BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa
Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan
dan ancaman yang membahayakan perjuangan
bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai
hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama
yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah
Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang
merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih
terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional
berlandaskan ideologi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Mahfud
MD, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang
secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral,
yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia
berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk - produk
hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih
sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik
yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi
feodalisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
politik Islam orde lama tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui politik
Islam orde lama.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini
yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih
memahami mengenai Politik Islam orde
lama, baik itu penjelasan, penguraian, serta
pengidentifikasian yang dapat di aplikasikan dalam proses
pembelajaran sehari- hari.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang
berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zaman
Orde Lama
Hampir sepanjang penjajahan Belanda selama 350 di tanah
pendudukan tidak pernah sunyi dari penentangan
fizikal umat Islam yang telah mengorbankan
beribu-ribu pejuang. Selain dengan penentangan
fizikal, dalam perjuangan ini tumbuh pula institusi-institusi baru dengan menggunakan pertubuhan
moden yang di dalam sejarah politik Indonesia dinamakan
pergerakan kemerdekaan dengan tujuan membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Pergerakan
berbentuk pertubuhan moden ini mulai tumbuh pada
permulaan abad XX.[1]
Syarikat Dagang
Islam ditubuhkan pada tahun 1905 yangkemudian menjadi Parti Syarikat Islam. Pertubuhan ini tercatat dalam sejarah moden Indonesia sebagai pertubuhan pergerakan
Islam pertama mendahului pertubuhan Boedi
Oetomo yang ditubuhkan pada tahun 1911,
Muhammadiyah ditubuhkan pada 18 November 1912
di Yogyakarta 1926 dan lain-lain.
Sejak tahun 1945, sebahagian
besar tokoh Islam berusaha menjadikan Islam sebagai dasar bernegara. Hal itu
dapat ditelusuri perjuangan mereka di dalam parlimen dengan berjaya merumuskan Piagam
Jakarta. Dalam pelbagai perspektif pemikiran politik kenegaraan, masalah konsep
Piagam Jakarta sering menjadi rujukan yang diketengahkan sebagai tema utama
dalam usahanya meraih sokongan umat Islam, sejak kemerdekaan sehingga era
reformasi. Pemansuhan tujuh kata tersebut merupakan permulaan kekalahan ahli
politik Islam terhadap kumpulan intelektual sekular, yang untuk beberapa tahun ke
depan menguasai sistem politik di Indonesia di bawah pimpinan Presiden
Soekarno.
Kerajaan Indonesia
mengeluarkan peraturan Maklumat Nombor 10 tarikh 16 Oktober 1945, kemudian
disusuli dengan Maklumat tarikh 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Naib Presiden
Mohammad Hatta, isinya adalah gesaan kerajaan untuk menubuhkan parti-parti
politik. Latar belakang penubuhan parti tersebut adalah usaha kerajaan untuk
membina pandangan antara bangsa bahwa kerajaan Indonesia yang diisytiharkan mendapat
sokongan secara meluas, dibuktikan dengan adanya parti-parti politik yang menyokong
kerajaan baru tersebut.[2]
B.
Kondisi
Politik Era Orde Lama
Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya
pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun
1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali
UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS.
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah
gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa ini Soekarno memakai sistem
demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli
1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut
UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan”
sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan
struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem
“Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai
oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah - masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma - norma ideal yang benar, tetapi masalah
- masalah praktis politik yang mengandung realitas - realitas objektif serta mengandung
pula kemungkinan - kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara
normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai
suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi
Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan
“excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara
berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu
kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi
yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[3]
Sistem
“Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai
politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung
hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental
(1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI,
NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem
catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus
kita bayar tingggi berupa:
1. Gerakan
separatis pada tahun 1957,
2. Konflik
ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam.
Oleh
karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah
mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang
Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis
Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan
oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan
salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960 - 1965, yang sebenarnya
juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah
memberikan pelajaran – pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar
dengan biaya tinggi.[4]
- Partai Politik Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Melihat
sejarah sepanjang Orde Lama sampai
Orde Baru partai politik mempunyai peran
dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan
politik sekelompok elite yang berkuasa,
sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan
dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya
para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi
partai politik, menurut Miriam
Budiardjo meliputi:[5]
a) Sarana
komunikasi politik;
b) Sosialisasi
politik;
c) Sarana
rekruitmen politik;
d) Pengatur
konflik.
Keempat
fungsi tersebut sama – sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya
mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide - ide
diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan.
Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan
ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta
sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur
konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda -
beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan,
dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara
konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai
dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan
dalam suatu pemerintahan.
Dengan
demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan
untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak
dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa
dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa
keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk:[6]
a) untuk
menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada
umumnya (kolonialisme dan imperialisme);
b) untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia;
c) untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk
melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a) Kemerdekaan
di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b) Pemerintahan
Negara yang demokratis;
c) Menentukan
Undang - Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan – ketentuan dan norma - norma
yang sesuai dengan nilai – nilai sosialistis
paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari
perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat
dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing – masing organisasi
politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:[7]
- Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal - hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
- Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian,
keberadaan partai politik - partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan
pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum.
Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan
umum di Indonesia, antara lain: pertama,
memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi
sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga,
untuk melaksanakan hak – hak asasi warga negara. Dengan demikian, antara partai
politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama.
Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan
dan mengisi.
- Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia
menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik.
Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945
dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan
demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga
terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan
Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang
pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai - partai. Kemudian pada tanggal 14
April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai
Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17
Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Dengan berkurangnya jumlah parpol
dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik
ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor."
- Politik Islam di Era Orde Lama (1959-1966)
Berakhirnya era demokrasi liberal
sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya era baru politik
Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat dianggap
sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekrit,
Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia
memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi
Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang beragam dari kalangan
partai Islam. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi Terpimpin yang berumur
hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember
1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965).
Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan
oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi
ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi
terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar
penyangganya.
Pada masa orde lama ini, kekuatan
politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu
terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab
sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan
Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.
Dalam pidatonya pada 17 Agustus
1959, Presiden Soekarno menjelaskan butir-butir pokok Demokrasi Terpimpin dalam
dua kategori :
- Orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan Negara.
- Tiap-tiap orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara. Dua kategori ini menjelaskan sasaran yang hendak dicapai oleh sistem itu.
- Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam
sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat
Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak
politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai
Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki
keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan
Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan
keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi
merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU
sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah
dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang
berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi
Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Dengan tampilnya NU sebagai partai
politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat partai yaitu Masyumi,
PSII, NU, dan Perti.
Pada awal Demokrasi Parlementer,
Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir
dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim
(tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai
sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur
Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili,
sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun
1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam
kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya
menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi
yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri
agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan
digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan
kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu
prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada
tahun 1955.
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5
Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan
definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi
Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan atau perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno
menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa
anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan
demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya
kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’
yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer
berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli
mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai
tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin. Soekarno memilih
Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya
Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa
Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal
dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI
turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli
1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan
Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga
diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya,
Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan
presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.
Demokrasi Terpimpin pemusatan
kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi
politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti
diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha
menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak
selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno
merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai
musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan
kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno
membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan
Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR
dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika
diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak
Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya
mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika
dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian
adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi. Soekarno juga
menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut
Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial,
dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi
yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini
menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar
1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang
dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak
sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan
surat kabar.
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno
kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi
Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara
kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah
Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini
adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI
sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno
- Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit
Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat
saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan
ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi
Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan
tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam mempunyai
kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini. Karena Demokrasi Terpimpin
juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam Indonesia.
Pemusatan
kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi
politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU
bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin
dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan
berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang
serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori
Sukarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“ atau
dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon
yang juga popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang,
logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis,
terutama masyumi, tidaklah hidup pada masa Demokrasi Terpimpin.
Sebaliknya,
tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan
diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif
sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam
demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara
ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan
Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno
dengan sistem Nasakomnya.
Memang dalam
era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai peta
percaturan politik berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha
memasukkan Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang
sudah sangat berpengaruh.
Namun
demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali.
Antara keduannya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai
Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung
Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963
mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu bentuk
penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama
bagi pembenaran sikap mereka.
H.
Aspirasi dan
Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama
Dalam periode
Orde Lama, tampaknya peran umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar
: pertama, peran umat Islam
yang bersikap kritis
kepada negara yang diwakili
oleh Masyumi; kedua, peran
umat Islam yang bersikap akomodatif kepada negara yang
diwakili oleh NU; ketiga, peran umat
Islam yang bersebelahan pemikiran (di
luar pagar sampai memberontak) yang diwakili oleh gerakan DI/TII.
Sehingga dalam
posisi ini Douglas
Ramage, memberikan makna yang
khas, bahwa Umat
Islam lebih disosokkan sebagai
ancaman. Dalam pandangannya, Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan
terlarang sebagaimana kekuatan komunis.
Umat Islam
membentuk Kogalam (Komando Kesiapsiagaan
Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam
mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya,
sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan
pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas,
sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan Negara
komunis. Situasi negara mulai ada
perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran
baru dalam kehidupan Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang
memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia.
Dengan adanya Ketetapan MPRS No.
XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orderbownya dibubarkan, ajaran
Komunisme -Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Fungsi
partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi
aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam
kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut
kemerdekaan Indonesia.
Pada masa orde lama ini, kekuatan
politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu
terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab
sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan
Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://umrefjournal.um.edu/, diakses 23 November 2014, 20:56.
[2]
Ibid.
[3]
http://digilib.unm.ac.id/, diakses 23
November 2014, 20:59.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
No comments:
Post a Comment