My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Bai’at Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam


BAB II
ARTI BA’IAT

Dalam Bahasa Arab Ba’iat digunakan dengan arti ash-shafqatu ‘ala ijabi al-bai’I (uluran tangan sebagai tanda persetujuan transaksi jual beli)[1], al-mubaya’ah wa ath-tha’ah (pemberian kekuatan dan ketaatan), wa qad tabaaya’uu ‘ala al-amri (sungguh mereka telah sepakat memberikan kekuasaan atas perkara itu)[2], ‘aahada (membuat perjanjian dengan) seperti perkataanmu ashfaquu ‘aalahi, wa baay’ahu ‘alaihi mubaaya’atan, yakni ‘aahadahu (membuat perjanjian dengannya)[3], wa qad sumiyat bidzalika tasybiihan bii al-mu’aawadhah al-maliyah (sungguh ba’iat dinamakan dengan itu karena serupa dengan menerima dan memberi harta benda)[4].
            Kata Ba’iat digunakan dengan arti al-mu’aaqidah (yang saling melakukan transaksi) dan dalam hadits alaa tabaaya’uunii ‘ala al-Islam (tidakkah kalian telah membuat kesepakatan denganku tentang Islam) merupakan ungkapan tentang adanya saling melakukan transaksi[5] , masing masing dari keduanya adalah seolah-olah menjual apa yang dimiliknya, yakni ikut bersamanya, dengan ikhlas memberikan dirinya, menaati, dan menguasakan urusannya.
            Kata Biya’un adalah Jama’ (plural) dari kata Bai’ah (rumah ibadah/gereja)bagi orang Nasrani[6]. Dikatakan bayaa’ahu wa a’thaahu shafqata yadahu (dia memba’iatnya dan memberinya uluran tangannya).
            Kata ba’iat banyak disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Sebagai ungkapan tentang maksud yang khas dari suatu kata, maka kata ba’iat digunakan dengan beberapa bentuk.Berikut penjelasannya:

            Pertama: Ba’iat dalam Al-Quran Al-Karim.
            Dalam al-Quran, kata Bai’at disebutkan di banyak tempat, disini hanya disebutkan sebagian saja yaitu
Innallahaasytara minal mu'miniina anfusahum wa-amwaalahum bianna lahumul jannata yuqaatiluuna fii sabiilillahi fayaqtuluuna wayuqtaluuna wa'dan 'alaihi haqqan fiittauraati wal-injiili wal quraani waman aufa bi'ahdihi minallahi faastabsyiruu bibai'ikumul-ladzii baaya'tum bihi wadzalika huwal fauzul 'azhiim(u)
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." – (QS.9:111)
pada Q.S. At-Taubah (9):111 jelas bahwa bai’at dituntut dari orang-orang yang beriman. Khususnya mereka yang ingin membeli surge dengan jiwa dan harta mereka sebagai harganya. 
Innal-ladziina yubaayi'uunaka innamaa yubaayi'uunallaha yadullahi fauqa aidiihim faman nakatsa fa-innamaa yankutsu 'ala nafsihi waman aufa bimaa 'aahada 'alaihullaha fasayu'tiihi ajran 'azhiiman
Artinya: “Bahwasanya, orang-orang yang berjanji setia kepada kamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya (hukuman-Nya) akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar." – (QS.48:10)
Laqad radhiyallahu 'anil mu'miniina idz yubaayi'uunaka tahtasy-syajarati fa'alima maa fii quluubihim fa-anzalassakiinata 'alaihim wa-atsaabahum fathan qariiban.
Artinya: ” Sesungguhnya Allah telah redha terhadap orang-orang Mukmin, ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu menurunkan (memberikan) ketenangan atas mereka, dan memberi balasan kepada mereka, dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." – (QS.48:18)
Q.S. Al-Fath (48):10 dan 18, pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa siapa saja yang merusak bai’at bersama Rasulullah SAW maka tindakannya itu tidak lainhanya mengeluarkannya dari golongan orang-orang yang dijanjikan surge oleh Allah SWT.
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji (Allah) , mengembara (demi ilmu dan agama), ruku’, sujud, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, serta yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman”
Q.S. At.Taubah (9):112 menunjukkan bahwa Allah SWT sangat ridha kepada orang-orang yang membai’at Muhammad SAW pada hari berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah.
            Kedua: Ba’iat dalam As-Sunnah
            Dalam banyak kondisi praktis ditunjukkan bahwa ba’iat merupakan interprestasi yang aktif (hidup) bagi penetapan hak umat dalam mengangkat penguasa. Sebab, dengan ba’iat ini umat memberikan indikasi-indikasi kekuasaan kepada seorang penguasa. Dalam beberapa peristiwa, kata bai’at digunakan dengan arti perjanjian (pakta) dan kesepakatan (piagam), yang sangat menonjol adalah apa yang terjadi pada Bai’atul ‘Aqabah II. Pada Bai’atul ‘Aqabah II ini berlangsung pembuatan perjanjian dan kesepakatan bersama antara Rasulullah SAW dengan anggota kelompok pembela dari Suku Aus dan Khazraj.
            Ba’iat Secara Terminologis
            Ba’iat merupakan metode syara’ (Islam) satu-satunya dalam rangka memilih dan mengangkat seorang penguasa yang dilakukan oleh umat. Ketika Ibnu Khaldun mngungkapkan bahwa ba’iat adalah perjanjian untuk ketaatan. Dari perkataan ini jelas bahwa bai’at adalah perjanjian antara umat dengan penguasa, yaitu agar penguasa menjalankan pemerintahan menurut ketentuan syara’, dan agar umat mentaati penguasa.

BAB III
HUKUM ASAL DISYARATKANNYA BAI’AT
PERTAMA: AS-SUNNAH
Dalil wajib bai’at adalah sabda Rasulullah SAW:
            “Barangsiapa yang mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati seperti mati jahiliyah”
Hadits ini mendorong agar orang berbai’at, serta mengancam orang yang meninggalkannya. Demikian, hadits ini menunjukkan wajibnya berbai’at kepada Imam (Khalifah)[7]. Semua jalan yang meriwayatkan hadits tentang bai’at menunjukkan wajibnya bai’at, sebab mengandung celaan bagi yang meninggalkannya, disamping tuntutan bai’at itu datang dengan tuntutan yang tegas, serta mengancam orang yang menolaknya. Ini semua menunjukkan haramnya meninggalkan bai’at, baik meninggalkannya itu sejak dari awal maupun belakangan.
            Ada beberapa aspek yang menunjukkan bahwa nash-nash tersebut mewajibkan ba’iat :
Pertama: As-Syaari’ mencela orang yang mati sedang dipundaknya tidak ada bai’at.
Kedua: Menepati bai’at wajib secara syar’i.
Ketiga: As-Syaari’memerintahkan membunuh orang yang meminta bai’at yang meminta bai’at, padahal sudah ada bai’at kepada imam.
KEDUA: IJMA’ SAHABAT
            Sesunguhnya peristiwa politik terpenting yang terjadi pasca wafatnya Nabi SAW adalah kosongnya jabatan kepala Negara Islam,  sebab peristiwa ini menjadikan umat Islam tidak memiliki pemimpin yang akan mengendalikannya jalannya pemerintahan Islam. Oleh karena, segera sesudah diumumkannya bahwa Rasululla SAW telah wafat para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah.
            Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah[8] menyatakan dengan tegas bahwa para sahabat membai’at Abu Bakar ra untuk menduduki kekhalifahan. Maka dengan bai’at ini, Abu Bakar merupakan kepala Negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW. Begitu juga pada tiap-tiap masa setelah itu. Semua itu ditetapkan berdasarkan Ijma’.[9]

BAB IV
SIFAT AKAD BAI’AT

Bai’at adalah hak tiap- tiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini, tidak ada bedanya diantara keduanya. Dengan demikian, bai’at dapat dikatakan sah secara syar’i yang dilaksanakan dengan sarana apa pun di antara sarana-sarana yang mampu membawa pada terlaksananya akad bai’at.
Bai’at Dengan Berjabatan Tangan
            Sesungguhnya orang yang dengan cermat mengamati banyak nash yang datang terkait dengan masalah ini, maka dia akan mendapati sebagian besar kejadian-kejadian bai’at dilaksanakan dengan menggunakan sarana tangan, yakni dengan berjabatan. Realitas ini sebagian besar terjadipada bai’at kaum laki-laki. Bai’at itu terjadi, “Ketika Rasulullah menyuruh melakukan Bai’atu ar-Ridhwan.
Bai’at dengan berjabatan tangan di Hudaibiyah bukanlah peristiwa politik yang pertama, sebab bentuk seperti ini telah terjadi sebelumnya, yaitu pada peristiwa Bai’atul ‘Aqabah II. Begitu juga bai’atnya kaum perempuan dengan berjabatan tangan sebagaimana kaum laki-laki. Sungguh telah terdapat banyak riwayat tentang sifat bai’atnya kaum perempuan dengan berjabatan tangan, dan sebagian yang lain dengan tangan, namun dibalik pakaian, dengan perwakilan selain tangan Nabi SAW. Begitu uga, bai’at kaum perempuan dilaiukan dengan lisan tanpa berjabatan tangan. Dan berikut inilah penjelasan empat keadaan tersebut di atas:
Pertama: Berjabatan tangan
Kedua: Berjabatan tangan, namun dibalik pakaian[10]
Ketiga: Berjabatan tangan, namun dengan pengganti Nabi SAW.
Keempat: Dengan lisan tanpa berjatana tangan.
            Inilah riwayat- riwayat tentang sifat akad bai’atnya kaum perempuan, sedang yang paling sah dari semuanya adalah dua riwayat:
Pertama: Hadits riwayat Imam Bukhari dari Umi ‘Athiyah al-Anshari yang menetapkan adanya berjabatan tangan.
Kedua: Hadits riwayat Imam Muslim dari ‘Aisyah ra yang meniadakan berjabatan tangan.
            Bai’at Dengan Tulisan
            Mengambil bai’at dengan berjabatan tangan merupakan uslub (cara) diantara uslub-uslub bai’at. Disana terdapat bentuk lain yang telah berlangsung prakteknya yaitu bai’at dengan tulisan (surat). Bai’at yang ditulis contohnya adalah bai’at yang dikirim an-Najasyi-Ashham bin Abhar- kepada Rasulullah SAW.
            Dengan demikian, bai’at sah dilakukan dengan cara apapun diantara beberapa cara, seperti berjabatan tangan, tulisan (surat), lisan, dan sarana apapun yang penting dapat mewujudkan itu semua, misalnya dengan telepon, telegram, pesan, iklan di media cetak, dan lain-lainnya.

BAB V
LAFAZH –LAFAZH AKAD BAI’AT

            Di dalam nash –nash as-sunnah tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan wajibnya bai’at dilakukan dengan lafzh-lafazh (ungkapan) tertentu. Orang yang dengan cermat mengamati lafazh-lafazh bai’at itu berubah-rubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sesuai konteks orang yang melakukan bai’at. Sedangkan bai’at untuk ketaatan, dan kedaulatan di tangan syara’, yakni bai’at untuk pemerintahan. Ini adalah Bai’atul ‘Aqabah II, berdasarkan peristiwa–peristiwa dan lafazh-lafazh yang diriwayatkannya bahwa Bai’atul ‘Aqabah II merupakan bai’at untuk penyerahan dan tunduk kepada kepala Negara Islam.
            Mengingat konteks bai’at pun bermacam-macam. Dengan demikian, boleh secara syar’ie akad bai’at berisi lafazh-lafazh yang tidak terdapat pada bai’at para Khalifah sebelumnya, namun yang pasti bai;at untuk pemerintahan harus berisi (janji) menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, ketaatan, pertolongan, dan perkataan yang benar, yakni terkait dengan Khalifah bai’at berisi janji untuk menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan terkait dengan yang member bai’at berisi janji untuk mentaatinya, dan menolongnya, baik dalam keadaan sulit maupun lapang, dan baik ketika senang maupun benci.

BAB VI
SYARAT-SYARAT SAHNYA AKAD BAI’AT
            Bai’at adalah hak semua kaum muslimin, bahkan bai’at merupakan kewajiban mereka. Dari aspek hukum syara’ hukum wajibnya bai’at tidak berbeda dengan hukum syara’ yang mana pun.
Syarat Pertama: Islam
            Islam adalah syarat sah dan diterimanya bai’at, sebab bai’at itu dilakukan untuk Islam, Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga bai’at ini menuntut adanya keimanan terhadap Islam. Dengan demikian non Islam tidak memiliki hak untuk membai’at Khalifah, tidak pada bai’at in’iqad dan tidak juga pada bai’at taat.
Syarat Kedua: Baligh
            Bai’at itu wajib. Sedang perbuatan tidak akan dihukumi wajib, kecuali apabila termasuk dalam perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf, mengingat hukum syara’ itu terkait dengan perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf. Dengan demikian, nash-nash yang mewajibkan terkait dengan hukum-hukum syara’ (hanya) datang iuntuk orang-orang mukalaf tidak dituntut terkait dengan hukum halal dan haram. Islam tidak menuntun anak kecil yang belum mencapai umur baligh agar perbuatan-perbuatannya terkait dengan hukum-hukum syara’.
Syarat ketiga: Berakal
            Dalil syarat yang ketiga sama dengan dalil syarat yang kedua, sebab akal merupakan tempat bergantungnya pemberian kewajibann (manath at-taklif) yang fundamental didalam semua hukum. Sedang bai’at salah satu perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf.
Syarat keempat: Kerelaan dan Pilihan Sendiri
            Bai’at merupakan salah satu pilar-pilar kekuasaan umat sehingga tidak terbayangkan bahwa umat itu memiliki kekuasaan tanpa kembali kepadanya, agar umat memilih penguasanya berdasarkan kerelaan dan bersih dari setiap bentuk-bentuk pemaksaan. Sedangkan dalil bahwa kerelaan itu merupakan syarat sahnya akad bai’at untuk mengangkat kepala negara tidak lain adalah as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.
            Dengan demikian, bai’at untuk pemerintahnya syaratnya adalah kerelaan. Rasulullah SAW sangat sungguh-saungguh dalam memperlihatkan tidak adanya pemaksaan. Sehingga saat ini menjadi dalil bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh umat dalam pemerintahan tidak akan dirampas oleh siapa pun.
            Adapun Ijma’ Sahabat, maka sungguh telah terjadi kesepakatan bahwa kerelaan menjadi syarat sahnya bai’at, sebagaimana hal itu terjadi pada bai’at untuk pemerintahan yang pertama. Bai’at telah disepakati untuk diberikan kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Adanya kerelaan kaum muslimin dalam bai’at merupakan perkara vital, sebagaiman pembai’atan Ali bin Thalib karramallahu wajhah.
            Dengan demikian jelaslah melaui nash-nash syara’ dan Ijma’ Sahabat yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah, ketka orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar berkumpul untuk memilih kepala negara bahwa dalam bai’at harus ada kerelaan yang mencerminkan hakekat kehendak umat secara umum, serta mengekspresikan kekuasaan umat.
            Sehingga bai’at tidak dianggap sah secara syar’i, kecuali dengan kerelaan kaum muslimin, musyawarah mereka, dan kesepakatan mayoritas dari mereka, sebab sejak awal bai’at merupakan hak diantara hak-hak umat Islam.
Koreksi terhadap Syarat Merdeka, dan Pandangan Kami dalam Masalah ini.
            Pembahasan masalah ini merupakan pembahasan politik, sehingga terlebih dahulu harus mengetahui karakteristik bai’at tersebut. Bai’at merupakan salah satu hak politik kaum muslimin. Melakukan bai’at wajib atas kaum muslimin, sebab bai’at mencerminkan kekuasaan umat dalam mengangkat seorang penguasa. Dengan demikian bai’at merupakan hak umat dalam melaksankan akad penyerahan kekhilafahan. Kepala negara adalah Khalifah.

BAB VII
METODE SYA’I PELAKSANAAN BAI’AT

Bai’at yang pertama adalah penyerahan kekuasaan oleh orang yang membai’at kepada Khalifah. Sedang nai’at yang kedua adalah bai’at dari kaum muslimin yang lain ketaatan. Bai’ait yang pertama dinamakan “Bai’atu al-In’iqad” dan yang kedua “al-Bai’atu al-‘Ammah” sedang maksudnya adalah “al-Bai’atu al-‘Ammah”. Ada perbedaan antara “Bai’atu al-Iniqad” dengan “Bai’atu ath-Tha’ah”[11]. Sedangkan bai’at taat memberikan kepada khalifah statemen ketundukan umat terhadap kekuasaan politiknya , dan memberinya perjanjian akan persetujuan umat terhadap jabatan kekhalifahannya.
Bai’atu al-In’iqad
            Khalifah adalah akad yang dilakukan dengan penuh kerelaan dan atas pilihan sendiri, sebab ia merupakan  bai’at yang taat bagi orang yang berhak untuk ditaati diantara pemimpin, sehingga dalam bai’at harus ada kerelaan, baik dari yang dibai’at untuk diserahi kekhilafahannya maupun dari mereka yang membai’atnya. Dalil bahwa bai’at in’iqad menjadikan orang yang dibai’at sebagai kepala negara adalah apa yang terjadi dalam pembai’atan Khulafaur Rasyidin yang empat sebab itu merupakan Ijma’Sahabat ridwanallahi ‘alaihim.
            Oleh karena itu, bai’at in’iqad  yang hakekat nya merupakan representasi kekuasaan umat, bukan bai’at taat, sebab kekuasaan tidak beralih dari umat kepada kepala negara, kecuali dengan bai’at in’iqad. Kewajiban pertama terhadap penguasa, setelah bai’at in’iqad adalah “bai’at at-Tha’ah”.
Bai’at Tha’ah
            Bai’at tha’ah adalah bai’at mayoritas kaum muslimin kepada orang yang telah selesai dilakukan bai’at penyerahan jabatan kekhalifahan kepadanya. Dengan demikian, baita taat adalah bai’at yang syar’i yang dilakukan setelah bai’at in’iqad. Bai’at taat diambil dari semua kaum muslimin harus memberikannya, namun cukup dengan menampakkan kepatuhan dan ketundukkan kepada Khalifah yang mendapat kepemimpinan negara secara konstitusional.
Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi
Sebagian besar pakar polotik Islam menyebutnya “Ahlul Halli wa al-‘Aqdi”[12], sedang sebagian yang lain menyebutnya ‘Ahlul Ikhtiyar”.[13] Ibnu Hazm menyebutnya “Fudhalau al-Ummah”,[14] dan ada juga yang menyebutnya “Ahlu al-ijtihad wa al’Adalah”[15]. Maksud dari semua itu adalah mereka yang dengan bai’atnya diserahkan jabatan kekhilafahan. Sebagian ulama telah menetapkan syarat-syarat bagi orang yang dengan bai’atnya diserahkan jabatan kekhilafahan. Untuk itu mereka telah menetapkan tiga syarat, yaitu:
Pertama, memiliki rasa keadilan yang meliputi semua persyaratannya.
Kedua, memiliki pengetahuan yang dengannya mampu sampai pada mengetahui yang berhak untuk menduduki imamah berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah diakuinya.
Ketiga, memiliki pendapat dan hikmah yang menjadikannya mampu memilih orang yang paling  layak untuk menduduki imamah. Dan dean dalam mengurusi berbagai kepentingan dia terjenal lebik dan lebih bijak.[16]
            Sedang masalah paling penting yang membedakan pendapat ulama terkait dengan Ahlul Halli Wa al-‘Aqdi adalah adanya perselisihan mengenai batasan jumlah yang dengan jumlah itu akad penyerahyan kekhilafahan dapat dikatanakan sah. Sebab memulai bai’at itu hukumnya fardhu kifayah. Sehingga apabila sebagian telah menyelesaikannya, maka gugurlah dosa dari kaum muslimin yang lain, yakni apablia sejumlah tertentu diantara umat islam telah memilih Khalifah dan melakukan akad penyerahan kekhilafahan kepadanya. Pertanyaanya, berapakah jumlah yang menjadikan akad penyerahan kekhilafahan dapat dikatakan sah ? Apakah untuk hal itu syara’ telah member batasan jumlah tertentu? Dan apakah dalam mendukung pendapatnya para ulama memiliki dalil syar’i? Inilah pendapat – pendapat para ulama terkait dengan masalah ini:
            1          Akad penyerahan kekhilafahan tidak dapat dikatakan sah , kecuali melalui  Ijma’ Ahlul Halli wa al-‘Aqdi.
            2          Akad penyerahan kekhilafahan itu dikatakan sah melalui bai’atnya Ahlul Halli wa al-‘Aqdi yang mereka itu mudah untuk berkumpul.
            3          Akad penyerahan kekhilafahan tidak dikatakan sah, kecuali dengan Ijma’ seluruh kaum muslimin.
            4          Tidak diisyratkan Ijma’ secara mutlak.
            5          Akad penyerahan kekhilafahan tidak dikatakan sah, kecuali dengan sekelompok orang yang dijamin bahwa mereka tidak akan bersepakat untuk melakukan kebohongan.[17]
            6          Akad penyerahan kekhilafahan tidak dikatan sah kecuali dengan persetujuan orang-orang yang memiliki pengaruh.
            7          Sebagian ulama berpendapat adanya persyaratan jumlah tertentu, namun mereka brselisih menjadi tujuh pendapat terkait dengan batasan jumlahnya,[18] yaitu:
1)      Paling sedikit orang yang melakukan akad penyerahan kekhilafahan berjumlah 40 orang tidak boleh kurang dari itu.
2)      Hendaklah mereka berjumlah 6 orang.
3)      Minimal orang yang melakukan akad penyerahan kekhilafahan berjumlah 5 orang dan memang mereka berkumpul hanya untuk melakukan akad tersebut.
4)      Akad penyerahan kekhilafahan sah dilakukan 4 orang, sama dengan jumalah saksi untuk dakwaan terhadap pelaku zina.
5)      Akad penyerahan kekhilafahan sah dilkakukan oleh 3 orang, dan kekhalifahan diserahkan kepada salah seorang dari mereka  dengan mendapatkan kerelaan dari keduanya.
6)      Akad penyerahan kekhilafahan dilakukan oleh 2 orang.
7)      Akad penyerahan kekhilafahan sah dilakukan 1 orang saja diantara  Ahlul Halli wa al-‘Aqdi.
Metode Pemilihan Kepala Negara
            Satu-satunya metode syar’i dalam mengangkat kepala negara adalah bai’at. Dengan demikian, hukum syara’ tentang pelaksanaan pengangkatan kepala negara adalah membatasi kandidat khalifah yang dilakukan oleh anggota kamu muslimin yang berada di majelis syuro, sebab majelis inilah yang mewakili opini mayoritas kaum muslimin kemudian mereka menyodorkan nama-nama kandidat khalifah kepada kaum muslimin, agar mereka memilih satu orang sebagai Khalifah bagi mereka.

BAB VIII
KRITIKAN TERHADAP PENDAPAT ULAMA’ TENTANG METODE PENGANGKATAN KHALIFAH

            Secara global pendapat – pendapat ulama terkait dengan metode pengangkatan kepala negara terbatas pada empat pendapat, yaitu:
Pendapat pertama: Melalui pilihan umat.
Pendapat kedua: Melalui wasiat atau perjanjian.
Pendapat ketiga: Melaui penekanan, pemaksaan dan penguasaan.
Pendapat keempat: Melalui ketetapan dari Allah SWT.
A. Pendapat Ulama’ Tentang Istikhalaf atau Putera Mahkota (Wilayatual-‘Ahdi)
Al-Istikhlafu atau al-‘Ahdu
            Al-Baghawi berkata : AL-Istikhlaf adalah menunjuk orang menjadi Khalifah ketika Khalifah sebelumnya masih hidup (aktif), kemudian setelah Khalifah sebelumnya (tidak aktif/wafat), maka dia (ditunjuk) langsung menggantikannya.[19]
            Semua orang yang berpendapat dengan ini mengajukan empat argumentasi, yaitu:
            Argumentasi pertama: Telah terdapat Ijma’ Sahabat tentang bolehnya mengangkat Khalifah dengan jalan wasiat atau janji.
1.      Bahwa Abu Bakar ra. Telah menjanjikan kekhilafahan kepada Umar ra.
2.      Sesungguhanya Umar ra. Menjajnjikan kekhilafahan kepada Ahlu as-Syura, lalu sekelompok menerima intervensi mereka dalam hal ini, sedang mereka di kata itu sebagai orang-orang terpandang yang berkeyakinan sahnya mewasiatkan kekhilafahan, namun dikecualikan dari masalah ini beberapa sahabat yang lain.[20]
Argumentasi kedua: Tidak adanya nash syar’i atau Ijma’ yang melarang akad penyerahan kekhilafahan dengan al-Istiklaf.
Argumentasi ketiga: Wasiat Abu Bakar ra yang menunjuk Umar ra agar Umar menduduki kekhilafahan sesudahnya tidak tergantung pada kerelaan kaum muslimin dan para sahabat ridhwanallahi’alaihim.
Argumentasi keempat: Bahwasannya sah menganalogkan penunjukkan Nabi SAW pada tentara Mu’tah, dan apabila Nabi SAW melakukan hal itu dalam kepemimpinan (kekhilafahan), maka boleh dilakukan terhadap hal yang serupa yaitu mewasiatkan kekhilafahan.
B. Melalui Penekanan, Pemaksaan, dan Penguasaan
            Sungguh beberapa fuqaha’ dan ulama’ telah menetapkan bolehnya mengangkat Khalifah melalui jalan pemaksaan, penekanan, dan penguasaan.[21] Yang benar bahwa kekhilafahan tidak diserahkan dengan pemaksaan, penekanan, dan penguasaan, sebab penyerahan kekhilafahan merupakan akad yang dilakukan dengan kerelaan dan pilihan sendiri.
C. Sanggahan Terhadap Syi’ah
            Syi’ah menyebutkan dalil-dalil atas apa yang mereka katakana bersumberdari al-Kitab dan as-Sunnah . Namun, kaum muslimin memprotesnya. Para ulama’dari semua kelompok umat bangkit melakukan penolakan terhadap Syi’ah, dan membantah dalil-dalil mereka.



(1,2,3) Lisanul Arab, Ibnu Mandhur, I/299.


[4]  Lihat Fathul Bari, I/71 (Syarah Ibnu Hajar)
[5] Idem., lihat Shubhu al-A’Sya, karya al-Qalqasyandi, IX/273
[6] Nuzhatu al-Quluyubi Fi Tafsiri Gharibi al-Qur’ani, karya as-Sajistani, dalam mensyarahi ayat di atas.
[7] Haqiqatu al-Islam, hal.46
[8] Lihat peristiwa-peristiwa pembai’atan di Saqifah Bani Sa’idah pada referensi berikut ini: As-Sirah an-Nabawiyah, I/142; Karya Ibnu Katsir IV/486 dan seterusnya, diantaranya…telah disebutkan di awal mdengan perubahan di sana sini, cetakan Lebanon: Sirah Ibnu Hisyam, IV/225 dan seterusnya, cetakan Lebanon: Tarikh at-Thabari, III/203 dan seterusnya ; As-Sirah al-Halabiyah, II/479 dan seterusnya; Ar-Riyadlu an-Nadlrah, I/195 dan seterusnya; Shubu al-A’sya, karya al-Qalqasyandi, IX Hadid, jilid ke-2, VI/3; Muruju ad-Dzahabi, karya al-Masudi, II/304; Maqalat al-Islamiyin, I/41; Al-‘Awashim Min ai-Qa-Washim, karya Qadli Abu Bakar bin al-Arabi, hal.43 dan seterusnya, cetakan ke-3. Tahqiq: Muhibbudin al-Khatib, percetakan as-Salafiyah, Kaero, Mesir.
[9] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.181.
[10] Ahkamu al-Quran, Ibnu al-Arabi, IV/29; Majma’u az-Zawaid, VI/39
[11] Lihat al-Ma’arif, Ibnu Qutaibah, hal.74;Shubhu al-A’sya,III/255; Sirah Ibnu Katsir, IV/493, terbitan Beirut.
[12] Lihat al-ahkam as-Shultaniyah. Al-mawardi hal.6-7; Abu Ya’la, hal. 26; Ma’atsaru al-Inafah Fi Ma’alimi al-khilafah, I/42-44; Al-Mawaqif, VIII/353; Al-Irsyad, al-Juwaini, hal.425; Mughni al-Muhtaj, IV/130-131;Nihayatu al-Muhtaj IIa Syarhi al-Minhaj, VII/390;Ghoyatu al-Marami, al-amidi, hal. 381.
[13] Lihat al-Ahkam as-Sulthaniyah, Abi Ya’la, hal. 5,6 dan 26
[14] Al-Fashlu FI Al-Milal wa-al-Ahwa’ wa an-Nihal, IV/167
[15] Al-Farqu  Baina al-Firaq, Al-Baghdadi, hal. 211
[16] Al-ahkam as-shuitaniyah, al-mawardi, hal.6 lihat syarat yang sama dalam al-ahkam as-shutaniyah, Abi Ya’la, hal 19. Lihat juga al-Mughni Fi Abwabi at-Tauhid wa al-‘Adi, XX/252.
[17] Lihat Maqalat al-Islamiyin, II/133 (tidak dinisbatkan kepada seorang pun diantara ulama’)
[18] Ma’atsaru al-inafah , al-Qaqasyandi, I/42-44 (yang menetapkan hal yang demikian)
[19] Shubhu al-A’sya, IX/315
[20] Al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi, hal.10
[21] Lihat masalah itu dalam: al-Ahkam as-Sulthaniyah, Abu Ya’la, hal.23-24;Ma’tsaru al-Inafah fi Ma’alimi al-Khilafah, I/58;Muntaha al-Iradat, II/494-495

No comments:

Post a Comment