My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah Politik Islam Orde Lama


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman  yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Mahfud MD, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk - produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana politik Islam orde lama tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui politik Islam orde lama.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik Islam orde lama, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zaman Orde Lama
            Hampir sepanjang penjajahan Belanda selama 350 di tanah pendudukan tidak pernah sunyi dari penentangan fizikal umat Islam yang telah mengorbankan beribu-ribu pejuang. Selain dengan penentangan fizikal, dalam perjuangan ini tumbuh pula institusi-institusi baru dengan menggunakan pertubuhan moden yang di dalam sejarah politik Indonesia dinamakan pergerakan kemerdekaan dengan tujuan membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Pergerakan berbentuk pertubuhan moden ini mulai tumbuh pada permulaan abad XX.[1]
Syarikat Dagang Islam ditubuhkan pada tahun 1905 yangkemudian menjadi Parti Syarikat Islam.  Pertubuhan ini tercatat dalam sejarah moden Indonesia sebagai pertubuhan pergerakan Islam pertama mendahului pertubuhan Boedi Oetomo yang ditubuhkan pada tahun 1911, Muhammadiyah ditubuhkan pada 18 November 1912 di Yogyakarta 1926 dan lain-lain.
Sejak tahun 1945, sebahagian besar tokoh Islam berusaha menjadikan Islam sebagai dasar bernegara. Hal itu dapat ditelusuri perjuangan mereka di dalam parlimen dengan berjaya merumuskan Piagam Jakarta. Dalam pelbagai perspektif pemikiran politik kenegaraan, masalah konsep Piagam Jakarta sering menjadi rujukan yang diketengahkan sebagai tema utama dalam usahanya meraih sokongan umat Islam, sejak kemerdekaan sehingga era reformasi. Pemansuhan tujuh kata tersebut merupakan permulaan kekalahan ahli politik Islam terhadap kumpulan intelektual sekular, yang untuk beberapa tahun ke depan menguasai sistem politik di Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno.
Kerajaan Indonesia mengeluarkan peraturan Maklumat Nombor 10 tarikh 16 Oktober 1945, kemudian disusuli dengan Maklumat tarikh 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Naib Presiden Mohammad Hatta, isinya adalah gesaan kerajaan untuk menubuhkan parti-parti politik. Latar belakang penubuhan parti tersebut adalah usaha kerajaan untuk membina pandangan antara bangsa bahwa kerajaan Indonesia yang diisytiharkan mendapat sokongan secara meluas, dibuktikan dengan adanya parti-parti politik yang menyokong kerajaan baru tersebut.[2]

B.     Kondisi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah - masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma - norma ideal yang benar, tetapi masalah - masalah praktis politik yang mengandung realitas - realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan - kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[3]
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1.      Gerakan separatis pada tahun 1957,
2.      Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960 - 1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran – pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.[4]
  1. Partai Politik Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:[5]
a)      Sarana komunikasi politik;
b)      Sosialisasi politik;
c)      Sarana rekruitmen politik;
d)     Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama – sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide - ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda - beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk:[6]
a)      untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme);
b)      untuk mencerdaskan bangsa Indonesia;
c)      untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a)      Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b)      Pemerintahan Negara yang demokratis;
c)      Menentukan Undang - Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan – ketentuan dan norma - norma yang sesuai dengan nilai – nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing – masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:[7]
  1. Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal - hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
  2. Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik - partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak – hak asasi warga negara. Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
  1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.  Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai - partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor."

  1. Politik Islam di Era Orde Lama (1959-1966)
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya era baru politik Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekrit, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang beragam dari kalangan partai Islam. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi Terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember 1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar penyangganya.
Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.
Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menjelaskan butir-butir pokok Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori :
  1. Orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan Negara.
  2. Tiap-tiap orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara. Dua kategori ini menjelaskan sasaran yang hendak dicapai oleh sistem itu.

  1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin. Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.
Demokrasi Terpimpin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi. Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno

  1. Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini. Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam Indonesia.
Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori Sukarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“ atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama masyumi, tidaklah hidup pada masa Demokrasi Terpimpin.
Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya.
Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik   berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.
Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali. Antara keduannya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.



H.    Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama
Dalam  periode  Orde Lama, tampaknya  peran  umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar : pertama,  peran umat  Islam  yang  bersikap  kritis  kepada  negara  yang diwakili  oleh  Masyumi;  kedua, peran  umat  Islam  yang bersikap akomodatif kepada negara yang diwakili oleh  NU; ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran  (di luar pagar sampai memberontak) yang diwakili oleh gerakan DI/TII.
Sehingga  dalam  posisi  ini  Douglas   Ramage, memberikan  makna  yang  khas,  bahwa  Umat  Islam  lebih disosokkan  sebagai  ancaman. Dalam  pandangannya,  Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.
Umat Islam membentuk Kogalam  (Komando Kesiapsiagaan Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan Negara komunis.  Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia.  Dengan adanya  Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orderbownya dibubarkan, ajaran Komunisme -Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia.








BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.












DAFTAR PUSTAKA




[1] http://umrefjournal.um.edu/,  diakses 23 November 2014, 20:56.
[2] Ibid.
[3] http://digilib.unm.ac.id/, diakses 23 November 2014, 20:59.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.

No comments:

Post a Comment