BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awal abad ke 19 di Indonesia muncul
gerakan nasional khususnya dari kalangan Islam yang mencoba menghimpun kekuatan
untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, mulai dari Budi Utomo, Sarekat
Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Serikat Islam dan gerakan-gerakan
lainnya. Dari pergerakan itulah muncul para tokoh intelektual terkemuka dari
kalangan Islam, salah satu tokoh yang terkenal adalah Oemar Said Cokroaminoto.
Ia merupakan seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan
organisasi Sarekat Islam. Sebagai Intelektual Islam tentunya banyak pemikiran-pemikiran
yang ia lahirkan. Salah satu gagasanya adalah tentang konsep Sosialisme Islam.
The founding father, slogan yang
sangat cocok untuk tokoh nasional yang satu ini. Beliau adalah sang proklamator
republik ini yang bersama-sama tokoh pergerakan lainnya yang telah membebaskan
bangsa kita dari belenggu imperialisme. Jasa-jasanya tidak akan terkubur dalam
puing-puing masa.
Sebagai
sosok yang memiliki label penggerak massa, Soekarno memiliki peranan sebagai
pemain depan yang dengan jelas terlihat bagaimana pola pikir dan cara berbicaranya
ketika berada di depan podium untuk berpidato. Soekarno Adalah Singa Podium
Yang Berjuluk “Penyambung Solidaritas Rakyat”. Ia memainkan peran dalam
menyampaikan pesan persatuan dan kesatuan untuk tercapainya Indonesia Merdeka.
Pemikiran dari kedua
tokoh diatas dapat dikatakan banyak berfokus pada bidang ketatanegaraan dan
pemerintahan. Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut (?) dan
bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam. (?)
Inilah yang menjadi beberapa pertanyaan yang akan coba pemakalah uraikan pada
pembahasan makalah ini. Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan,
pembahasan, dan penutup.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
profil kedua tokoh pembaharuan tersebut?
2. Bagaimana
ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui profil
kedua tokoh yaitu H.O.S Cokroaminoto dan Soekarno.
2. Untuk mengetahui pemikiran politik
H.O.S Cokroaminoto dan Soekarno.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung
dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih
mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik
Cokroaminoto dan Soekarno, baik itu penjelasan, penguraian, serta
pengidentifikasian yang dapat di aplikasikan dalam proses
pembelajaran sehari- hari.
E.
Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang
berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
- Biografi H.O.S Tjokroaminoto
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (H.O.S Cokroaminoto)
adalah tokoh pergerakan nasional, pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) yang
terkenal pandai berpidato dan sangat berpengaruh terhadap tokoh-tokoh generasi
muda. Lahir di Desa Bakur, Madiun pada tanggal 16 Agustus 1883. Cokroaminoto
adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno,
salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati
Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo.
Cokroaminoto menamatkan pendidikan di OSVIA (Sekolah
Pamongpraja) di Magelang. Sempat bekerja sebagai juru tulis di Ngawi sebelum
pindah ke Surabaya untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang. Aktivitasnya
dalam dunia politik dimulai ketika bergabung dalam organisasi Sarekat Dagang
Islam (SDI) pada tahun 1912. Atas usulnya, SDI berubah menjadi partai politik
yang bernama Sarekat Islam (SI). Di SI, Cokroaminoto menjadi komisaris dan
kemudian ketua partai. Sebagai wakil SI dalam Volksraad, bersama Abdul Muis,
tanggal 25 November 1918 mengajukan Mosi Cokroaminoto yang menuntut
Belanda untuk membentuk parlemen dari dan oleh rakyat.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional,
Cokroaminoto mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi
sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang
nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih.
Cokroaminoto pernah menuntut Sumatera Landsyndicaat
supaya mengembalikan tanah rakyat di Gunung Seminung (Sumatera Selatan) dan
menyamakan kedudukan dokter Indonesia dengan Belanda. Selain aktif dalam
politik, ia banyak menulis di media massa. Buku yang ditulis berjudul Islam dan
Sosialisme. Tahun 1920, ia dimasukkan ke penjara dan tujuh tahun kemudian
diminta lagi duduk dalam Volksraad namun ditolaknya karena tidak mau bekerja
sama lagi dengan Belanda.
Cokroaminoto meninggal di Surabaya pada 17 Desember
1934 dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Salah satu kata mutiara
darinya yang masyhur adalah; Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid,
sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada
masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
- Islam dan Sosialisme H.O.S. Tjokroaminoto
“Bagi kita, orang Islam, tak ada
sosialisme atau rupa-rupa “isme” lain-lainnya, yang lebih baik, lebih elok dan
lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itulah saja” (HOS
Tjokroaminoto)
Tahun 1924 di Mataram, HOS
Tjokroaminoto seorang pendiri dan sekaligus ketua Sarekat Islam (SI) menulis
buku “Islam dan Sosialisme”. Buku tersebut ditulis oleh Tjokro, di
samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi
bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh
dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya
sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan liberalisme.
- Dasarnya Sosialisme
Islam
“Kaanannasu ummatan wahidatan”
Peri kemanusiaan adalah menjadi satu
persatuan”, begitulah pengajaran di dalam Qur’an yang suci itu, yang menjadi
pokoknya sosialisme. Kalau segenap peri-kemanusiaan kita anggap menjadi satu
persatuan, tak boleh tidak wajiblah kita berusaha akan mencapai keselamatan bagi
mereka semuanya.
Ada lagi satu sabda Allah di dalam
Al Qur’an memerintahkan kepada kita, bahwa kita “harus membikin perdamaian
(keselamatan) diantara kita”. Lebih jauh di dalam al Qur’an ada dinyatakan,
bahwa “kita ini telah dijadikan dari seorang-orang laki-laki dan
seorang-orang perempuan” dan “bahwa Tuhan telah memisah-misahkan kita
menjadi golongan-golongan dan suku-suku, agar supaya kita mengetahui satu sama
lain”.
Nabi kita Muhammad s.a.w. telah
bersabda, bahwa “Tuhan telah menghilangkan kecongkakan dan kesombongan di
atas asal turunan yang tinggi. Seorang Arab tidak mempunyai ketinggian atau
kebesaran yang melebihi seorang asing, melainkan barang apa yang telah yakin
bagi dia karena takut dan baktinya kepada Tuhan”. Bersabda pula Nabi kita
s.a.w. bahwa “Allah itu hanyalah satu saja, dan asalnya sekalian manusia itu
hanyalah satu, mereka ampunnya agama hanyalah satu juga”.
Berasalan sabda Tuhan dan sabda Nabi
yang saya tirukan ini, maka nyatalah, bahwa sekalian anak Adam itu ialah
anggotanya satu badan yang beraturan (organich lichaam), karena mereka itu
telah dijadikan dari pada satu asal. Apabila salah satu anggotanya mendapat
sakit, maka kesakitannya itu menjadikan rusak teraturnya segenap badan
(organisme).
Akan menunjukkan, bahwa agama Islam
itu sungguh-sungguh menuju perdamaian dan keselamatan, maka di dalam bab ini
diuraikan maknanya perkataan “Islam”. Adapun makna ini adalah empat rupa:
- Islam menurut pokok kata “Aslama”, maknanya: menurut kepada Allah dan kepada utusannya dan kepada pemerintahan yang dijadikan dari pada umat Islam. (“Ya ayyuhalladzina amanu athi’ulloha wa’athi urrosula waulilamri minkum”)
- Islam menurut pokok kata “Salima” maknanya: selamat. Tegasnya: apabila orang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah agama Islam, maka tak boleh tidak ia akan mendapat keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat, karena orang Islam itu harus bertabi’at selamat, begitulah menurut hadist sabda Nabi kita yang suci Mohammad s.a.w.: “Afdhalul mukminina islaman man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi”, artinya: orang mukmin yang teranggap utama dalam pada menjalankan agama Islam, ialah mereka yang mempunyai tabi’at selamat yang menyelamatkan sekalian orang Islam, karena dari pada bicaranya dan tangannya.
- Islam, menurut pokok-kata “Salmi” maknanya: rukun. Tegasnya: orang yang menjalankan agama Islam haruslah rukun. (An aqimuddina wala tatafarraq fiha”, artinya: Hendaklah (kamu) mendirikan agama (Islam) dan janganlah (kamu) sama berselisihan.
- Islam, menurut pokok-kata “Sulami” maknanya: tangga, ialah tangga atau tingkat-tingkat untuk mencapai keluruhan dunia dan keluruhan akhirat. Jikalau orang Islam dengan sungguh-usngguh menjalankakn agamanya, maka tak boleh tidak mereka akan mencapai derajat yang tinggi sebagai yang telah di jalankan oleh khulafaurrasyidin.
- Dasarnya Perintah-perintah Agama yang Bersifat Sosialistik
Dalam pada mengarangkan
perintah-perintah yang berhubungan dengan jalannya ibadah, maka Nabi Muhammad
s.a.w., ialah pengubah terbesar tentang hal-ikhwal pergaulan hidup manusia
bersama (sociale Hervormer) yang terkenal oleh dunia, tiadalah melupakan
asas-asas demokrasi tentang persamaan dan persaudaraan dan juga asas-asas
sosialisme.
Menurut perintah-perintah agama yang
telah ditetapkan oleh Nabi, maka sekalian orang Islam, kaya dan miskin, dari
rupa-rupa bangsa dan warna kulit, pada tiap-tiap hari Jum’at haruslah datang
berkumpul di dalam masjid dan menjalankan shalat dengan tidak mengadakan
perbedaan sedikitpun juga tentang tempat dan derajat, di bawah pimpinannya
tiap-tiap orang yang dipilih di dalam perkumpulan itu. Dua kali dalam tiap-tiap
tahun sekalian penduduknya satu kota atau tempat, datanglah berkumpul akan
menjalankan shalat dan berjabatan tangan serta berangkul-rangkulan satu sama
lain dengan rasa persaudaraannya. Dan akhirnya tiap-tiap orang Islam diwajibkan
satu kali di dalam hidupnya akan mengunjungi Mekah pada waktu yang telah
ditentukan, bersama dengan berpuluhdan beratus ribu saaudaranya Islam.
Di dalam kumpulan besar ini, beribuan
mereka yang datang dari tempat yang dekat tempat yang jauh sama bertemuan
disatu tempat pusat, semuanya sama berpakaian satu rupa yang sangat sederhana,
buka kepala dan kaki telanjang, orang-orang yang tertinggi dan terendah
derajatnya dari rupa-rupa negeri dan tempat, rupa-rupa pula bangsa dan warna
kulitnya; kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini adalah satu
pertunjukan sosialme cara Islam dan ialah contoh besar dari pada “persamaan”
dan “persaudaraan”. Di dalam kumpulan ini tidak menampak perbedaan sedikitpun
juga diantara seorang raja dengan hambanya. Hal inilah bukan saja menanam
tetapi juga melakukan (mempraktekkan) perasaan, bahwa segala manusia itu
termasuk bilangannya satu persatuan dan diwajibkan kepada mereka itu akan berlaku
satu sama lain dengan persamaan yang sempurna sebagai anggota-anggotanya satu
persaudaraan.
Kumpulan besar yang kejadian pada
tiap-tiap tahun ini bukan saja menunjukkan persamaan harga dan persamaan
derajat diantara orang dengan orang, tetapi juga menunjukkan persatuan maksud
dan tujuan pada jalannya segenap peri-kemanusiaan. Berpuluh ribu orang
laki-laki dan perempuan, tua dan muda, datang di lautan pasir itu dengan segala
kemudaratan di dalam perjalannya, hanyalah dengan satu maksud yaitu akan menunjukkan
kehormatan dan kepujiannya kepada satu Allah, yang meskipun mereka bisa
mendapatkan dimana-mana tempat dan pada tiap-tiap saat, tetapi kecintaan mereka
kepada Allah itu diperumumkan di dalam satu kumpulan bersama-sama sebagai Tuhan
mereka bersama, ialah Tuhan yang mencinta mereka semuanya Rabbil ‘alamin.
Cita-cita yang terlahir di dalam kumpulan besar ini ialah guna menunjukkan pada
waktu yang bersama akan keadaan lahir yang membuktikan persaudaraan bersama dan
rasa cinta-mencinta di dalam batin, agar supaya di dalam rohnya tiap-tiap orang
Islam tertanamlah cita-cita bersal dari satu Tuhan dan cita-cita persaudaraan
diantara manusia dengan manusia.
Sosialisme di dalam Islam bukan saja
diajarkan sebagai teori, tetapi dilakukan (dipraktikkan) juga sebagai wajib.
- Ide dan Faham Pemikiran Cokroaminoto
Berawal
dari penjajahan Belanda yang mengeksploitasi Indonesia dari berbagai bidang
mulai perdagangan, social-politik, pendidikan dan berbagai bidang lainnya.
Muncul Sarekat Islam (kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam) sebagai pergerakan
yang mengusung kemerdekaan dengan berbasiskan Islam. Tetapi pada masa
perkembangan selanjutnya gagasan sosialisme Barat (sosialisme Karl Marx) yang
telah merasuk ke dalam ‘tubuh’ SI mengakibatkan perpecahan SI itu sendiri. SI pun
terbagi mejadi dua kubu yaitu (kemudian disebut) SI-Putih dengan SI-Merah.
SI-Merah lebih cenderung pada sosialisme Karl Marx. Hal inilah yang menjadi
salah satu faktor timbulnya gagasan Sosialisme yang berdasarkan Islam oleh
Cokroaminoto.
Dalam
sebuah artikel yang ditulis oleh Humaidi (H.O.S Tjokroaminoto: Potret Pemikiran
Nasionalisme Islam Indonesia), terdapat perubahan pola pikir dalam diri
Cokroaminoto. Oleh karena itu Humaidi menggunakan istilah “Cokro Muda” dan
“Cokro Tua”. “Cokro Muda” adalah Cokroaminoto yang bersemangat, dan melihat
Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme dan memperjuangkan
persatuan nasional. Sementara “Cokro Tua” adalah Cokroaminoto yang mulai
berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian
terpisah dalam menafsirkan nasionalisme. Ada dua hal yang kiranya dinilai
penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Cokroaminoto.
Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Cokroaminoto berada dalam
penjara. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI
dan menarik pengikut dari kaum buruh tetapi usahanya ini gagal, Tentunya, hal
ini semakin menguatkan perspektifnya bahwa nasionalisme harus dibangun atas
dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya
dari unsur lain dan hal itu adalah Islam.
Sosialisme
yang diinginkan oleh Cokroaminoto adalah sosialisme yang berdasarkan kepada
ajaran agama Islam. Dasar sosialismenya merujuk pada Q.S Al Baqarah ayat 213
yang dalam terjemah bahasa Indonesianya berbunyi: “Manusia itu adalah umat yang
satu” dan juga Q.S Al Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa kita ini telah
diciptakan dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kita saling mengenal. Berdasarkan inilah Islam memandang masyarakat
sebagai individu yang terkait dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
lainnya.
Dalam
bukunya yang berjudul Islam dan Sosialisme (1924), Cokroaminoto menerangkan tentang
4 konsep Islam yaitu:
1)
Islam itu aslama maknanya
taat kepada Allah, utusan-Nya, dan pada pemerintah. Seperti yang tercantum
dalam Q.S An Nisa ayat 59.
2)
Islam itu salimun artinya
selamat, maksudnya jika orang Islam menjalankan perintah agama niscaya ia akan
mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
3)
Islam berasal dari kata
salmi yang artinya rukun, maksudnya orang orang yang berpegang teguh pada agama
Islam yang diwajibkan melaksanakan rukun, dan
4)
Islam berasal dari kata
sullam yang artinya tangga, maksudnya orang Islam akan mencapai derajat yang
tinggi manakala dapat menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh.
Ia
menambahkan bahwa Islam telah menumbuhkan persaudaraan yang benar-benar harus
dilaksanakan antara umat Islam di Negara manapun juga, baik yang berkulit
putih, hitam, coklat, baik kaya maupun miskin. Persaudaraan dapat melenyapkan
permusuhan. Ia kemudian menganalogikan dengan kehidupan masyarakat pada masa
Rasulullah SAW. Menurutnya Islam dengan mekanisme zakat memberikan pelajaran
tentang pemenuhan kebutuhan secara merata. Kedermawanan Islam ini termasuk dalam
sosialisme Islam. Untuk mewujudkan sosialisme ada tiga dasar yang harus
dilaksanakan yaitu:
1)
Membangun perasaan rela
mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan umum.
2)
Membagi kekayaan sama rata
dalam dunia Islam dengan mekanisme zakat, dan
3)
Menuntun perasaan orang
supaya tidak menganggap kemiskinan itu suatu penghinaan karena itu lebih baik
dari kejahatan.
Ide-ide
dan gagasan Cokroaminoto banyak dituangkan dalam buku maupun tulisannya,
diantara karyanya adalah sebagai berikut:
- Tafsir Program azas dan Progran Tanzim (1913), buku yang bernuansakan mistis tentang pengalaman religiusnya.
- Islam dan Sosialisme (1924), berisi tentang paparan Islam vis a vis dengan sosialisme.
- Moeslim National Onderwijs (1925), berisi tentang cita-cita kependidikan HOS Cokroaminoto.
- Regiment Umum Bagi Umat Islam (1937), tentang petunjuk-petunjuk menjalankan Islam yang seluas-luasnya.
- Tarikh Agama Islam yang berisi tentang sejarah umat Islam.
Demikianlah
secara singkat tentang gagasan Sosialisme Islam yang diungkapkan oleh HOS Cokroaminoto.
Ir. Soekarno, inilah presiden pertama Indonesia,
Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama Bung Hatta pada 17 Agustus
1945.[1]Ibunya bernama Idayu Nyoman Ray dan ayahnya bernama R.
Soekemi Sosrodihardjo, kemudian kakaknya bernama Soekarmini. “Aku adalah anak
dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, merupakan
keturunan bangsawan. Soekarno mempunyai
kakek yang ahli dalam ilmu gaib dan ahli kebatinan yang bernama Raden
Hardjodikromo, dengan berhubungan terhadap kakeknya ini secara tidak langsung
Soekarno mendapat ilmu kebatinan dalam menjalani karir politiknya kelak.
Presiden pertama Indoensia ini diberi nama
Kusno oleh Bapak-Ibunya, Raden
Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Nama Kusno akhirnya dirubah menjadi Soekarno oleh orang tuanya karena sejak kelahirannya
pada 6 Juni 1901 di Blitar
Soekarno kecil sering
sakit-sakitan, kepercayaan jawa mengubah nama adalah usaha
untuk menghilangkan seringnya Soekarno kecil
mengalami sakit-sakitan.
Selepas Sekolah Dasar Bung Karno sudah hidup mandiri,
beliau melanjutkan sekolah di Surabaya yaitu HIS dan HBS. Selama di Surabaya
beliau tinggal di rumah
Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada akhirnya Bung Karno memperistri
putri dari tokoh Syarikat Islam tersebut. Kemudian Bung Karno melanjutkan sekolah
di THS, atau ITB sekarang ini. Sambil kuliah di THS Bung Karno aktif di kegiatan- kegiatan politik yang menyuarakan
kemerdekaan Indonesia, akibat dari kegiatannya itu sejak muda Bung Karno telah akrab dengan penjara,
tentu penangkapan- penangkapan itu atas perintah
pemerintah kolonial Belanda.[2]
Soekarno muda tumbuh
menjadi pemuda yang revolusioner.
Ketika mengambil kuliah
di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi
ITB) di Bandung ia telah aktif
dalam pergerakan-pergerakan politik. Tiada pilihan lain baginya
selain berjuang untuk secara politis menentang kolonialisme dan imperialisme, bahkan hal itu menggelisahkan
profesornya.
Setelah lulus
pada 1926 dari bangku kuliah Ir. Soekarno mendirikan
PNI
bersama teman-temanya Pandangan Soekarno muda ini
sangat menonjol, cita-citanya
yang besar untuk Indonesia Merdeka adalah obor yang menyala-nyala dalam sanubarinya. Pada
tahun 1926 pandangannya itu diwujudkan dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme. Kedaulatan Bangsa
Indonesia adalah kemerdekaan
dari Sabang hingga Merauke. Pada
masa perjuangan fisik inilah Bung Karno tumbuh dan berkembang
dan pada masa itu tidak hanya Indonesia yang berada pada cengkeraman kolonial tetapi juga negara-negara
di Asia dan Afrika. Bung Karno melihat di semua negri terjajah, termasuk di indonesia, perjuangan melawan
kolonial ini ada
dua warna yang dominan yaitu dengan bendera Islam ataupun bendera Sosialis (Marxis).
Bung Karno mengakui bahwa Islamisme dan
Marxisme adalah ideologi yang lintas bangsa tetapi
benang merah yang diambil oleh Bung Karno adalah semua perjuangan yang ada di
berbagai negeri adalah sama yaitu untuk memerdekakan
negrinya dari kolonialisme dan imperialisme. Maka dari
itu Bung Karno selalu menekankan bahwa
segala macam warna perjuangan yang ada di Indonesia adalah untuk Tanah Air Indonesia,
semua harus bersatu, bahu-membahu
demi Tanah Air tempat dimana Bangsa Indonesia hidup.
Menurut Bung Karno, Islam, Marxis, dan semangat Nasionalis adalah roh perjuangan yang luar biasa. Bung Karno melihat ketiga hal tersebut ada di Indonesia dan
mengkristal menjadi ideologi
perjuangan melawan penjajah di mana pun. Maka, Bung Karno sangat menyayangkan perselisihan di antara ketiga golongan tersebut dan menekankan perlunya kerja sama yang erat bagi ketiga golongan tersebut
agar cita-cita kemerdekaan
dapat diraih. Pada tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Bung Karno
tampak ingin menjadi
penengah juga pemersatu diantara ketiga golongan. Dari uraian-uraiannya Bung Karno berusaha menguraikan benang kusut yang ada di antara ketiga –isme dan
meyakinkan kepada
semua pihak bahwa hanya dengan persatuan ketiga
golongan kaum kolonialis-
imperialis di Indonesia bisa diusir.
Di berbagai kesempatan orasinya Bung Karno selalu menampilkan
dirinya yang nasionalis, sekaligus muslim,
dan juga seorang kiri. Ia selalu berusaha mengajak bahwa semua golongan adalah
bagian dari Indonesia
dan harus bergotong-royong membangun negeri.
Bung Karno mengajak semua pihak yang ada di tanah air ini, apapun warnanya,
muara perjuangan harus untuk kepentingan seluruh
bangsa dan negara Indonesia. Konsep penyatuan Nasionalis, Islamis, dan Marxis
adalah sebuah eksperimen yang luar biasa dari Bung Karno untuk Indonesia, tetapi memang itulah yang diinginkan
Bung
Karno untuk Indonesia. Dalam
perjalanannya konsep Nasionalis, Islamisme, dan Marxisme
Bung Karno berubah menjadi Nasakom; Nasionalis,
Agama, dan Komunis.
Bung Karno memperluas konsep Islamisme menjadi Agama, yang harapanya semua agama bisa terwakili dalam
konsep persatuannya tersebut. Bung Karno benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan ke-Bhineka-an tiga golongan ini menjadi Tunggal Ika, dalam
balutan Ibu pertiwi walau sebenarnya
Bung Karno sadar benar golongan- golongan ini rentan sekali
bertikai karena perbedaan paham yang sangat lebar. Sekali
lagi hal ini tampak sejak tulisannya
yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme diterbitkan, Bung Karno berkata, ”Bukannya
kita mengharap yang nasionalis itu supaya berubah
paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita
menyuruh Marxis
dan Islamis berbalik menjadi
Nasionalis, akan tetapi impian
kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan tersebut.”[3]
Dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme Bung Karno menyampaikan
kepada para nasionalis untuk
bekerja sama dengan golongan Islam dan Marxis.
Di situ Bung Karno mengatakan, ”Nasionalis yang sejati, yang cintanya
pada tanah air itu
bersendi pada pengetahuan, atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan
semata-mata timbul dari
kesombongan bangsa belaka – nasionalis
yang bukan chauvinis, harus
menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu.”
Masih dalam tulisan
yang
sama Bung Karno mengatakan, ”Bukankah, sebagai yang sudah
kita terangkan, Islam yang
sejati mewajibkan pada
pemeluknya mencintai dan bekerja
untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat dianatara mana ia hidup, selama
negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam.” Bung Karno menegaskan kembali, ”...dimana-mana orang Islam bertempat disitulah ia harus mencintai
dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan
rakyatnya.”[4]
Bung Karno mengatakan bahwa dalam Islam juga terkandung
tabiat-tabiatyang sosialistis maka dari itu seyogyanyalah kaum Islam harusnya mampu bekerja sama dengan kelompok
Marxis, meski sosialisme
dalam Islam memiliki asas yang
berbeda yaitu spiritualisme
sedangkan sosialisme dalam Marxis berdasar pada asas
perbendaan, atau materialisme.
Bung Karno dalam Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme
menyinggung pada kaum Marxis yang ingkar terhadap perjuangan kaum nasionalis dan kaum
Islamis, Bung Karno mengajak Marxis Indonesia untuk bergabung
dengan kedua golongan yang lain, ”Sebab taktik Marxisme yang
baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama
dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme
yang baru bahkan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis
yang sungguh- sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan
dengan pergerakan-pergerakan
Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian
itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berubah.”[5]
Bung Karno juga mengajak
pada kaum Marxis
untuk tidak membenci kaum agama (Islam) di Indoenesia karena kaum gereja di Eropa berbeda dengan kaum
agama (Islam) di Indonesia. Bung Karno yang seorang
Nasionalis sering berkata bahwa Bangsa Indonesia
harus memiliki rasa cinta tanah air yang berkobar-kobar, tetapi
tidak boleh memiliki
rasa nasionalisme yang chauvinistis, nasionalisme
yang diajarkan Bung Karno adalah
nasionalisme yang merasa dirinya satu bagian dari seluruh
peri kemanusiaan,
yang kemudian sering disebut oleh Bung Karno sebagai sosio-nasionalisme. Pandangan
nasionalisme Bung Karno inilah yang membuat dirinya dan mengajak seluruh rakyat
Indonesia untuk mau menerima
semua golongan manusia yang ada di bumi
Indonesia, yaitu golongan nasionalis, islamis, dan marxis.
Dalam
pengertiannya, kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup yang
timbul dengan cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi.
Dengan begitu, kapitalisme terjadi atas dasar perbedaan antara kaum buruh
dengan kaum pemilik modal yang terpisahkan dengan alat-alat produksi.
Kapitalisme
memang timbul dari cara produksi yang mengakibatkan banyak sekali penindasan
terhadap kaum buruh, sehingga dalam pandangan ini Soekarno sangat menentang
dengan keras faham seperti ini, apalagi jika faham ini berada di Indonesia.
Kapitalisme juga sebenarnya melahirkan imperialisme modern yang dapat membuat
sebuah bangsa menjadi celaka.
Dari
berbagai pengaruh negatif tersebut sebenarnya pengaruh kapitalisme telah ada di
dalam bangsa sendiri, seperti timbulnya tuan-tuan tanah dan banyaknya kaum
pekerja yang lemah, dengan demikian kapitalisme dapat hadir dalam bangsa
sendiri dan memakan bangsa sendiri. Oleh karena itu, seharusnya bangsa
Indonesia melakukan upaya-upaya yang baik dan benar agar sistem kapitalisme
tidak dapat berkembang biak di bangsa ini. Upaya yang harus dilakukan adalah
dengan cara peningkatan nasionalisme di segala aspek kehidupan, hal ini akan
menjadi cermin bahwa segala tindakan yang dilakukan semata-mata untuk bangsa
dan negara Indonesia, bukan untuk kepentingan individu.
Selanjutnya,
nasionalisme tidak akan terbentuk jika tidak ada sikap gotong-royong yang baik,
dengan begitu sikap yang harus dimunculkan untuk mengembangkan rasa
nasionalisme adalah sikap gotong-royong karena sikap ini akan memicu kerja
keras yang sangat hebat di setiap kalangan sehingga tidak akan membeda-bedakan
status sosial dan ekonomi, serta suku, agama, ras. Konsep gotong royong ini
yang akan memberikan pengaruh positif dalam menimbulkan nasionalisme tersebut,
sebab ketika konsep ini menjadi sebuah sistem dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia, maka konsep ini akan menjadi kuat dan membentuk nasionalisme, dengan
demikian kapitalisme tidak akan lahir dan berkembang. Selanjutnya, kapitlaisme
bangsa sendiri pun akan musnah seiring dengan terbentuknya kekuatan dari bangsa
sendiri ini untuk menghalau dari serangan kapitalisme yang mengakar.
Pemikiran Bung Karno yang brilian adalah Pancasila.
Pancasila disampaikan oleh Bung Karno pada saat sidang BPUPKI
pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang tersebut adalah lanjutan sidang dari sidang-sidang
sebelumnya yang juga sempat
mendengarkan usulan-usulan mengenai dasar negara seperti
dari Dr. Soepomo, pada 31 Mei 1945.
Bung Karno menyampaikan bahwa
perlu adanya sebuah dasar dari sebuah negara yang bersumber
dari nilai-nilai asli suatu bangsa tersebut. Maka, untuk Indonesia Bung Karno menyampaikan lima asas yaitu Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial,
dan Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa. Kelima asas tersebut
kemudian disebut dengan Pancasila,
yang artinya lima dasar atau lima asas.
Dalam sidang BPUPKI tersebut Bung Karno juga menyampaikan
bahwa kelima sila tersebut digali
dari
jatidiri bangsa Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 tersebut sebenarnya Bung Karno juga
menawarkan alternatif dari Pancasila untuk diperas menjadi tiga sila saja, Trisila, yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan kemudian
Bung Karno kembali menawarkan, Trisila tersebut bisa diperas kembali menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Gotong
royong inilah yang dianggap
Bung Karno sebagai nafas rakyat Indonesia dalam perjuangan.
Sampai saat ini terbukti bahwa Pancasila benar-benar sebuah dasar negara yang
digali dari bumi pertiwi Indonesia, meski dalam perjalanan sejarahnya
begitu banyak kerikil yang mengganggu,
tapi
Pancasila tetap diakui menjadi sebuah kalimat bersama
bagi rakyat Indonesia, apapun golongannya.
Dalam pidato
Soekarno pada tanggal 1 Juli 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari
lahirnya Pancasila ialah momentum bagi Soekarno dalam pembahasan mengenai
ideologi yang akan dibawa oleh Indonesia. Dalam pandangan Soekarno pada saat
pidato, Pancasila yang merupakan dasar dari bangsa dan negara Indonesia
menganut sebuah fundamen, filsafat, dan pikiran yang sedalam-dalamnya, sebagai
suatu jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung
Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.[6]
Dasar dari
Pancasila tersebut menurut Soekarno adalah semua untuk semua yang mengandung
arti bahwa Pancasila hadir dalam rangka mewadahi berbagai kelompok yang ada di
Indonesia, jadi Pancasila tersebut bukan untuk satu golongan saja, akan tetapi
sebenarnya cerminan dari keragaman berbagai perbedaaan yang ada di Indonesia.
Dengan
demikian, telah dikemukakan bahwa pemahaman Soekarno dalam Pancasila didasari
oleh sikap bangsa Indonesia pula agar terbentuk suatu rasa persatuan yang akan
berimbas pada terbentuknya Indonesia merdeka. Pancasila juga sebenarnya
menerapkan dimensi lain, yaitu suatu dimensi filosofis dalam tujuannya
merangkai perbedaan yang ada di Indonesia. Dapat dilihat sebenarnya, bahwa perbedaan
yang ada di Indonesia bukan untuk dijadikan dasar dari perselisihan yang
terjadi, akan tetapi harus dijadikan sebuah hubungan kolektif yang dapat saling
melengkap.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Sosialisme yang diinginkan oleh Cokroaminoto adalah sosialisme yang
berdasarkan kepada ajaran agama Islam. Dasar sosialismenya merujuk pada Q.S Al
Baqarah ayat 213 yang dalam terjemah bahasa Indonesianya berbunyi: “Manusia itu
adalah umat yang satu” dan juga Q.S Al Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa
kita ini telah diciptakan dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, supaya kita saling mengenal. Berdasarkan inilah Islam memandang
masyarakat sebagai individu yang terkait dan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat lainnya.
Soekarno merupakan sosok
yang sangat mencintai bangsanya, di usia muda ia selalu menekankan bahwa
segala macam warna perjuangan yang ada di Indonesia adalah untuk Tanah Air
Indonesia, semua harus bersatu, bahu-membahu demi Tanah Air tempat dimana
Bangsa Indonesia hidup. Soekarno dengan pemikirannya, melahirkan berbagai macam
ide yang berhubungan dengan politik, salah satunya adalah pemikirannya tentang
konsep Pancasila yang sampai sekarang masih relevan dengan konteks negara
kesatuan republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy, Bung Karno penyambung Lidah
Rakyat Indonesia, Jakarta: Media Pressindo, 2007
Aning, Floriberta, Lahirnya Pancasila:
Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006
Soekarno, Ir., Di Bawah Bendera Revolusi, Yayasan Penerbit
Di Bawah Bendera
Revolusi, Jakarta, 1964.
Tjokoroaminoto, HOS., Islam
dan Sosialisme, Yogyakarta: TriDe, 2003.
Tunggul Alam, Wawan, Demokrasi Terpimpin:
Milik rakyat Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
[1]
Cindy Adams, Bung Karno
penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta: Media Pressindo,
2007), h.21.
[2] www.wikippedia.com/soekarno.html/
, diakses 4 November 2014, 21:17 WIB
[3]
Ir. Soekarno, Di
Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, hal. 5.
[6]
Floriberta Aning, ed., Lahirnya
Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI(Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h.
116
No comments:
Post a Comment