BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara
konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam pembangunan politik
adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi setiap perubahan
yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan infrastruktur politik yang
ada memang efektif
dan berfungsi secara optimal, yang
kesemuanya didukung oleh warga negara yang dinamis dan berada dalam naungan
persamaan hukum dan perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya
selalu akan menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri)
bangsa, legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut
pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau
keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu
permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan
politik di dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri,
kehidupan politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar
bingarnya demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh
sentralisasi kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah
memberi peluang yang cukup besar kepada hukum.
Secara umum
proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama
dan periode Orde Baru. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang
dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama
masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga
negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat pertumbuhan
ekonomi bahkan pernah mencapai 7%, namun keberhasilan itu hanya bersifat semu
karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang berakibat
timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
politik Islam orde baru tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui politik
Islam orde baru.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini
yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih
memahami mengenai Politik Islam Orrde
Baru, baik itu penjelasan, penguraian, serta
pengidentifikasian yang dapat di aplikasikan dalam proses
pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang
berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zaman
Orde Baru
Para tokoh Masyumi menganggap bahwa pengharaman Masyumi
oleh Soekarno melanggar undang-undang. Menurut mereka, tidak ada bukti bahwa
Masyumi sebagai pendiri terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) Permesta. Namun disebabkan kekhawatiran kerajaan Orde Baru atas
kejayaan Masyumi pada masa lalu yang akan memunculkan kembali kekacauan politik
akibat krisis ideologi, akhirnya pendiri semula Masyumi tidak dibenarkan.[1] Setelah berjaya
menggagalkan harapan umat Islam untuk mendirikan semula partai Masyumi,
kerajaan telah membuat langkah selanjutnya pada tahun 1978 dengan memasukkan
Aliran Kepercayaan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Perjuangan
awal politik umat Islam pada zaman Orde Baru dimulai dengan mendirikan Parmusi
(Partai Muslimin Indonesia) yaitu setelah usaha untuk mengaktifkan semula
Masyumi tidak dibenarkan oleh kerajaan. Pada 7 Mei 1967, ditandatangani satu
pengisytiharan penubuhan Partai Muslimin Indonesia yang disokong oleh 18 NGO
Islam yang bergabung dalam Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM). Pada 6
Februari 1968, terbentuklah Komisi 7 (Komisi Penubuhan Parmusi) yang terdiri
daripada K.H. Faqih Usman sebagai presiden, Agus Sudono sebagai setiausaha dan
sebagai anggota oleh Hasan Basri, Anwar Haryono, E.Z. Muttaqien, Marzuki Yatim,
dan Samsurijal. Dalam keputusan Presiden Nomor 70 pada 20 Februari 1968 tentang
penubuhan Parti Muslimin Indonesia, presiden partai ialah Djarnawi Hadikusumo
dengan setiausahanya Drs. H. Lukman Harun.[2] Dengan kebenaran tersebut
akan tergambar bahwa penguasa Orde Baru tidak berkesan menghalang umat Islam berpolitik
sesuai dengan aspirasinya. Secara garis besarnya, Parmusi tidak dapat menyatukan
politik umat Islam dan hal ini terbukti dengan perolehan suara yang sedikit
dalam pilihanraya pertama Orde Baru pada tahun 1971 di mana Golkar sebagai partai
baru yang didukung kerajaan memenangi pilihan raya tersebut. Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) adalah sebuah partai politik yang ditubuhkan pada awal masa
Orde Baru dan merupakan perpaduan dari empat buah parti Islam yaitu Nahdlatul
Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Pertai).[3] H.M.S. dilantik sebagai
Presiden parti. PPP adalah parti politik Islam yang sememangnya didirikan oleh
kerajaan.
Perjuangan
politik melalui pilihan raya dengan tujuan meraih kekuasaan adalah tujuan utama
parti-parti politik termasuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Oleh itu,
dalam menghadapi pilihan raya para juru bicara Parti Persatuan Pembangunan
berusaha berkompeni bersungguh-sungguh untuk partai tersebut. Sejak permulaan
berkompeni, para tokoh partai sudah memahami dan memanfaatkan isu agama “Islam”
sebagai satu-satunya cara yang dapat menjalinkan ikatan antara massa dengan
partinya. Ini adalah sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Bisjni
Sjamsuni sebagai Ketua Umum PPP ketika berkempen di mana beliau mengatakan:[4]
...menjadi
teranglah kiranya, bahwa perjuangan
Partai Persatuan Pembangunan termasuk jihad fi
sabilillah atau berjuang di jalan Allah. Oleh
kerana itu, wajib hukumnya bagi setiap peserta
pilihan raya 1977 dan kalangan umat Islam lelaki
maupun perempuan, terutamanya bagi
penyokong PPP, untuk turut menegakkan hukum
dan agama Allah dalam kehidupan bangsa kita,
dengan jalan memangkah tanda gambar PPP
pada waktunya nanti ... maka barangsiapa di
antara umat Islam yang menjadi pengundi tetapi
tidak
memangkah PPP, adalah termasuk orang
yang meninggalkan hukum Allah S.W.T.
Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) berjaya membahas isu-isu agama yang menjadi topik utama dalam
setiap kampanyenya hingga menarik ramai umat Islam untuk menyokong partai
tersebut. Selama
berlangsungnya kampanye, PPP mengangkat
cogankata-cogankata menunjukkan simbol-simbol
keislaman seperti “Islam agamaku, Ka’bah
kiblatku dan PPP pilihanku. Pada pilihan raya 1977 itu telah menunjukkan hasil yang gemilang bagi PPP. Walaupun
PPP tidak menjadi pemenang tetapi
pencapaiannya telah membuatkan kerajaan merasa
tercabar. Walaupun pada awalnya kerajaanlah yang menubuhkannya, tetapi dengan berjalannya massa, PPP berubah menjadi satu-satunya parti pembangkang yang banyak mencabar
kerajaan sama ada melalui kempen-kempennya mahupun
ketika di dalam parlimen.
Pada peringkat
kenyataan politik, penampilan PPP dalam memperjuangkan Islam nampak
bersungguh-sungguh. Di antara perjuangan politik PPP yang berjaya membuahkan hasil dan
disahkan undang-undang ialah tentang pendidikan agama
yang menjadi sukatan pelajaran sejak Tadika
sehingga Institusi Perguruan Tinggi. PPP turut memberi sumbangan dalam meletakkan Mahkamah Syariah setaraf dengan Mahkamah Kerajaan. PPP juga berjaya
mengenepikan segala bentuk perjudian yang telah beredar dalam masyarakat yang bernama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah
(SDSB) yang kemudiannya menjadi permainan judi terakhir
yang pernah dibuat oleh kerajaan. Pada mulanya
PPP adalah satu-satunya parti pembangkang yang
mendapat sokongan padu dari umat Islam untuk terus memperjuangkan
aspirasinya. Sikap keras PPP telah membuatkan kerajaan
merasa tercabar. Berbagai cara digunakan oleh kerajaan
untuk melemahkan partai ini, salah satunya adalah menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Usaha kerajaan
menjadikan asas Pancasila ke atas semua
pertubuhan sama ada politik maupun bukan politik
membuahkan hasil. PPP tidak terlepas dari polisi ini menyebabkan
ia terpaksa merubah asas perjuangan partai yang dahulunya
berasaskan Islam kepada asas Pancasila. Perubahan asas
ini telah meletakkan PPP setaraf dengan dua partai lainnya yaitu Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan ini
telah menyebabkan merudumnya sokongan dari
umat Islam. Sejak pilihan raya 1987, perolehan
undi PPP merosot dengan cepat.
B.
Kondisi
Politik Era Orde Baru
Peristiwa yang
lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai
pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden
Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada
Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan
negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian
wewenang kepada Soeharto secara penuh.[5]
Orde Baru
dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni Juli 1966 diantara
ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan
melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul
PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas
PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan
ke pulau Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada
dua macam konsensus nasional, yaitu:[6]
- Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
- Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum,
elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara
lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian
dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki
kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil
konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan
TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional
itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap
partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota
bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu.
Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis
massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali
partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin
dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam
kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan
sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971
partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai
politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu
kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya
Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan
kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan
perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam
front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang
dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI,
KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit“ rezim orde baru. Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide
penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan
karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan
ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang
aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional,
spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi)
sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-Undang No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini
berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997).
- Partai Politik Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Melihat
sejarah sepanjang Orde Lama sampai
Orde Baru partai politik mempunyai peran
dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan
politik sekelompok elite yang berkuasa,
sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan
dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya
para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi
partai politik, menurut Miriam
Budiardjo meliputi:[7]
a) Sarana
komunikasi politik;
b) Sosialisasi
politik;
c) Sarana
rekruitmen politik;
d) Pengatur
konflik.
Keempat
fungsi tersebut sama – sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya
mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide -
ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan
kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga
berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi
pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin
Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan
menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda - beda. Disamping itu, partai
politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa
suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara
konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan
mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan
digunakan dalam suatu pemerintahan.
Dengan
demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan
untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak
dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di
Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan
bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat
bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk:[8]
a) untuk
menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada
umumnya (kolonialisme dan imperialisme);
b) untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia;
c) untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk
melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a) Kemerdekaan
di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b) Pemerintahan
Negara yang demokratis;
c) Menentukan
Undang - Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan – ketentuan dan norma - norma
yang sesuai dengan nilai – nilai sosialistis
paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari
perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat
dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing – masing
organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:[9]
- Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal - hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
- Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian,
keberadaan partai politik - partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan
pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum.
Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan
umum di Indonesia, antara lain: pertama,
memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi
sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga,
untuk melaksanakan hak – hak asasi warga negara. Dengan demikian, antara partai
politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama.
Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan
dan mengisi.
- Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap
partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan
aspirasinya maka didirikannyalah
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari
Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai
Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti.Serta ada
suatu kelompok fungsional yang
dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, pada akhirnya
dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan
Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada
masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2
parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan
Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat
itu.
- Islam Pada Masa Orde Baru
Orde Baru sebagai satu babakan
sejarah dari mata rantai sejarah Indonesia tidaklah luput dari filosofi sejarah
pada umumnya, yakni berada pada kisaran hukum refleksi, dan interaksi dialeksi.
Ini berarti orde baru, di samping merupakan perwujudan aksi-reaksi masyarakat
yang terawetkan terhadap problem aktual, memberikan getaran timbal balik pada
kehidupan manusia dalam perspektif kulturalnya, juga merupakan antitesa
terhadap sejarah yang mendahuluinya.[10]
Harus diakui Orde Baru telah
melahirkan optimisme, pranata dan tawaran alternatif yang mempengaruhi
struktur, pola kultur dan persepsi masyarakat dalam memandang masa depan
negara, bangsa dan masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali dalam hal ini adalah
institusi Islam dan persepsi umatnya dalam konteks upaya aktualisasi diri.
Lahirnya orde Baru di pertengahan tahun 1966 yang kemudian mengidentifikasi
diri nya sebagai orde pembangunan, telah membawa perubahan di hampir semua
bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Dalam bidang politik, perubahan itu
terjadi dengan adanya mekanisme perwujudan partisipasi politik rakyat dan
penyegaran kepemimpinan nasional yang dimanifestasikan melalui pemilihan umum setiap
lima tahun sekali. Berikutnya, pada tahun 1973 telah dilakukan penyederhanaan
partai melalui fusi, dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam, NU,
Permusi, PSII dan Perti; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari PNI,
Parkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI; Golongan Karya (Golkar). Tidak
satupun dari ketiga parpol itu yang membawa nama agama atau ideologi kultural
lainya. Bahkan satu-satunya partai yang mengusung Islam, PPP, harus merelakan
identitas keislamannya hilang. Padahal identitas keislamannya itulah menjadi
kekuatan PPP. Rekayasa partai politik ini diikuti juga dengan kebijaksanaan
masa mengambang (floating mass) yang membatasi kegiatan politiknya di Daerah
Tingkat II ke atas; dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi
parpol (1983) dan Ormas (1985).
Pemerintah dengan semua rekayasanya itu
adalah bagian penting dari apa yang disebut dengan birokratisasi, yakni
keterlibatan pemerintah terhadap seluruh aktifitas rakyat. Hal ini sebenarnya
merupakan suatu perwujudan dari obsesi pemerintah yang didominasi ABRI
(sekarang berubah menjadi TNI dan POLRI) dalam rangka mewujudkan ketertiban dan
stabilitas nasional sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan secara
lancar dan penuh perhatian. Di awal kelahirannya, Orde Baru sangat
menguntungkan Islam, karena muncul orde baru ini berarti telah melenyapkan orde
lama dan gerakan Soekarnoisme yang didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)
sebagai partai yang anti agama.
Kenyataannya dapat dicermati dengan
banyaknya dukungan dari parpol-parpol, ormas-ormas Islam kepada Orde Baru.
Meskipun demikian, tidak semua keinginan kelompok Islam dapat dikabulkan.
Seperti diketahui, bahwa pada awal kelahiran Orde Baru, tokoh-tokoh Masyumi
memperjuangkan agar tokoh-tokoh mereka yang masih ditahan Orde Lama segera
dilepaskan dan Partai Masyumi sendiri direhabilitir, tetapi apa yang menjadi
tuntutan itu tidak dapat dikabulkan. Demikian pula dengan Bung Hatta yang akan
mendirikan Parta Demokrasi Islam. Sebagai jalan keluarnya dibentuklah Partai
Muslimin Indonesia (Permusi) yang diharapkan dapat menjadi penjelmaan dari
partai Masyumi yang telah dilarang. Namun pemerintah menginginkan agar partai tersebut
menjadi partai baru yang tidak ada sangkut pautnya dengan partai Masyumi,
bahkan para bekas tokoh-tokoh Masyumi pun tidak diperbolehkan memimpin partai
baru tersebut.
Dalam Pemilu pertama sejak Orde Baru yang
berlangsung pada tahun 1971, partai-partai Islam hanya mendapatkan suara
sekitar 29% dan Perti hanya 0,7%. Sedangkan Golkar memperoleh suara 62,8%, PNI
6,4%, Perkindo dan Partai Katholik 2, 45%.[11] Kemudian dapat dicatat
bahwa kelahiran PPP sebagai fusi dari Partai-Partai Islam pada tahun 1973
sebenarnya tidaklah sederhana. Fusi bukanlah ide dari pemimpin partai,
melainkan berasal dari pemerintah. Dan meskipun para pemimpin partai dari
keempat partai tersebut sudah bersepakat untuk meleburkan diri dalam sebuah
partai yang disebut atau diberi nama PPP, namun latar belakang kulturalnya yang
berbeda tetap menjadi faktor potensial bagi perpecahan, sebagaimana yang pernah
terjadi pada masa lalu, yakni ketika PSII yang kemudian disusul oleh NU
memisahkan diri dari Masyumi. Ternyata kekompakan itu hanya bertahan sampai
tahun 1973 sampai menjelang pemilu tahun 1982.
Pada gilirannya, sejarah telah membuktikan
menjelang Pemilu tahun 1982 semakin nampak perbedaan yang tajam antara
unsur-unsur dalam tubuh PPP semakin nampak. Faktor utama penyebabnya, karena J.
Naro yang menggeser calon-calon dari unsur NU dalam daftar calon anggota DPR.
Sikap yang membawa kekacauan dalam tubuh partai politik telah mengakibatkan
berkurangnya jumlah kursi PPP di DPR yakni sebanyak 6 kursi dibandingkan dari
jumlah kursi yang diperoleh pada tahun 1977 yang memperoleh 99 kursi. Sejak
inilah PPP berada dalam posisi yang semakin tidak menentu dengan adanya sikap
otoriter yang ditampilkan J. Naro terhadap setiap pimpinan partai yang berbeda
dengannya. Bukan itu saja, sikap otoriter itu juga diterapkan terhadap mereka
yang berasal dari unsur yang sama dengan dirinya (Permusi), bila perbedaan yang
mereka munculkan. Sikap ini berdampak tidak menguntungkan partai, yang dapat
dilihat dari hasil Pemilu tahun 1987 dengan perolehan PPP hanya 61 kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi meskipun pada awalnya Orde Baru itu
memberikan peluang dan posisi memungkinkan bagi umat Islam untuk memperkuat dan
menentukan sikap politiknya, namun pada perjalanannya telah dikacaukan oleh
munculnya ambisius kelompok dan pribadi. Makanya orientasi politik dan
implementasinya oleh umat Islam telah menimbulkan konflik internal yang serius,
sehingga menyudutkan umat yang mayoritas menjadi veriferian dalam percaturan
pembangunan secara nasional.
- Politik Islam Pada Masa Orde Baru
Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru
banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu
terutama tampak jelas dikalangan bekas pemimpin Masyumi dan
pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar
disudutkan. Karena merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi
(seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar, organisasi
sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil menghancurkan PKI dan
menjatuhkan rezim Soekarno, mereka sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam
panggung diskursus politik nasional.
Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan
bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar
harapan mereka bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh
karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin
didirikan untuk merealisasikan harapan itu.
Rupanya harapan itu tinggal harapan,
pemerintah Orde Baru keberatan atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke
arena politik dan menolak rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan
ketakutan-ketakutan bahwa jika Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik
Indonesia akan mengulang pengalaman masa lalu, dimana Masyumi merupakan oposisi
abadi dan penentang ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI
(pendukung utama pemerintahan Orde baru) pada tanggal 21 Desember 1966
mengeluarkan pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI
(ekstrim kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan ABRI
akan menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang dari dokumen-dokumen
tersebut.[12]
Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru
mengesahkan pendirian Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah
aspirasi politik umat Islam yang belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan
Golkar, tetapi dengan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.
Yang lebih menggelisahkan para pemimpin
Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat
dibatasi, bahkan dilarang sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk
membatasi gerak politik bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah melalui
presiden Soeharto merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman Harun (dua aktivis
Muhammadiyah) sebagai pemimpin Parmusi.
Di dalam
perkembangan selanjutnya ternyata campur tangan pemerintah menjadi satu ciri
khas partai ini, ketika kongresnya yang pertama di Malang memilih Mohammad Roem
sebagai ketua partai ini yang akhirnya tidak disetujui oleh rezim. Rezim bisa
mengganti pimpinannya kapan saja, sesuai dengan keperluannya guna memperlemah
partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok “oportunis”, bahkan “penjilat” di
dalam tubuh Islam.
Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya
berdasarkan kelompok Islam, menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Rusli
Karim berpendapat bahwa untuk mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat
membantu bekas pendukung, orang yang bersimpati atau anggota Masyumi untuk
membentuk partai baru, Parmusi.
Dalam perjalanannya, pemerintah
bagaimanapun membaca bahwa dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang
tergabung dalam keluarga Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh
kekhawatiran Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai
dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara serempak,
pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik J.
Naro S.H. bersama Imran Kadir untuk melakukan pembajakan partai yaitu dengan
menuduh Parmusi bersikap menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan
pemerintah menunjuk HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru. Tindakan Naro
selanjutnya berusaha menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik
massa umat pendukungnya.
Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam
mengalami tekanan berat dari rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik
Golkar dan diback-up oleh ABRI menerapkan empat metode:[13]
1)
memberi
peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi
juga kekuatan sosio-politik;
2)
memperlakukan
Golkar sebagai anak emas;
3)
meluncurkan
kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik; dan
4)
mengisi
Badan Perwakilan negara dalam dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari
atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.
Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk
memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua
pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya ditentukan
oleh militer dan pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa kecuali
diharuskan menjadi anggota Sekber Golkar. Usaha lainnya adalah melalui militer
dengan menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi
hasil pemilihan umum.
Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam
Pemilu ini dengan mengantongi 62,80% suara, karena relatif tidak terkena
intervensi luar NU berada diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36
% suara, PSII 2,39 % suara dan Perti 0,70 % suara.[14]
Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu
pertama memang telah membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan
perancangan politik sesuai dengan yang diinginkannya karena Golkar bersama
Golkar ABRI dan Golkar non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan
mencapai angka 73,04 %.
Didorong oleh kemenangan besar Golkar,
pemerintah melalui Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan
partai politik, yaitu dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971
untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; dan Golkar
sendiri sebagai transformasi dari Sekber Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H.
yang cacat bagi Ummat Islam, tampil sebagai salah seorang ketua PPP bersama
Mintareja dan Idham Cholid.
Dengan adanya penggabungan partai ini,
semakin mempermudah pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas
politik PPP, apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik
internal yang “mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”, antara NU
dengan Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP yang berujung dengan
keluarnya NU dari PPP (1984).
Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu
1977, PPP memperoleh 29,9% suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya
dipandang tidak menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro dengan berbagai usaha
kemudian dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil, dengan
resiko yang harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan 1987, pendukung PPP
menyusut tajam khususnya pada tahun 1987.
Menurut Liddle, sebagaimana dikutip oleh
Rusli Karim, bahwa kebijakan Pemerintah dengan penggabungan partai ini
dikarenakan :
a.
Partai-partai
lebih berorientasi ideologi daripada program
b.
Partai-partai
memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat baik pada tingkat elit
ataupun massa
c.
Partai-partai
menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam masyarakat
d.
Para
pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari kesempatan untuk
dirinya sendiri
e.
Pemimpin-pemimpin
partai terasing dari para pemilih yang seharusnya mereka wakili
f.
Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak
terjadi pada organisasi partai saja tetapi juga pada institusi-institusi
lainnya
g.
Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama
ketidakstabilan pemerintah berparlemen.
Dapat
dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan
deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan floatingmass,
restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan partai
melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah
dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Perjuangan
awal politik umat Islam pada zaman Orde Baru dimulai dengan mendirikan Parmusi
(Partai Muslimin Indonesia) yaitu setelah usaha untuk mengaktifkan semula
Masyumi tidak dibenarkan oleh kerajaan. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah
sidang MPRS yang berlangsung pada Juni Juli 1966 diantara ketetapan yang
dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI
berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Dengan naiknya
pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam
berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas dikalangan bekas pemimpin
Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa
benar-benar disudutkan. Dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde
Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan
kebijakan floatingmass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah
para pimpinan partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai
di tingkat bawah dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat
kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
http://umrefjournal.um.edu/, diakses 2 Desember 2014, 22:00.
[2]
Ibid.
[3] Ibid.
[4]
http://umrefjournal.um.edu/, Ibid.
[5]
http://digilib.unm.ac.id/, diakses 3
Desember 2014, 10:34.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10]
http://e-dokumen.kemenag.go.id/,
diakses pada 3 Desember 2014, 16:56.
[11] Ibid.
[12] http://repository.uinjkt.ac.id/,
diakses pada 4 Desember, 11:07.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid.
No comments:
Post a Comment