My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Saturday 10 November 2018

Makalah H.O.S Cokroaminoto dan Soekarno


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang 
Pada awal abad ke 19 di Indonesia muncul gerakan nasional khususnya dari kalangan Islam yang mencoba menghimpun kekuatan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, mulai dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Serikat Islam dan gerakan-gerakan lainnya. Dari pergerakan itulah muncul para tokoh intelektual terkemuka dari kalangan Islam, salah satu tokoh yang terkenal adalah Oemar Said Cokroaminoto. Ia merupakan seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan organisasi Sarekat Islam. Sebagai Intelektual Islam tentunya banyak pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan. Salah satu gagasanya adalah tentang konsep Sosialisme Islam.
The founding father, slogan yang sangat cocok untuk tokoh nasional yang satu ini. Beliau adalah sang proklamator republik ini yang bersama-sama tokoh pergerakan lainnya yang telah membebaskan bangsa kita dari belenggu imperialisme. Jasa-jasanya tidak akan terkubur dalam puing-puing masa.
Sebagai sosok yang memiliki label penggerak massa, Soekarno memiliki peranan sebagai pemain depan yang dengan jelas terlihat bagaimana pola pikir dan cara berbicaranya ketika berada di depan podium untuk berpidato. Soekarno Adalah Singa Podium Yang Berjuluk “Penyambung Solidaritas Rakyat”. Ia memainkan peran dalam menyampaikan pesan persatuan dan kesatuan untuk tercapainya Indonesia Merdeka.

Pemikiran dari kedua tokoh diatas dapat dikatakan banyak berfokus pada bidang ketatanegaraan dan pemerintahan. Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut (?) dan bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam. (?) Inilah yang menjadi beberapa pertanyaan yang akan coba pemakalah uraikan pada pembahasan makalah ini. Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut?
2.      Bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam ?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui profil kedua tokoh yaitu H.O.S Cokroaminoto dan Soekarno.
2.      Untuk mengetahui pemikiran politik H.O.S Cokroaminoto dan Soekarno.

     D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Politik Cokroaminoto dan Soekarno, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.

E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.





BAB II
PEMBAHASAN

  1. Biografi H.O.S Tjokroaminoto
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (H.O.S Cokroaminoto) adalah tokoh pergerakan nasional, pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) yang terkenal pandai berpidato dan sangat berpengaruh terhadap tokoh-tokoh generasi muda. Lahir di Desa Bakur, Madiun pada tanggal 16 Agustus 1883. Cokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo.
Cokroaminoto menamatkan pendidikan di OSVIA (Sekolah Pamongpraja) di Magelang. Sempat bekerja sebagai juru tulis di Ngawi sebelum pindah ke Surabaya untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang. Aktivitasnya dalam dunia politik dimulai ketika bergabung dalam organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1912. Atas usulnya, SDI berubah menjadi partai politik yang bernama Sarekat Islam (SI). Di SI, Cokroaminoto menjadi komisaris dan kemudian ketua partai. Sebagai wakil SI dalam Volksraad, bersama Abdul Muis, tanggal 25 November 1918 mengajukan Mosi Cokroaminoto yang menuntut Belanda untuk membentuk parlemen dari dan oleh rakyat.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, Cokroaminoto mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih.
Cokroaminoto pernah menuntut Sumatera Landsyndicaat supaya mengembalikan tanah rakyat di Gunung Seminung (Sumatera Selatan) dan menyamakan kedudukan dokter Indonesia dengan Belanda. Selain aktif dalam politik, ia banyak menulis di media massa. Buku yang ditulis berjudul Islam dan Sosialisme. Tahun 1920, ia dimasukkan ke penjara dan tujuh tahun kemudian diminta lagi duduk dalam Volksraad namun ditolaknya karena tidak mau bekerja sama lagi dengan Belanda.
Cokroaminoto meninggal di Surabaya pada 17 Desember 1934 dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah; Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
  1. Islam dan Sosialisme H.O.S. Tjokroaminoto
“Bagi kita, orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa “isme” lain-lainnya, yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itulah saja” (HOS Tjokroaminoto)
Tahun 1924 di Mataram, HOS Tjokroaminoto seorang pendiri dan sekaligus ketua Sarekat Islam (SI) menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Buku tersebut ditulis oleh Tjokro, di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan liberalisme.
  1. Dasarnya Sosialisme Islam
    “Kaanannasu ummatan wahidatan”
Peri kemanusiaan adalah menjadi satu persatuan”, begitulah pengajaran di dalam Qur’an yang suci itu, yang menjadi pokoknya sosialisme. Kalau segenap peri-kemanusiaan kita anggap menjadi satu persatuan, tak boleh tidak wajiblah kita berusaha akan mencapai keselamatan bagi mereka semuanya.
Ada lagi satu sabda Allah di dalam Al Qur’an memerintahkan kepada kita, bahwa kita “harus membikin perdamaian (keselamatan) diantara kita”. Lebih jauh di dalam al Qur’an ada dinyatakan, bahwa “kita ini telah dijadikan dari seorang-orang laki-laki dan seorang-orang perempuan” dan “bahwa Tuhan telah memisah-misahkan kita menjadi golongan-golongan dan suku-suku, agar supaya kita mengetahui satu sama lain”.
Nabi kita Muhammad s.a.w. telah bersabda, bahwa “Tuhan telah menghilangkan kecongkakan dan kesombongan di atas asal turunan yang tinggi. Seorang Arab tidak mempunyai ketinggian atau kebesaran yang melebihi seorang asing, melainkan barang apa yang telah yakin bagi dia karena takut dan baktinya kepada Tuhan”. Bersabda pula Nabi kita s.a.w. bahwa “Allah itu hanyalah satu saja, dan asalnya sekalian manusia itu hanyalah satu, mereka ampunnya agama hanyalah satu juga”.
Berasalan sabda Tuhan dan sabda Nabi yang saya tirukan ini, maka nyatalah, bahwa sekalian anak Adam itu ialah anggotanya satu badan yang beraturan (organich lichaam), karena mereka itu telah dijadikan dari pada satu asal. Apabila salah satu anggotanya mendapat sakit, maka kesakitannya itu menjadikan rusak teraturnya segenap badan (organisme).
Akan menunjukkan, bahwa agama Islam itu sungguh-sungguh menuju perdamaian dan keselamatan, maka di dalam bab ini diuraikan maknanya perkataan “Islam”. Adapun makna ini adalah empat rupa:
  1. Islam menurut pokok kata “Aslama”, maknanya: menurut kepada Allah dan kepada utusannya dan kepada pemerintahan yang dijadikan dari pada umat Islam. (“Ya ayyuhalladzina amanu athi’ulloha wa’athi urrosula waulilamri minkum”)
  2. Islam menurut pokok kata “Salima” maknanya: selamat. Tegasnya: apabila orang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah agama Islam, maka tak boleh tidak ia akan mendapat keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat, karena orang Islam itu harus bertabi’at selamat, begitulah menurut hadist sabda Nabi kita yang suci Mohammad s.a.w.: “Afdhalul mukminina islaman man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi”, artinya: orang mukmin yang teranggap utama dalam pada menjalankan agama Islam, ialah mereka yang mempunyai tabi’at selamat yang menyelamatkan sekalian orang Islam, karena dari pada bicaranya dan tangannya.
  3. Islam, menurut pokok-kata “Salmi” maknanya: rukun. Tegasnya: orang yang menjalankan agama Islam haruslah rukun. (An aqimuddina wala tatafarraq fiha”, artinya: Hendaklah (kamu) mendirikan agama (Islam) dan janganlah (kamu) sama berselisihan.
  4. Islam, menurut pokok-kata “Sulami” maknanya: tangga, ialah tangga atau tingkat-tingkat untuk mencapai keluruhan dunia dan keluruhan akhirat. Jikalau orang Islam dengan sungguh-usngguh menjalankakn agamanya, maka tak boleh tidak mereka akan mencapai derajat yang tinggi sebagai yang telah di jalankan oleh khulafaurrasyidin.
  1. Dasarnya Perintah-perintah Agama yang Bersifat Sosialistik
Dalam pada mengarangkan perintah-perintah yang berhubungan dengan jalannya ibadah, maka Nabi Muhammad s.a.w., ialah pengubah terbesar tentang hal-ikhwal pergaulan hidup manusia bersama (sociale Hervormer) yang terkenal oleh dunia, tiadalah melupakan asas-asas demokrasi tentang persamaan dan persaudaraan dan juga asas-asas sosialisme.
Menurut perintah-perintah agama yang telah ditetapkan oleh Nabi, maka sekalian orang Islam, kaya dan miskin, dari rupa-rupa bangsa dan warna kulit, pada tiap-tiap hari Jum’at haruslah datang berkumpul di dalam masjid dan menjalankan shalat dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun juga tentang tempat dan derajat, di bawah pimpinannya tiap-tiap orang yang dipilih di dalam perkumpulan itu. Dua kali dalam tiap-tiap tahun sekalian penduduknya satu kota atau tempat, datanglah berkumpul akan menjalankan shalat dan berjabatan tangan serta berangkul-rangkulan satu sama lain dengan rasa persaudaraannya. Dan akhirnya tiap-tiap orang Islam diwajibkan satu kali di dalam hidupnya akan mengunjungi Mekah pada waktu yang telah ditentukan, bersama dengan berpuluhdan beratus ribu saaudaranya Islam.
Di dalam kumpulan besar ini, beribuan mereka yang datang dari tempat yang dekat tempat yang jauh sama bertemuan disatu tempat pusat, semuanya sama berpakaian satu rupa yang sangat sederhana, buka kepala dan kaki telanjang, orang-orang yang tertinggi dan terendah derajatnya dari rupa-rupa negeri dan tempat, rupa-rupa pula bangsa dan warna kulitnya; kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini adalah satu pertunjukan sosialme cara Islam dan ialah contoh besar dari pada “persamaan” dan “persaudaraan”. Di dalam kumpulan ini tidak menampak perbedaan sedikitpun juga diantara seorang raja dengan hambanya. Hal inilah bukan saja menanam tetapi juga melakukan (mempraktekkan) perasaan, bahwa segala manusia itu termasuk bilangannya satu persatuan dan diwajibkan kepada mereka itu akan berlaku satu sama lain dengan persamaan yang sempurna sebagai anggota-anggotanya satu persaudaraan.
Kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini bukan saja menunjukkan persamaan harga dan persamaan derajat diantara orang dengan orang, tetapi juga menunjukkan persatuan maksud dan tujuan pada jalannya segenap peri-kemanusiaan. Berpuluh ribu orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda, datang di lautan pasir itu dengan segala kemudaratan di dalam perjalannya, hanyalah dengan satu maksud yaitu akan menunjukkan kehormatan dan kepujiannya kepada satu Allah, yang meskipun mereka bisa mendapatkan dimana-mana tempat dan pada tiap-tiap saat, tetapi kecintaan mereka kepada Allah itu diperumumkan di dalam satu kumpulan bersama-sama sebagai Tuhan mereka bersama, ialah Tuhan yang mencinta mereka semuanya Rabbil ‘alamin. Cita-cita yang terlahir di dalam kumpulan besar ini ialah guna menunjukkan pada waktu yang bersama akan keadaan lahir yang membuktikan persaudaraan bersama dan rasa cinta-mencinta di dalam batin, agar supaya di dalam rohnya tiap-tiap orang Islam tertanamlah cita-cita bersal dari satu Tuhan dan cita-cita persaudaraan diantara manusia dengan manusia.
Sosialisme di dalam Islam bukan saja diajarkan sebagai teori, tetapi dilakukan (dipraktikkan) juga sebagai wajib.
  1.  Ide dan Faham Pemikiran Cokroaminoto
Berawal dari penjajahan Belanda yang mengeksploitasi Indonesia dari berbagai bidang mulai perdagangan, social-politik, pendidikan dan berbagai bidang lainnya. Muncul Sarekat Islam (kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam) sebagai pergerakan yang mengusung kemerdekaan dengan berbasiskan Islam. Tetapi pada masa perkembangan selanjutnya gagasan sosialisme Barat (sosialisme Karl Marx) yang telah merasuk ke dalam ‘tubuh’ SI mengakibatkan perpecahan SI itu sendiri. SI pun terbagi mejadi dua kubu yaitu (kemudian disebut) SI-Putih dengan SI-Merah. SI-Merah lebih cenderung pada sosialisme Karl Marx. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor timbulnya gagasan Sosialisme yang berdasarkan Islam oleh Cokroaminoto.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Humaidi (H.O.S Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia), terdapat perubahan pola pikir dalam diri Cokroaminoto. Oleh karena itu Humaidi menggunakan istilah “Cokro Muda” dan “Cokro Tua”. “Cokro Muda” adalah Cokroaminoto yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme dan memperjuangkan persatuan nasional. Sementara “Cokro Tua” adalah Cokroaminoto yang mulai berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Cokroaminoto. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Cokroaminoto berada dalam penjara. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan menarik pengikut dari kaum buruh tetapi usahanya ini gagal, Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektifnya bahwa nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain dan hal itu adalah Islam.
Sosialisme yang diinginkan oleh Cokroaminoto adalah sosialisme yang berdasarkan kepada ajaran agama Islam. Dasar sosialismenya merujuk pada Q.S Al Baqarah ayat 213 yang dalam terjemah bahasa Indonesianya berbunyi: “Manusia itu adalah umat yang satu” dan juga Q.S Al Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa kita ini telah diciptakan dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kita saling mengenal. Berdasarkan inilah Islam memandang masyarakat sebagai individu yang terkait dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lainnya.
Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Sosialisme (1924), Cokroaminoto menerangkan tentang 4 konsep Islam yaitu:
1)      Islam itu aslama maknanya taat kepada Allah, utusan-Nya, dan pada pemerintah. Seperti yang tercantum dalam Q.S An Nisa ayat 59.
2)      Islam itu salimun artinya selamat, maksudnya jika orang Islam menjalankan perintah agama niscaya ia akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
3)      Islam berasal dari kata salmi yang artinya rukun, maksudnya orang orang yang berpegang teguh pada agama Islam yang diwajibkan melaksanakan rukun, dan
4)      Islam berasal dari kata sullam yang artinya tangga, maksudnya orang Islam akan mencapai derajat yang tinggi manakala dapat menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh.
Ia menambahkan bahwa Islam telah menumbuhkan persaudaraan yang benar-benar harus dilaksanakan antara umat Islam di Negara manapun juga, baik yang berkulit putih, hitam, coklat, baik kaya maupun miskin. Persaudaraan dapat melenyapkan permusuhan. Ia kemudian menganalogikan dengan kehidupan masyarakat pada masa Rasulullah SAW. Menurutnya Islam dengan mekanisme zakat memberikan pelajaran tentang pemenuhan kebutuhan secara merata. Kedermawanan Islam ini termasuk dalam sosialisme Islam. Untuk mewujudkan sosialisme ada tiga dasar yang harus dilaksanakan yaitu:
1)      Membangun perasaan rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan umum.
2)      Membagi kekayaan sama rata dalam dunia Islam dengan mekanisme zakat, dan
3)      Menuntun perasaan orang supaya tidak menganggap kemiskinan itu suatu penghinaan karena itu lebih baik dari kejahatan.
Ide-ide dan gagasan Cokroaminoto banyak dituangkan dalam buku maupun tulisannya, diantara karyanya adalah sebagai berikut:
  1. Tafsir Program azas dan Progran Tanzim (1913), buku yang bernuansakan mistis tentang pengalaman religiusnya.
  2. Islam dan Sosialisme (1924), berisi tentang paparan Islam vis a vis dengan sosialisme.
  3. Moeslim National Onderwijs (1925), berisi tentang cita-cita kependidikan HOS Cokroaminoto.
  4. Regiment Umum Bagi Umat Islam (1937), tentang petunjuk-petunjuk menjalankan Islam yang seluas-luasnya.
  5. Tarikh Agama Islam yang berisi tentang sejarah umat Islam.
Demikianlah secara singkat tentang gagasan Sosialisme Islam yang diungkapkan oleh HOS Cokroaminoto.
  1. Biografi Singkat Soekarno
Ir. Soekarno, inilah presiden pertama   Indonesia, Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia  bersama  Bung  Hatta pada 17 Agustus  1945.[1]Ibunya bernama Idayu Nyoman Ray dan ayahnya bernama R. Soekemi Sosrodihardjo, kemudian kakaknya bernama Soekarmini. “Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, merupakan keturunan bangsawan. Soekarno mempunyai kakek yang ahli dalam ilmu gaib dan ahli kebatinan yang bernama Raden Hardjodikromo, dengan berhubungan terhadap kakeknya ini secara tidak langsung Soekarno mendapat ilmu kebatinan dalam menjalani karir politiknya kelak.
Presiden pertama Indoensia ini  diberi nama Kusno oleh Bapak-Ibunya, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Nama Kusno akhirnya dirubah menjadi Soekarno oleh orang tuanya karena sejak kelahirannya pada 6 Juni 1901 di Blitar Soekarno kecil sering sakit-sakitan, kepercayaan jawa mengubah nama adalah usaha untuk menghilangkan seringnya Soekarno kecil mengalami sakit-sakitan.
Selepas Sekolah Dasar Bung Karno sudah hidup mandiri, beliau melanjutkan sekolah di Surabaya yaitu HIS dan HBS. Selama di Surabaya beliau tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada akhirnya Bung Karno memperistri putri dari tokoh Syarikat Islam tersebut. Kemudian Bung Karno melanjutkan sekolah di THS, atau ITB sekarang ini. Sambil kuliah di THS Bung Karno aktif di kegiatan- kegiatan politik yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia, akibat dari kegiatannya itu sejak muda Bung Karno telah akrab dengan penjara, tentu penangkapan- penangkapan itu atas perintah pemerintah kolonial Belanda.[2]
Soekarno muda  tumbuh  menjadi pemuda yang revolusioner. Ketika mengambil kuliah di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi  ITB)  di Bandung ia  telah  aktif  dalam  pergerakan-pergerakan politik. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara politis menentang kolonialisme dan imperialisme, bahkan hal itu menggelisahkan profesornya.
Setelah lulus pada 1926 dari bangku kuliah Ir. Soekarno mendirikan PNI bersama teman-temanya Pandangan Soekarno muda ini  sangat menonjol, cita-citanya yang besar untuk Indonesia Merdeka adalah obor yang menyala-nyala dalam sanubarinya. Pada tahun 1926 pandangannya itu diwujudkan dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.  Kedaulatan Bangsa Indonesia adalah kemerdekaan dari Sabang hingga Merauke. Pada masa perjuangan fisik inilah Bung Karno tumbuh dan berkembang dan pada masa itu tidak hanya Indonesia yang berada pada cengkeraman kolonial tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika. Bung Karno melihat di semua negri terjajah, termasuk  di  indonesia,  perjuangan  melawan  kolonial  ini  ada  dua  warna  yang dominan yaitu dengan bendera Islam ataupun bendera Sosialis (Marxis). Bung Karno mengakui bahwa Islamisme dan Marxisme adalah ideologi yang lintas bangsa tetapi benang merah yang diambil oleh Bung Karno adalah semua perjuangan yang ada di berbagai negeri adalah sama yaitu untuk memerdekakan negrinya dari kolonialisme dan  imperialisme. Maka  dari  itu  Bung  Karno  selalu  menekankan bahwa  segala macam warna perjuangan yang ada di Indonesia adalah untuk Tanah Air Indonesia, semua harus bersatu, bahu-membahu demi Tanah Air tempat dimana Bangsa Indonesia hidup.
  1. Pemikiran Tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxis
Menurut Bung Karno, Islam, Marxis, dan semangat Nasionalis adalah roh perjuangan yang luar biasa. Bung Karno melihat ketiga hal tersebut ada di Indonesia dan mengkristal menjadi ideologi perjuangan melawan penjajah di mana pun. Maka, Bung Karno sangat menyayangkan perselisihan di antara ketiga golongan tersebut dan  menekankan perlunya kerja sama yang erat bagi ketiga golongan tersebut agar cita-cita kemerdekaan dapat diraih. Pada tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan  Marxisme, Bung  Karno  tampak  ingin  menjadi  penengah  juga pemersatu diantara ketiga golongan. Dari uraian-uraiannya Bung Karno berusaha menguraikan benang kusut yang ada di antara ketiga –isme dan meyakinkan kepada semua pihak  bahwa hanya dengan persatuan ketiga golongan  kaum kolonialis- imperialis di Indonesia bisa diusir.
Di berbagai kesempatan orasinya Bung Karno selalu menampilkan dirinya yang  nasionalis,  sekaligus  muslim,  dan  juga  seorang  kiri.  Ia  selalu  berusaha mengajak  bahwa  semua  golongan  adalah  bagian  dari  Indonesia  dan  harus bergotong-royong membangun negeri. Bung Karno mengajak semua pihak yang ada di tanah air ini, apapun warnanya, muara perjuangan harus untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia. Konsep penyatuan Nasionalis, Islamis, dan Marxis adalah sebuah eksperimen yang luar biasa dari Bung Karno untuk Indonesia, tetapi memang itulah yang diinginkan Bung Karno untuk Indonesia. Dalam perjalanannya konsep Nasionalis, Islamisme, dan Marxisme Bung Karno berubah menjadi  Nasakom;  Nasionalis,  Agama,  dan  Komunis.  Bung  Karno  memperluas konsep Islamisme menjadi Agama, yang harapanya semua agama bisa terwakili dalam konsep persatuannya tersebut. Bung Karno benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan ke-Bhineka-an tiga golongan ini menjadi Tunggal Ika, dalam balutan Ibu pertiwi walau sebenarnya Bung Karno sadar benar golongan- golongan ini rentan sekali bertikai karena perbedaan paham yang sangat lebar. Sekali lagi hal ini tampak sejak tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme diterbitkan, Bung Karno berkata, ”Bukannya kita mengharap yang nasionalis itu supaya berubah paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan tersebut.[3]
Dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme Bung Karno menyampaikan kepada para nasionalis untuk bekerja sama dengan golongan Islam dan Marxis. Di situ Bung Karno mengatakan, ”Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan, atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul  dari  kesombongan bangsa  belaka  nasionalis  yang bukan chauvinis,  harus menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu.
Masih dalam tulisan yang sama Bung Karno mengatakan, ”Bukankah, sebagai yang  sudah  kita  terangkan,  Islam  yang  sejati  mewajibkan  pada  pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat dianatara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam.” Bung Karno menegaskan kembali, ”...dimana-mana orang Islam bertempat disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya.”[4]
Bung Karno mengatakan bahwa dalam Islam juga terkandung tabiat-tabiatyang sosialistis maka dari itu seyogyanyalah kaum Islam harusnya mampu bekerja sama dengan kelompok Marxis, meski sosialisme dalam Islam memiliki asas yang berbeda yaitu spiritualisme sedangkan sosialisme dalam Marxis berdasar pada asas perbendaan, atau materialisme.
Bung Karno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme menyinggung pada kaum Marxis yang ingkar terhadap perjuangan kaum nasionalis dan kaum Islamis, Bung Karno mengajak Marxis Indonesia untuk bergabung dengan kedua golongan yang lain, ”Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru bahkan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh- sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berubah.”[5]
Bung Karno juga mengajak pada kaum Marxis untuk tidak membenci kaum agama (Islam) di Indoenesia karena kaum gereja di Eropa berbeda dengan kaum agama (Islam) di Indonesia. Bung Karno yang seorang Nasionalis sering berkata bahwa Bangsa Indonesia harus memiliki rasa cinta tanah air yang berkobar-kobar, tetapi tidak boleh memiliki rasa nasionalisme yang chauvinistis, nasionalisme yang diajarkan Bung Karno adalah nasionalisme yang merasa dirinya satu bagian dari seluruh peri kemanusiaan, yang kemudian sering disebut oleh Bung Karno sebagai sosio-nasionalisme. Pandangan nasionalisme Bung Karno inilah yang membuat dirinya dan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mau menerima semua golongan manusia yang ada di bumi Indonesia, yaitu golongan nasionalis, islamis, dan marxis.
  1. Pemikiran Politik Tentang Kapitalisme Dan Hubungannya Dengan Demokrasi Dan Nasionalisme
Dalam pengertiannya, kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup yang timbul dengan cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Dengan begitu, kapitalisme terjadi atas dasar perbedaan antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal yang terpisahkan dengan alat-alat produksi.
Kapitalisme memang timbul dari cara produksi yang mengakibatkan banyak sekali penindasan terhadap kaum buruh, sehingga dalam pandangan ini Soekarno sangat menentang dengan keras faham seperti ini, apalagi jika faham ini berada di Indonesia. Kapitalisme juga sebenarnya melahirkan imperialisme modern yang dapat membuat sebuah bangsa menjadi celaka.
Dari berbagai pengaruh negatif tersebut sebenarnya pengaruh kapitalisme telah ada di dalam bangsa sendiri, seperti timbulnya tuan-tuan tanah dan banyaknya kaum pekerja yang lemah, dengan demikian kapitalisme dapat hadir dalam bangsa sendiri dan memakan bangsa sendiri. Oleh karena itu, seharusnya bangsa Indonesia melakukan upaya-upaya yang baik dan benar agar sistem kapitalisme tidak dapat berkembang biak di bangsa ini. Upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara peningkatan nasionalisme di segala aspek kehidupan, hal ini akan menjadi cermin bahwa segala tindakan yang dilakukan semata-mata untuk bangsa dan negara Indonesia, bukan untuk kepentingan individu.
Selanjutnya, nasionalisme tidak akan terbentuk jika tidak ada sikap gotong-royong yang baik, dengan begitu sikap yang harus dimunculkan untuk mengembangkan rasa nasionalisme adalah sikap gotong-royong karena sikap ini akan memicu kerja keras yang sangat hebat di setiap kalangan sehingga tidak akan membeda-bedakan status sosial dan ekonomi, serta suku, agama, ras. Konsep gotong royong ini yang akan memberikan pengaruh positif dalam menimbulkan nasionalisme tersebut, sebab ketika konsep ini menjadi sebuah sistem dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka konsep ini akan menjadi kuat dan membentuk nasionalisme, dengan demikian kapitalisme tidak akan lahir dan berkembang. Selanjutnya, kapitlaisme bangsa sendiri pun akan musnah seiring dengan terbentuknya kekuatan dari bangsa sendiri ini untuk menghalau dari serangan kapitalisme yang mengakar.
  1. Pemikiran Soekarno Tentang Pancasila
Pemikiran Bung Karno yang brilian adalah Pancasila. Pancasila disampaikan oleh Bung Karno pada saat sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang tersebut adalah lanjutan sidang dari sidang-sidang sebelumnya yang  juga sempat mendengarkan usulan-usulan mengenai dasar negara seperti dari Dr. Soepomo, pada 31 Mei 1945.
Bung Karno menyampaikan bahwa perlu adanya sebuah dasar dari sebuah negara yang bersumber dari nilai-nilai asli suatu bangsa tersebut. Maka, untuk Indonesia Bung Karno menyampaikan lima asas yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa. Kelima asas tersebut kemudian disebut dengan Pancasila, yang artinya lima dasar atau lima asas. Dalam sidang BPUPKI tersebut Bung Karno juga menyampaikan bahwa kelima sila tersebut digali dari jatidiri bangsa Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 tersebut sebenarnya Bung Karno juga menawarkan alternatif dari Pancasila untuk diperas menjadi tiga  sila  saja, Trisila, yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan kemudian Bung Karno kembali menawarkan, Trisila tersebut bisa diperas kembali menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Gotong royong inilah  yang dianggap  Bung Karno sebagai nafas rakyat Indonesia dalam perjuangan.
Sampai saat ini terbukti bahwa Pancasila benar-benar sebuah dasar negara yang digali dari bumi pertiwi Indonesia, meski dalam perjalanan sejarahnya begitu banyak kerikil yang mengganggu, tapi Pancasila tetap diakui menjadi sebuah kalimat bersama bagi rakyat Indonesia, apapun golongannya.
Dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juli 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila ialah momentum bagi Soekarno dalam pembahasan mengenai ideologi yang akan dibawa oleh Indonesia. Dalam pandangan Soekarno pada saat pidato, Pancasila yang merupakan dasar dari bangsa dan negara Indonesia menganut sebuah fundamen, filsafat, dan pikiran yang sedalam-dalamnya, sebagai suatu jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.[6]
Dasar dari Pancasila tersebut menurut Soekarno adalah semua untuk semua yang mengandung arti bahwa Pancasila hadir dalam rangka mewadahi berbagai kelompok yang ada di Indonesia, jadi Pancasila tersebut bukan untuk satu golongan saja, akan tetapi sebenarnya cerminan dari keragaman berbagai perbedaaan yang ada di Indonesia.
Dengan demikian, telah dikemukakan bahwa pemahaman Soekarno dalam Pancasila didasari oleh sikap bangsa Indonesia pula agar terbentuk suatu rasa persatuan yang akan berimbas pada terbentuknya Indonesia merdeka. Pancasila juga sebenarnya menerapkan dimensi lain, yaitu suatu dimensi filosofis dalam tujuannya merangkai perbedaan yang ada di Indonesia. Dapat dilihat sebenarnya, bahwa perbedaan yang ada di Indonesia bukan untuk dijadikan dasar dari perselisihan yang terjadi, akan tetapi harus dijadikan sebuah hubungan kolektif yang dapat saling melengkap.








PENUTUP

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Sosialisme yang diinginkan oleh Cokroaminoto adalah sosialisme yang berdasarkan kepada ajaran agama Islam. Dasar sosialismenya merujuk pada Q.S Al Baqarah ayat 213 yang dalam terjemah bahasa Indonesianya berbunyi: “Manusia itu adalah umat yang satu” dan juga Q.S Al Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa kita ini telah diciptakan dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kita saling mengenal. Berdasarkan inilah Islam memandang masyarakat sebagai individu yang terkait dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lainnya.
Soekarno merupakan sosok yang sangat mencintai bangsanya, di usia muda ia selalu menekankan bahwa  segala macam warna perjuangan yang ada di Indonesia adalah untuk Tanah Air Indonesia, semua harus bersatu, bahu-membahu demi Tanah Air tempat dimana Bangsa Indonesia hidup. Soekarno dengan pemikirannya, melahirkan berbagai macam ide yang berhubungan dengan politik, salah satunya adalah pemikirannya tentang konsep Pancasila yang sampai sekarang masih relevan dengan konteks negara kesatuan republik Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA


Adams, Cindy, Bung Karno penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta:  Media Pressindo, 2007
Aning, Floriberta, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006
Soekarno, Ir., Di Bawah Bendera Revolusi, Yayasan Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964.
Tjokoroaminoto, HOS., Islam dan Sosialisme, Yogyakarta: TriDe, 2003.
Tunggul Alam, Wawan, Demokrasi Terpimpin: Milik rakyat Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001


                                                                      





[1] Cindy Adams, Bung Karno penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta:  Media Pressindo, 2007), h.21.
[2] www.wikippedia.com/soekarno.html/ , diakses 4 November 2014, 21:17 WIB
[3] Ir. Soekarno,  Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, hal. 5.
[4] Ibid, hal. 7
[5] Ibid, hal. 17-18.
[6] Floriberta Aning, ed., Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI(Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h. 116

No comments:

Post a Comment