My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Politik Islam Orde Baru


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada memang efektif
dan berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh warga negara yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa, legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan politik di dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi peluang yang cukup besar kepada hukum.
Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7%, namun keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana politik Islam orde baru tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui politik Islam orde baru.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik Islam Orrde Baru, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zaman Orde Baru
            Para tokoh Masyumi menganggap bahwa pengharaman Masyumi oleh Soekarno melanggar undang-undang. Menurut mereka, tidak ada bukti bahwa Masyumi sebagai pendiri terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) Permesta. Namun disebabkan kekhawatiran kerajaan Orde Baru atas kejayaan Masyumi pada masa lalu yang akan memunculkan kembali kekacauan politik akibat krisis ideologi, akhirnya pendiri semula Masyumi tidak dibenarkan.[1] Setelah berjaya menggagalkan harapan umat Islam untuk mendirikan semula partai Masyumi, kerajaan telah membuat langkah selanjutnya pada tahun 1978 dengan memasukkan Aliran Kepercayaan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
            Perjuangan awal politik umat Islam pada zaman Orde Baru dimulai dengan mendirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yaitu setelah usaha untuk mengaktifkan semula Masyumi tidak dibenarkan oleh kerajaan. Pada 7 Mei 1967, ditandatangani satu pengisytiharan penubuhan Partai Muslimin Indonesia yang disokong oleh 18 NGO Islam yang bergabung dalam Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM). Pada 6 Februari 1968, terbentuklah Komisi 7 (Komisi Penubuhan Parmusi) yang terdiri daripada K.H. Faqih Usman sebagai presiden, Agus Sudono sebagai setiausaha dan sebagai anggota oleh Hasan Basri, Anwar Haryono, E.Z. Muttaqien, Marzuki Yatim, dan Samsurijal. Dalam keputusan Presiden Nomor 70 pada 20 Februari 1968 tentang penubuhan Parti Muslimin Indonesia, presiden partai ialah Djarnawi Hadikusumo dengan setiausahanya Drs. H. Lukman Harun.[2] Dengan kebenaran tersebut akan tergambar bahwa penguasa Orde Baru tidak berkesan menghalang umat Islam berpolitik sesuai dengan aspirasinya. Secara garis besarnya, Parmusi tidak dapat menyatukan politik umat Islam dan hal ini terbukti dengan perolehan suara yang sedikit dalam pilihanraya pertama Orde Baru pada tahun 1971 di mana Golkar sebagai partai baru yang didukung kerajaan memenangi pilihan raya tersebut. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah sebuah partai politik yang ditubuhkan pada awal masa Orde Baru dan merupakan perpaduan dari empat buah parti Islam yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Pertai).[3] H.M.S. dilantik sebagai Presiden parti. PPP adalah parti politik Islam yang sememangnya didirikan oleh kerajaan.
Perjuangan politik melalui pilihan raya dengan tujuan meraih kekuasaan adalah tujuan utama parti-parti politik termasuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Oleh itu, dalam menghadapi pilihan raya para juru bicara Parti Persatuan Pembangunan berusaha berkompeni bersungguh-sungguh untuk partai tersebut. Sejak permulaan berkompeni, para tokoh partai sudah memahami dan memanfaatkan isu agama “Islam” sebagai satu-satunya cara yang dapat menjalinkan ikatan antara massa dengan partinya. Ini adalah sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Bisjni Sjamsuni sebagai Ketua Umum PPP ketika berkempen di mana beliau mengatakan:[4]
                                ...menjadi teranglah kiranya, bahwa perjuangan
Partai Persatuan Pembangunan termasuk jihad fi
sabilillah atau berjuang di jalan Allah. Oleh
kerana itu, wajib hukumnya bagi setiap peserta
pilihan raya 1977 dan kalangan umat Islam lelaki
maupun perempuan, terutamanya bagi
penyokong PPP, untuk turut menegakkan hukum
dan agama Allah dalam kehidupan bangsa kita,
dengan jalan memangkah tanda gambar PPP
pada waktunya nanti ... maka barangsiapa di
antara umat Islam yang menjadi pengundi tetapi
tidak memangkah PPP, adalah termasuk orang
yang meninggalkan hukum Allah S.W.T.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berjaya membahas isu-isu agama yang menjadi topik utama dalam setiap kampanyenya hingga menarik ramai umat Islam untuk menyokong partai tersebut. Selama berlangsungnya kampanye, PPP mengangkat cogankata-cogankata menunjukkan simbol-simbol keislaman seperti “Islam agamaku, Ka’bah kiblatku dan PPP pilihanku. Pada pilihan raya 1977 itu telah menunjukkan hasil yang gemilang bagi PPP. Walaupun PPP tidak menjadi pemenang tetapi pencapaiannya telah membuatkan kerajaan merasa tercabar. Walaupun pada awalnya kerajaanlah yang menubuhkannya, tetapi dengan berjalannya massa, PPP berubah menjadi satu-satunya parti pembangkang yang banyak mencabar kerajaan sama ada melalui kempen-kempennya mahupun ketika di dalam parlimen.
Pada peringkat kenyataan politik, penampilan PPP dalam memperjuangkan Islam nampak bersungguh-sungguh. Di antara perjuangan politik PPP yang berjaya membuahkan hasil dan disahkan undang-undang ialah tentang pendidikan agama yang menjadi sukatan pelajaran sejak Tadika sehingga Institusi Perguruan Tinggi. PPP turut memberi sumbangan dalam meletakkan Mahkamah Syariah setaraf dengan Mahkamah Kerajaan. PPP juga berjaya mengenepikan segala bentuk perjudian yang telah beredar dalam masyarakat yang bernama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang kemudiannya menjadi permainan judi terakhir yang pernah dibuat oleh kerajaan. Pada mulanya PPP adalah satu-satunya parti pembangkang yang mendapat sokongan padu dari umat Islam untuk terus memperjuangkan aspirasinya. Sikap keras PPP telah membuatkan kerajaan merasa tercabar. Berbagai cara digunakan oleh kerajaan untuk melemahkan partai ini, salah satunya adalah menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Usaha kerajaan menjadikan asas Pancasila ke atas semua pertubuhan sama ada politik maupun bukan politik membuahkan hasil. PPP tidak terlepas dari polisi ini menyebabkan ia terpaksa merubah asas perjuangan partai yang dahulunya berasaskan Islam kepada asas Pancasila. Perubahan asas ini telah meletakkan PPP setaraf dengan dua partai lainnya yaitu Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan ini telah menyebabkan merudumnya sokongan dari umat Islam. Sejak pilihan raya 1987, perolehan undi PPP merosot dengan cepat.

B.     Kondisi Politik Era Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.  Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.[5]
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni Juli 1966 diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu:[6]
  1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama. 
  2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit“ rezim orde baru.  Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). 

  1. Partai Politik Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:[7]
a)      Sarana komunikasi politik;
b)      Sosialisasi politik;
c)      Sarana rekruitmen politik;
d)     Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama – sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide - ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda - beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk:[8]
a)      untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme);
b)      untuk mencerdaskan bangsa Indonesia;
c)      untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a)      Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b)      Pemerintahan Negara yang demokratis;
c)      Menentukan Undang - Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan – ketentuan dan norma - norma yang sesuai dengan nilai – nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing – masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:[9]
  1. Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal - hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
  2. Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik - partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak – hak asasi warga negara. Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
  1. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari  PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti.Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.   Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
  1. Islam Pada Masa Orde Baru
Orde Baru sebagai satu babakan sejarah dari mata rantai sejarah Indonesia tidaklah luput dari filosofi sejarah pada umumnya, yakni berada pada kisaran hukum refleksi, dan interaksi dialeksi. Ini berarti orde baru, di samping merupakan perwujudan aksi-reaksi masyarakat yang terawetkan terhadap problem aktual, memberikan getaran timbal balik pada kehidupan manusia dalam perspektif kulturalnya, juga merupakan antitesa terhadap sejarah yang mendahuluinya.[10]
Harus diakui Orde Baru telah melahirkan optimisme, pranata dan tawaran alternatif yang mempengaruhi struktur, pola kultur dan persepsi masyarakat dalam memandang masa depan negara, bangsa dan masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali dalam hal ini adalah institusi Islam dan persepsi umatnya dalam konteks upaya aktualisasi diri. Lahirnya orde Baru di pertengahan tahun 1966 yang kemudian mengidentifikasi diri nya sebagai orde pembangunan, telah membawa perubahan di hampir semua bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Dalam bidang politik, perubahan itu terjadi dengan adanya mekanisme perwujudan partisipasi politik rakyat dan penyegaran kepemimpinan nasional yang dimanifestasikan melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Berikutnya, pada tahun 1973 telah dilakukan penyederhanaan partai melalui fusi, dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam, NU, Permusi, PSII dan Perti; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI; Golongan Karya (Golkar). Tidak satupun dari ketiga parpol itu yang membawa nama agama atau ideologi kultural lainya. Bahkan satu-satunya partai yang mengusung Islam, PPP, harus merelakan identitas keislamannya hilang. Padahal identitas keislamannya itulah menjadi kekuatan PPP. Rekayasa partai politik ini diikuti juga dengan kebijaksanaan masa mengambang (floating mass) yang membatasi kegiatan politiknya di Daerah Tingkat II ke atas; dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi parpol (1983) dan Ormas (1985).
Pemerintah dengan semua rekayasanya itu adalah bagian penting dari apa yang disebut dengan birokratisasi, yakni keterlibatan pemerintah terhadap seluruh aktifitas rakyat. Hal ini sebenarnya merupakan suatu perwujudan dari obsesi pemerintah yang didominasi ABRI (sekarang berubah menjadi TNI dan POLRI) dalam rangka mewujudkan ketertiban dan stabilitas nasional sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan secara lancar dan penuh perhatian. Di awal kelahirannya, Orde Baru sangat menguntungkan Islam, karena muncul orde baru ini berarti telah melenyapkan orde lama dan gerakan Soekarnoisme yang didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang anti agama.
Kenyataannya dapat dicermati dengan banyaknya dukungan dari parpol-parpol, ormas-ormas Islam kepada Orde Baru. Meskipun demikian, tidak semua keinginan kelompok Islam dapat dikabulkan. Seperti diketahui, bahwa pada awal kelahiran Orde Baru, tokoh-tokoh Masyumi memperjuangkan agar tokoh-tokoh mereka yang masih ditahan Orde Lama segera dilepaskan dan Partai Masyumi sendiri direhabilitir, tetapi apa yang menjadi tuntutan itu tidak dapat dikabulkan. Demikian pula dengan Bung Hatta yang akan mendirikan Parta Demokrasi Islam. Sebagai jalan keluarnya dibentuklah Partai Muslimin Indonesia (Permusi) yang diharapkan dapat menjadi penjelmaan dari partai Masyumi yang telah dilarang. Namun pemerintah menginginkan agar partai tersebut menjadi partai baru yang tidak ada sangkut pautnya dengan partai Masyumi, bahkan para bekas tokoh-tokoh Masyumi pun tidak diperbolehkan memimpin partai baru tersebut.
Dalam Pemilu pertama sejak Orde Baru yang berlangsung pada tahun 1971, partai-partai Islam hanya mendapatkan suara sekitar 29% dan Perti hanya 0,7%. Sedangkan Golkar memperoleh suara 62,8%, PNI 6,4%, Perkindo dan Partai Katholik 2, 45%.[11] Kemudian dapat dicatat bahwa kelahiran PPP sebagai fusi dari Partai-Partai Islam pada tahun 1973 sebenarnya tidaklah sederhana. Fusi bukanlah ide dari pemimpin partai, melainkan berasal dari pemerintah. Dan meskipun para pemimpin partai dari keempat partai tersebut sudah bersepakat untuk meleburkan diri dalam sebuah partai yang disebut atau diberi nama PPP, namun latar belakang kulturalnya yang berbeda tetap menjadi faktor potensial bagi perpecahan, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa lalu, yakni ketika PSII yang kemudian disusul oleh NU memisahkan diri dari Masyumi. Ternyata kekompakan itu hanya bertahan sampai tahun 1973 sampai menjelang pemilu tahun 1982.
Pada gilirannya, sejarah telah membuktikan menjelang Pemilu tahun 1982 semakin nampak perbedaan yang tajam antara unsur-unsur dalam tubuh PPP semakin nampak. Faktor utama penyebabnya, karena J. Naro yang menggeser calon-calon dari unsur NU dalam daftar calon anggota DPR. Sikap yang membawa kekacauan dalam tubuh partai politik telah mengakibatkan berkurangnya jumlah kursi PPP di DPR yakni sebanyak 6 kursi dibandingkan dari jumlah kursi yang diperoleh pada tahun 1977 yang memperoleh 99 kursi. Sejak inilah PPP berada dalam posisi yang semakin tidak menentu dengan adanya sikap otoriter yang ditampilkan J. Naro terhadap setiap pimpinan partai yang berbeda dengannya. Bukan itu saja, sikap otoriter itu juga diterapkan terhadap mereka yang berasal dari unsur yang sama dengan dirinya (Permusi), bila perbedaan yang mereka munculkan. Sikap ini berdampak tidak menguntungkan partai, yang dapat dilihat dari hasil Pemilu tahun 1987 dengan perolehan PPP hanya 61 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi meskipun pada awalnya Orde Baru itu memberikan peluang dan posisi memungkinkan bagi umat Islam untuk memperkuat dan menentukan sikap politiknya, namun pada perjalanannya telah dikacaukan oleh munculnya ambisius kelompok dan pribadi. Makanya orientasi politik dan implementasinya oleh umat Islam telah menimbulkan konflik internal yang serius, sehingga menyudutkan umat yang mayoritas menjadi veriferian dalam percaturan pembangunan secara nasional.
  1. Politik Islam Pada Masa Orde Baru
Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas dikalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Karena merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan rezim Soekarno, mereka sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional.
Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar harapan mereka bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk merealisasikan harapan itu.
Rupanya harapan itu tinggal harapan, pemerintah Orde Baru keberatan atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke arena politik dan menolak rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan ketakutan-ketakutan bahwa jika Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik Indonesia akan mengulang pengalaman masa lalu, dimana Masyumi merupakan oposisi abadi dan penentang ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI (pendukung utama pemerintahan Orde baru) pada tanggal 21 Desember 1966 mengeluarkan pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI (ekstrim kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan ABRI akan menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang dari dokumen-dokumen tersebut.[12]
Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru mengesahkan pendirian Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah aspirasi politik umat Islam yang belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan Golkar, tetapi dengan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.
Yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, bahkan dilarang sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk membatasi gerak politik bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah melalui presiden Soeharto merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman Harun (dua aktivis Muhammadiyah) sebagai pemimpin Parmusi.
Di dalam perkembangan selanjutnya ternyata campur tangan pemerintah menjadi satu ciri khas partai ini, ketika kongresnya yang pertama di Malang memilih Mohammad Roem sebagai ketua partai ini yang akhirnya tidak disetujui oleh rezim. Rezim bisa mengganti pimpinannya kapan saja, sesuai dengan keperluannya guna memperlemah partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok “oportunis”, bahkan “penjilat” di dalam tubuh Islam.
Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok Islam, menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berpendapat bahwa untuk mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat membantu bekas pendukung, orang yang bersimpati atau anggota Masyumi untuk membentuk partai baru, Parmusi.
Dalam perjalanannya, pemerintah bagaimanapun membaca bahwa dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang tergabung dalam keluarga Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh kekhawatiran Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik J. Naro S.H. bersama Imran Kadir untuk melakukan pembajakan partai yaitu dengan menuduh Parmusi bersikap menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan pemerintah menunjuk HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru. Tindakan Naro selanjutnya berusaha menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik massa umat pendukungnya.
Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam mengalami tekanan berat dari rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik Golkar dan diback-up oleh ABRI menerapkan empat metode:[13]
1)      memberi peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosio-politik;
2)      memperlakukan Golkar sebagai anak emas;
3)      meluncurkan kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik; dan
4)      mengisi Badan Perwakilan negara dalam dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.
Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya ditentukan oleh militer dan pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa kecuali diharuskan menjadi anggota Sekber Golkar. Usaha lainnya adalah melalui militer dengan menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum.
Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam Pemilu ini dengan mengantongi 62,80% suara, karena relatif tidak terkena intervensi luar NU berada diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36 % suara, PSII 2,39 % suara dan Perti 0,70 % suara.[14]
Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu pertama memang telah membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan perancangan politik sesuai dengan yang diinginkannya karena Golkar bersama Golkar ABRI dan Golkar non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan mencapai angka 73,04 %.
Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; dan Golkar sendiri sebagai transformasi dari Sekber Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H. yang cacat bagi Ummat Islam, tampil sebagai salah seorang ketua PPP bersama Mintareja dan Idham Cholid.
Dengan adanya penggabungan partai ini, semakin mempermudah pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas politik PPP, apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik internal yang “mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”, antara NU dengan Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP yang berujung dengan keluarnya NU dari PPP (1984).
Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu 1977, PPP memperoleh 29,9% suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya dipandang tidak menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro dengan berbagai usaha kemudian dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil, dengan resiko yang harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan 1987, pendukung PPP menyusut tajam khususnya pada tahun 1987.
Menurut Liddle, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim, bahwa kebijakan Pemerintah dengan penggabungan partai ini dikarenakan :
a.       Partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program
b.      Partai-partai memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat baik pada tingkat elit ataupun massa
c.       Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam masyarakat
d.      Para pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari kesempatan untuk dirinya sendiri
e.       Pemimpin-pemimpin partai terasing dari para pemilih yang seharusnya mereka wakili
f.       Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak terjadi pada organisasi partai saja tetapi juga pada institusi-institusi lainnya
g.      Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan pemerintah berparlemen.
Dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan floatingmass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.







BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Perjuangan awal politik umat Islam pada zaman Orde Baru dimulai dengan mendirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yaitu setelah usaha untuk mengaktifkan semula Masyumi tidak dibenarkan oleh kerajaan. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni Juli 1966 diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas dikalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan floatingmass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.









DAFTAR PUSTAKA




[1] http://umrefjournal.um.edu/,  diakses 2 Desember 2014, 22:00.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[5] http://digilib.unm.ac.id/, diakses 3 Desember 2014, 10:34.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] http://e-dokumen.kemenag.go.id/, diakses pada 3 Desember 2014, 16:56.
[11] Ibid.
[12] http://repository.uinjkt.ac.id/, diakses pada 4 Desember, 11:07.
[13] Ibid.
[14] Ibid.

No comments:

Post a Comment