BAB II
ARTI BA’IAT
Dalam Bahasa Arab Ba’iat digunakan dengan arti
ash-shafqatu ‘ala ijabi al-bai’I (uluran tangan sebagai tanda persetujuan
transaksi jual beli)[1],
al-mubaya’ah wa ath-tha’ah (pemberian kekuatan dan ketaatan), wa qad tabaaya’uu
‘ala al-amri (sungguh mereka telah sepakat memberikan kekuasaan atas perkara
itu)[2],
‘aahada (membuat perjanjian dengan) seperti perkataanmu ashfaquu ‘aalahi, wa
baay’ahu ‘alaihi mubaaya’atan, yakni ‘aahadahu (membuat perjanjian dengannya)[3],
wa qad sumiyat bidzalika tasybiihan bii al-mu’aawadhah al-maliyah (sungguh
ba’iat dinamakan dengan itu karena serupa dengan menerima dan memberi harta
benda)[4].
Kata Ba’iat digunakan dengan arti
al-mu’aaqidah (yang saling melakukan transaksi) dan dalam hadits alaa
tabaaya’uunii ‘ala al-Islam (tidakkah kalian telah membuat kesepakatan denganku
tentang Islam) merupakan ungkapan tentang adanya saling melakukan transaksi[5]
, masing masing dari keduanya adalah seolah-olah menjual apa yang dimiliknya,
yakni ikut bersamanya, dengan ikhlas memberikan dirinya, menaati, dan
menguasakan urusannya.
Kata Biya’un adalah Jama’ (plural)
dari kata Bai’ah (rumah ibadah/gereja)bagi orang Nasrani[6].
Dikatakan bayaa’ahu wa a’thaahu shafqata yadahu (dia memba’iatnya dan
memberinya uluran tangannya).
Kata ba’iat banyak disebutkan dalam
al-Kitab dan as-Sunnah. Sebagai ungkapan tentang maksud yang khas dari suatu
kata, maka kata ba’iat digunakan dengan beberapa bentuk.Berikut penjelasannya:
Pertama:
Ba’iat dalam Al-Quran Al-Karim.
Dalam al-Quran, kata Bai’at
disebutkan di banyak tempat, disini hanya disebutkan sebagian saja yaitu
Innallahaasytara
minal mu'miniina anfusahum wa-amwaalahum bianna lahumul jannata yuqaatiluuna
fii sabiilillahi fayaqtuluuna wayuqtaluuna wa'dan 'alaihi haqqan fiittauraati
wal-injiili wal quraani waman aufa bi'ahdihi minallahi faastabsyiruu
bibai'ikumul-ladzii baaya'tum bihi wadzalika huwal fauzul 'azhiim(u)
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin,
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan
jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar."
– (QS.9:111)
pada
Q.S. At-Taubah (9):111 jelas bahwa bai’at dituntut dari orang-orang yang
beriman. Khususnya mereka yang ingin membeli surge dengan jiwa dan harta mereka
sebagai harganya.
Innal-ladziina
yubaayi'uunaka innamaa yubaayi'uunallaha yadullahi fauqa aidiihim faman nakatsa
fa-innamaa yankutsu 'ala nafsihi waman aufa bimaa 'aahada 'alaihullaha
fasayu'tiihi ajran 'azhiiman
Artinya: “Bahwasanya, orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
(Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya
(hukuman-Nya) akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barangsiapa
menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang
besar." – (QS.48:10)
Laqad
radhiyallahu 'anil mu'miniina idz yubaayi'uunaka tahtasy-syajarati fa'alima maa
fii quluubihim fa-anzalassakiinata 'alaihim wa-atsaabahum fathan qariiban.
Artinya: ” Sesungguhnya Allah telah redha terhadap orang-orang Mukmin, ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang
ada di dalam hati mereka, lalu menurunkan (memberikan) ketenangan atas mereka,
dan memberi balasan kepada mereka, dengan kemenangan yang dekat
(waktunya)." – (QS.48:18)
Q.S.
Al-Fath (48):10 dan 18, pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa siapa saja
yang merusak bai’at bersama Rasulullah SAW maka tindakannya itu tidak lainhanya
mengeluarkannya dari golongan orang-orang yang dijanjikan surge oleh Allah SWT.
Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang
bertaubat, beribadah, memuji (Allah) , mengembara (demi ilmu dan agama), ruku’,
sujud, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, serta yang
memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman”
Q.S.
At.Taubah (9):112 menunjukkan bahwa Allah SWT sangat ridha kepada orang-orang
yang membai’at Muhammad SAW pada hari berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah.
Kedua:
Ba’iat dalam As-Sunnah
Dalam banyak kondisi praktis
ditunjukkan bahwa ba’iat merupakan interprestasi yang aktif (hidup) bagi
penetapan hak umat dalam mengangkat penguasa. Sebab, dengan ba’iat ini umat
memberikan indikasi-indikasi kekuasaan kepada seorang penguasa. Dalam beberapa
peristiwa, kata bai’at digunakan dengan arti perjanjian (pakta) dan kesepakatan
(piagam), yang sangat menonjol adalah apa yang terjadi pada Bai’atul ‘Aqabah
II. Pada Bai’atul ‘Aqabah II ini berlangsung pembuatan perjanjian dan
kesepakatan bersama antara Rasulullah SAW dengan anggota kelompok pembela dari
Suku Aus dan Khazraj.
Ba’iat
Secara Terminologis
Ba’iat merupakan metode
syara’ (Islam) satu-satunya dalam rangka memilih dan mengangkat seorang
penguasa yang dilakukan oleh umat. Ketika Ibnu Khaldun mngungkapkan bahwa ba’iat
adalah perjanjian untuk ketaatan. Dari perkataan ini jelas bahwa bai’at adalah
perjanjian antara umat dengan penguasa, yaitu agar penguasa menjalankan
pemerintahan menurut ketentuan syara’, dan agar umat mentaati penguasa.
BAB III
HUKUM ASAL DISYARATKANNYA
BAI’AT
PERTAMA: AS-SUNNAH
Dalil
wajib bai’at adalah sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa
yang mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati seperti mati
jahiliyah”
Hadits
ini mendorong agar orang berbai’at, serta mengancam orang yang meninggalkannya.
Demikian, hadits ini menunjukkan wajibnya berbai’at kepada Imam (Khalifah)[7].
Semua jalan yang meriwayatkan hadits tentang bai’at menunjukkan wajibnya
bai’at, sebab mengandung celaan bagi yang meninggalkannya, disamping tuntutan
bai’at itu datang dengan tuntutan yang tegas, serta mengancam orang yang
menolaknya. Ini semua menunjukkan haramnya meninggalkan bai’at, baik meninggalkannya
itu sejak dari awal maupun belakangan.
Ada beberapa aspek yang menunjukkan
bahwa nash-nash tersebut mewajibkan ba’iat :
Pertama:
As-Syaari’ mencela orang yang mati sedang dipundaknya tidak ada bai’at.
Kedua:
Menepati bai’at wajib secara syar’i.
Ketiga:
As-Syaari’memerintahkan membunuh orang yang meminta bai’at yang meminta bai’at,
padahal sudah ada bai’at kepada imam.
KEDUA: IJMA’ SAHABAT
Sesunguhnya peristiwa
politik terpenting yang terjadi pasca wafatnya Nabi SAW adalah kosongnya
jabatan kepala Negara Islam, sebab
peristiwa ini menjadikan umat Islam tidak memiliki pemimpin yang akan
mengendalikannya jalannya pemerintahan Islam. Oleh karena, segera sesudah
diumumkannya bahwa Rasululla SAW telah wafat para sahabat berkumpul di Saqifah
Bani Sa’idah.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Saqifah Bani Sa’idah[8]
menyatakan dengan tegas bahwa para sahabat membai’at Abu Bakar ra untuk
menduduki kekhalifahan. Maka dengan bai’at ini, Abu Bakar merupakan kepala
Negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW. Begitu juga pada tiap-tiap
masa setelah itu. Semua itu ditetapkan berdasarkan Ijma’.[9]
BAB IV
SIFAT AKAD BAI’AT
Bai’at adalah hak tiap- tiap orang Islam, baik
laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini, tidak ada bedanya diantara keduanya.
Dengan demikian, bai’at dapat dikatakan sah secara syar’i yang dilaksanakan
dengan sarana apa pun di antara sarana-sarana yang mampu membawa pada
terlaksananya akad bai’at.
Bai’at Dengan
Berjabatan Tangan
Sesungguhnya orang yang dengan
cermat mengamati banyak nash yang datang terkait dengan masalah ini, maka dia
akan mendapati sebagian besar kejadian-kejadian bai’at dilaksanakan dengan menggunakan
sarana tangan, yakni dengan berjabatan. Realitas ini sebagian besar terjadipada
bai’at kaum laki-laki. Bai’at itu terjadi, “Ketika Rasulullah menyuruh
melakukan Bai’atu ar-Ridhwan.
Bai’at dengan berjabatan tangan di Hudaibiyah
bukanlah peristiwa politik yang pertama, sebab bentuk seperti ini telah terjadi
sebelumnya, yaitu pada peristiwa Bai’atul ‘Aqabah II. Begitu juga bai’atnya
kaum perempuan dengan berjabatan tangan sebagaimana kaum laki-laki. Sungguh
telah terdapat banyak riwayat tentang sifat bai’atnya kaum perempuan dengan
berjabatan tangan, dan sebagian yang lain dengan tangan, namun dibalik pakaian,
dengan perwakilan selain tangan Nabi SAW. Begitu uga, bai’at kaum perempuan
dilaiukan dengan lisan tanpa berjabatan tangan. Dan berikut inilah penjelasan
empat keadaan tersebut di atas:
Pertama:
Berjabatan tangan
Kedua:
Berjabatan tangan, namun dibalik pakaian[10]
Ketiga:
Berjabatan tangan, namun dengan pengganti Nabi SAW.
Keempat: Dengan
lisan tanpa berjatana tangan.
Inilah riwayat- riwayat tentang
sifat akad bai’atnya kaum perempuan, sedang yang paling sah dari semuanya
adalah dua riwayat:
Pertama:
Hadits riwayat Imam Bukhari dari Umi ‘Athiyah al-Anshari yang menetapkan adanya
berjabatan tangan.
Kedua:
Hadits riwayat Imam Muslim dari ‘Aisyah ra yang meniadakan berjabatan tangan.
Bai’at
Dengan Tulisan
Mengambil bai’at dengan berjabatan
tangan merupakan uslub (cara) diantara uslub-uslub bai’at. Disana terdapat
bentuk lain yang telah berlangsung prakteknya yaitu bai’at dengan tulisan
(surat). Bai’at yang ditulis contohnya adalah bai’at yang dikirim
an-Najasyi-Ashham bin Abhar- kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian, bai’at sah
dilakukan dengan cara apapun diantara beberapa cara, seperti berjabatan tangan,
tulisan (surat), lisan, dan sarana apapun yang penting dapat mewujudkan itu
semua, misalnya dengan telepon, telegram, pesan, iklan di media cetak, dan
lain-lainnya.
BAB V
LAFAZH –LAFAZH AKAD
BAI’AT
Di dalam nash –nash as-sunnah tidak
terdapat sesuatu yang menunjukkan wajibnya bai’at dilakukan dengan lafzh-lafazh
(ungkapan) tertentu. Orang yang dengan cermat mengamati lafazh-lafazh bai’at
itu berubah-rubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sesuai konteks orang
yang melakukan bai’at. Sedangkan bai’at untuk ketaatan, dan kedaulatan di
tangan syara’, yakni bai’at untuk pemerintahan. Ini adalah Bai’atul ‘Aqabah II,
berdasarkan peristiwa–peristiwa dan lafazh-lafazh yang diriwayatkannya bahwa
Bai’atul ‘Aqabah II merupakan bai’at untuk penyerahan dan tunduk kepada kepala
Negara Islam.
Mengingat konteks bai’at pun
bermacam-macam. Dengan demikian, boleh secara syar’ie akad bai’at berisi
lafazh-lafazh yang tidak terdapat pada bai’at para Khalifah sebelumnya, namun
yang pasti bai;at untuk pemerintahan harus berisi (janji) menjalankan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, ketaatan, pertolongan, dan perkataan yang
benar, yakni terkait dengan Khalifah bai’at berisi janji untuk menjalankan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan terkait dengan yang member bai’at berisi
janji untuk mentaatinya, dan menolongnya, baik dalam keadaan sulit maupun
lapang, dan baik ketika senang maupun benci.
BAB VI
SYARAT-SYARAT SAHNYA
AKAD BAI’AT
Bai’at
adalah hak semua kaum muslimin, bahkan bai’at merupakan kewajiban mereka. Dari
aspek hukum syara’ hukum wajibnya bai’at tidak berbeda dengan hukum syara’ yang
mana pun.
Syarat Pertama: Islam
Islam
adalah syarat sah dan diterimanya bai’at, sebab bai’at itu dilakukan untuk
Islam, Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga bai’at ini menuntut
adanya keimanan terhadap Islam. Dengan demikian non Islam tidak memiliki hak
untuk membai’at Khalifah, tidak pada bai’at in’iqad dan tidak juga pada bai’at
taat.
Syarat Kedua: Baligh
Bai’at itu wajib. Sedang perbuatan
tidak akan dihukumi wajib, kecuali apabila termasuk dalam perbuatan-perbuatan
orang-orang mukallaf, mengingat hukum syara’ itu terkait dengan
perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf. Dengan demikian, nash-nash yang
mewajibkan terkait dengan hukum-hukum syara’ (hanya) datang iuntuk orang-orang
mukalaf tidak dituntut terkait dengan hukum halal dan haram. Islam tidak
menuntun anak kecil yang belum mencapai umur baligh agar perbuatan-perbuatannya
terkait dengan hukum-hukum syara’.
Syarat ketiga: Berakal
Dalil syarat yang ketiga sama dengan
dalil syarat yang kedua, sebab akal merupakan tempat bergantungnya pemberian
kewajibann (manath at-taklif) yang fundamental didalam semua hukum. Sedang
bai’at salah satu perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf.
Syarat keempat:
Kerelaan dan Pilihan Sendiri
Bai’at merupakan salah satu
pilar-pilar kekuasaan umat sehingga tidak terbayangkan bahwa umat itu memiliki
kekuasaan tanpa kembali kepadanya, agar umat memilih penguasanya berdasarkan
kerelaan dan bersih dari setiap bentuk-bentuk pemaksaan. Sedangkan dalil bahwa
kerelaan itu merupakan syarat sahnya akad bai’at untuk mengangkat kepala negara
tidak lain adalah as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.
Dengan demikian, bai’at untuk
pemerintahnya syaratnya adalah kerelaan. Rasulullah SAW sangat sungguh-saungguh
dalam memperlihatkan tidak adanya pemaksaan. Sehingga saat ini menjadi dalil
bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh umat dalam pemerintahan tidak akan dirampas
oleh siapa pun.
Adapun Ijma’ Sahabat, maka sungguh
telah terjadi kesepakatan bahwa kerelaan menjadi syarat sahnya bai’at,
sebagaimana hal itu terjadi pada bai’at untuk pemerintahan yang pertama. Bai’at
telah disepakati untuk diberikan kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Adanya
kerelaan kaum muslimin dalam bai’at merupakan perkara vital, sebagaiman
pembai’atan Ali bin Thalib karramallahu wajhah.
Dengan demikian jelaslah melaui
nash-nash syara’ dan Ijma’ Sahabat yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah, ketka
orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar berkumpul untuk memilih kepala
negara bahwa dalam bai’at harus ada kerelaan yang mencerminkan hakekat kehendak
umat secara umum, serta mengekspresikan kekuasaan umat.
Sehingga bai’at tidak dianggap sah
secara syar’i, kecuali dengan kerelaan kaum muslimin, musyawarah mereka, dan
kesepakatan mayoritas dari mereka, sebab sejak awal bai’at merupakan hak
diantara hak-hak umat Islam.
Koreksi terhadap Syarat
Merdeka, dan Pandangan Kami dalam Masalah ini.
Pembahasan masalah ini
merupakan pembahasan politik, sehingga terlebih dahulu harus mengetahui karakteristik
bai’at tersebut. Bai’at merupakan salah satu hak politik kaum muslimin.
Melakukan bai’at wajib atas kaum muslimin, sebab bai’at mencerminkan kekuasaan
umat dalam mengangkat seorang penguasa. Dengan demikian bai’at merupakan hak
umat dalam melaksankan akad penyerahan kekhilafahan. Kepala negara adalah
Khalifah.
BAB VII
METODE SYA’I
PELAKSANAAN BAI’AT
Bai’at yang pertama adalah penyerahan kekuasaan oleh
orang yang membai’at kepada Khalifah. Sedang nai’at yang kedua adalah bai’at
dari kaum muslimin yang lain ketaatan. Bai’ait yang pertama dinamakan “Bai’atu
al-In’iqad” dan yang kedua “al-Bai’atu al-‘Ammah” sedang maksudnya adalah
“al-Bai’atu al-‘Ammah”. Ada perbedaan antara “Bai’atu al-Iniqad” dengan
“Bai’atu ath-Tha’ah”[11].
Sedangkan bai’at taat memberikan kepada khalifah statemen ketundukan umat
terhadap kekuasaan politiknya , dan memberinya perjanjian akan persetujuan umat
terhadap jabatan kekhalifahannya.
Bai’atu al-In’iqad
Khalifah adalah akad yang dilakukan
dengan penuh kerelaan dan atas pilihan sendiri, sebab ia merupakan bai’at yang taat bagi orang yang berhak untuk
ditaati diantara pemimpin, sehingga dalam bai’at harus ada kerelaan, baik dari
yang dibai’at untuk diserahi kekhilafahannya maupun dari mereka yang
membai’atnya. Dalil bahwa bai’at in’iqad menjadikan orang yang dibai’at sebagai
kepala negara adalah apa yang terjadi dalam pembai’atan Khulafaur Rasyidin yang
empat sebab itu merupakan Ijma’Sahabat ridwanallahi ‘alaihim.
Oleh karena itu, bai’at in’iqad yang hakekat nya merupakan representasi
kekuasaan umat, bukan bai’at taat, sebab kekuasaan tidak beralih dari umat
kepada kepala negara, kecuali dengan bai’at in’iqad. Kewajiban pertama terhadap
penguasa, setelah bai’at in’iqad adalah “bai’at at-Tha’ah”.
Bai’at Tha’ah
Bai’at tha’ah adalah bai’at
mayoritas kaum muslimin kepada orang yang telah selesai dilakukan bai’at
penyerahan jabatan kekhalifahan kepadanya. Dengan demikian, baita taat adalah
bai’at yang syar’i yang dilakukan setelah bai’at in’iqad. Bai’at taat diambil
dari semua kaum muslimin harus memberikannya, namun cukup dengan menampakkan
kepatuhan dan ketundukkan kepada Khalifah yang mendapat kepemimpinan negara
secara konstitusional.
Ahlu al-Halli wa
al-‘Aqdi
Sebagian besar pakar polotik Islam menyebutnya
“Ahlul Halli wa al-‘Aqdi”[12],
sedang sebagian yang lain menyebutnya ‘Ahlul Ikhtiyar”.[13]
Ibnu Hazm menyebutnya “Fudhalau al-Ummah”,[14]
dan ada juga yang menyebutnya “Ahlu al-ijtihad wa al’Adalah”[15].
Maksud dari semua itu adalah mereka yang dengan bai’atnya diserahkan jabatan kekhilafahan.
Sebagian ulama telah menetapkan syarat-syarat bagi orang yang dengan bai’atnya
diserahkan jabatan kekhilafahan. Untuk itu mereka telah menetapkan tiga syarat,
yaitu:
Pertama,
memiliki rasa keadilan yang meliputi semua persyaratannya.
Kedua,
memiliki pengetahuan yang dengannya mampu sampai pada mengetahui yang berhak
untuk menduduki imamah berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah
diakuinya.
Ketiga,
memiliki pendapat dan hikmah yang menjadikannya mampu memilih orang yang
paling layak untuk menduduki imamah. Dan
dean dalam mengurusi berbagai kepentingan dia terjenal lebik dan lebih bijak.[16]
Sedang masalah paling penting yang
membedakan pendapat ulama terkait dengan Ahlul Halli Wa al-‘Aqdi adalah adanya
perselisihan mengenai batasan jumlah yang dengan jumlah itu akad penyerahyan
kekhilafahan dapat dikatanakan sah. Sebab memulai bai’at itu hukumnya fardhu
kifayah. Sehingga apabila sebagian telah menyelesaikannya, maka gugurlah dosa
dari kaum muslimin yang lain, yakni apablia sejumlah tertentu diantara umat
islam telah memilih Khalifah dan melakukan akad penyerahan kekhilafahan kepadanya.
Pertanyaanya, berapakah jumlah yang menjadikan akad penyerahan kekhilafahan
dapat dikatakan sah ? Apakah untuk hal itu syara’ telah member batasan jumlah
tertentu? Dan apakah dalam mendukung pendapatnya para ulama memiliki dalil
syar’i? Inilah pendapat – pendapat para ulama terkait dengan masalah ini:
1
Akad penyerahan
kekhilafahan tidak dapat dikatakan sah , kecuali melalui Ijma’ Ahlul Halli wa al-‘Aqdi.
2
Akad penyerahan
kekhilafahan itu dikatakan sah melalui bai’atnya Ahlul Halli wa al-‘Aqdi yang
mereka itu mudah untuk berkumpul.
3
Akad penyerahan
kekhilafahan tidak dikatakan sah, kecuali dengan Ijma’ seluruh kaum muslimin.
4
Tidak diisyratkan Ijma’
secara mutlak.
5
Akad penyerahan
kekhilafahan tidak dikatakan sah, kecuali dengan sekelompok orang yang dijamin
bahwa mereka tidak akan bersepakat untuk melakukan kebohongan.[17]
6
Akad penyerahan
kekhilafahan tidak dikatan sah kecuali dengan persetujuan orang-orang yang
memiliki pengaruh.
7
Sebagian ulama
berpendapat adanya persyaratan jumlah tertentu, namun mereka brselisih menjadi
tujuh pendapat terkait dengan batasan jumlahnya,[18]
yaitu:
1) Paling
sedikit orang yang melakukan akad penyerahan kekhilafahan berjumlah 40 orang
tidak boleh kurang dari itu.
2) Hendaklah
mereka berjumlah 6 orang.
3) Minimal
orang yang melakukan akad penyerahan kekhilafahan berjumlah 5 orang dan memang
mereka berkumpul hanya untuk melakukan akad tersebut.
4) Akad
penyerahan kekhilafahan sah dilakukan 4 orang, sama dengan jumalah saksi untuk
dakwaan terhadap pelaku zina.
5) Akad
penyerahan kekhilafahan sah dilkakukan oleh 3 orang, dan kekhalifahan
diserahkan kepada salah seorang dari mereka
dengan mendapatkan kerelaan dari keduanya.
6) Akad
penyerahan kekhilafahan dilakukan oleh 2 orang.
7) Akad
penyerahan kekhilafahan sah dilakukan 1 orang saja diantara Ahlul Halli wa al-‘Aqdi.
Metode Pemilihan Kepala Negara
Satu-satunya metode syar’i
dalam mengangkat kepala negara adalah bai’at. Dengan demikian, hukum syara’
tentang pelaksanaan pengangkatan kepala negara adalah membatasi kandidat
khalifah yang dilakukan oleh anggota kamu muslimin yang berada di majelis
syuro, sebab majelis inilah yang mewakili opini mayoritas kaum muslimin
kemudian mereka menyodorkan nama-nama kandidat khalifah kepada kaum muslimin,
agar mereka memilih satu orang sebagai Khalifah bagi mereka.
BAB VIII
KRITIKAN TERHADAP
PENDAPAT ULAMA’ TENTANG METODE PENGANGKATAN KHALIFAH
Secara
global pendapat – pendapat ulama terkait dengan metode pengangkatan kepala
negara terbatas pada empat pendapat, yaitu:
Pendapat
pertama: Melalui pilihan umat.
Pendapat kedua:
Melalui wasiat atau perjanjian.
Pendapat ketiga:
Melaui penekanan, pemaksaan dan penguasaan.
Pendapat
keempat: Melalui ketetapan dari Allah SWT.
A. Pendapat Ulama’ Tentang Istikhalaf atau Putera
Mahkota (Wilayatual-‘Ahdi)
Al-Istikhlafu atau al-‘Ahdu
Al-Baghawi berkata :
AL-Istikhlaf adalah menunjuk orang menjadi Khalifah ketika Khalifah sebelumnya
masih hidup (aktif), kemudian setelah Khalifah sebelumnya (tidak aktif/wafat),
maka dia (ditunjuk) langsung menggantikannya.[19]
Semua orang yang berpendapat dengan
ini mengajukan empat argumentasi, yaitu:
Argumentasi
pertama: Telah terdapat Ijma’ Sahabat tentang bolehnya mengangkat Khalifah
dengan jalan wasiat atau janji.
1. Bahwa
Abu Bakar ra. Telah menjanjikan kekhilafahan kepada Umar ra.
2. Sesungguhanya
Umar ra. Menjajnjikan kekhilafahan kepada Ahlu as-Syura, lalu sekelompok
menerima intervensi mereka dalam hal ini, sedang mereka di kata itu sebagai
orang-orang terpandang yang berkeyakinan sahnya mewasiatkan kekhilafahan, namun
dikecualikan dari masalah ini beberapa sahabat yang lain.[20]
Argumentasi
kedua: Tidak adanya nash syar’i atau Ijma’ yang
melarang akad penyerahan kekhilafahan dengan al-Istiklaf.
Argumentasi
ketiga: Wasiat Abu Bakar ra yang menunjuk Umar
ra agar Umar menduduki kekhilafahan sesudahnya tidak tergantung pada kerelaan
kaum muslimin dan para sahabat ridhwanallahi’alaihim.
Argumentasi
keempat: Bahwasannya sah menganalogkan
penunjukkan Nabi SAW pada tentara Mu’tah, dan apabila Nabi SAW melakukan hal
itu dalam kepemimpinan (kekhilafahan), maka boleh dilakukan terhadap hal yang
serupa yaitu mewasiatkan kekhilafahan.
B. Melalui Penekanan,
Pemaksaan, dan Penguasaan
Sungguh beberapa
fuqaha’ dan ulama’ telah menetapkan bolehnya mengangkat Khalifah melalui jalan
pemaksaan, penekanan, dan penguasaan.[21]
Yang benar bahwa kekhilafahan tidak diserahkan dengan pemaksaan, penekanan, dan
penguasaan, sebab penyerahan kekhilafahan merupakan akad yang dilakukan dengan
kerelaan dan pilihan sendiri.
C. Sanggahan Terhadap
Syi’ah
Syi’ah menyebutkan
dalil-dalil atas apa yang mereka katakana bersumberdari al-Kitab dan as-Sunnah .
Namun, kaum muslimin memprotesnya. Para ulama’dari semua kelompok umat bangkit
melakukan penolakan terhadap Syi’ah, dan membantah dalil-dalil mereka.
[4] Lihat Fathul Bari, I/71
(Syarah Ibnu Hajar)
[5] Idem., lihat Shubhu al-A’Sya, karya al-Qalqasyandi, IX/273
[6] Nuzhatu al-Quluyubi Fi Tafsiri Gharibi al-Qur’ani, karya
as-Sajistani, dalam mensyarahi ayat di atas.
[7] Haqiqatu al-Islam, hal.46
[8] Lihat peristiwa-peristiwa pembai’atan di Saqifah Bani Sa’idah pada
referensi berikut ini: As-Sirah an-Nabawiyah, I/142; Karya Ibnu Katsir IV/486
dan seterusnya, diantaranya…telah disebutkan di awal mdengan perubahan di sana
sini, cetakan Lebanon: Sirah Ibnu Hisyam, IV/225 dan seterusnya, cetakan
Lebanon: Tarikh at-Thabari, III/203 dan seterusnya ; As-Sirah al-Halabiyah,
II/479 dan seterusnya; Ar-Riyadlu an-Nadlrah, I/195 dan seterusnya; Shubu
al-A’sya, karya al-Qalqasyandi, IX Hadid, jilid ke-2, VI/3; Muruju ad-Dzahabi, karya
al-Masudi, II/304; Maqalat al-Islamiyin, I/41; Al-‘Awashim Min ai-Qa-Washim,
karya Qadli Abu Bakar bin al-Arabi, hal.43 dan seterusnya, cetakan ke-3.
Tahqiq: Muhibbudin al-Khatib, percetakan as-Salafiyah, Kaero, Mesir.
[9] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.181.
[10] Ahkamu al-Quran, Ibnu al-Arabi, IV/29; Majma’u az-Zawaid, VI/39
[11] Lihat al-Ma’arif, Ibnu Qutaibah, hal.74;Shubhu al-A’sya,III/255;
Sirah Ibnu Katsir, IV/493, terbitan Beirut.
[12] Lihat al-ahkam as-Shultaniyah. Al-mawardi hal.6-7; Abu Ya’la, hal.
26; Ma’atsaru al-Inafah Fi Ma’alimi al-khilafah, I/42-44; Al-Mawaqif, VIII/353;
Al-Irsyad, al-Juwaini, hal.425; Mughni al-Muhtaj, IV/130-131;Nihayatu al-Muhtaj
IIa Syarhi al-Minhaj, VII/390;Ghoyatu al-Marami, al-amidi, hal. 381.
[13] Lihat al-Ahkam as-Sulthaniyah, Abi Ya’la, hal. 5,6 dan 26
[14] Al-Fashlu FI Al-Milal wa-al-Ahwa’ wa an-Nihal, IV/167
[15] Al-Farqu Baina al-Firaq,
Al-Baghdadi, hal. 211
[16] Al-ahkam as-shuitaniyah, al-mawardi, hal.6 lihat syarat yang sama
dalam al-ahkam as-shutaniyah, Abi Ya’la, hal 19. Lihat juga al-Mughni Fi Abwabi
at-Tauhid wa al-‘Adi, XX/252.
[17] Lihat Maqalat al-Islamiyin, II/133 (tidak dinisbatkan kepada
seorang pun diantara ulama’)
[18] Ma’atsaru al-inafah , al-Qaqasyandi, I/42-44 (yang menetapkan hal
yang demikian)
[19] Shubhu al-A’sya, IX/315
[20] Al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi, hal.10
[21] Lihat masalah itu dalam: al-Ahkam as-Sulthaniyah, Abu Ya’la,
hal.23-24;Ma’tsaru al-Inafah fi Ma’alimi al-Khilafah, I/58;Muntaha al-Iradat,
II/494-495
No comments:
Post a Comment