masyarakat
muslim di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hakiem, Lukman, M.Natsir
Di Panggung Sejarah Republik. Jakarta: Republika. 2008.
Iqbal, Muhammad, dkk, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri.
2010.
Saidan, Perbandingan pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. Jakarta: Kementrian Agama RI. 2011.
[1] http://repository.usu.ac.id/, diakses
11 November 2014, 13:13.
[2]
Ibid.
[3]
Thorir Luth, M.Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), h. 27
[4]
Muhammad Iqbal,dkk, Pemikiran
Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: PT
Fajar Interpratama Mandiri, 2010), h. 218
[5] Ahmad, Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: kemenangan barisan
Megawati reinkarnasi nasionalis sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h.20.
[6]
Ibid,.h.25.
[7] Ibid,.h.28.
No comments:
Post a Comment