BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proses kehidupan. Majunya
suatu bangsa dipengaruhi oleh mutu pendidikan dari bangsa itu sendiri karena
pendidikan yang tinggi dapat mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
Pendidikan yang dimaksud disini bukan bersifat nonformal melainkan bersifat
formal, meliputi proses belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa.
Peningkatan kualitas pendidikan dicerminkan oleh prestasi belajar siswa.
Sedangkan keberhasilan atau prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh kualitas
pendidikan yang bagus. Karena kualitas pendidikan yang bagus akan membawa siswa
untuk meningkatkan prestasi belajar yang lebih baik.
Pada saat proses belajar–mengajar berlangsung di
kelas, akan terjadi hubungan timbal balik antara guru dan siswa yang beraneka
ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu guru untuk mengontrol
bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa. Selama
pelajaran berlangsung guru sulit menentukan tingkah laku mana yang berpengaruh
positif terhadap motivasi belajar siswa, misalnya gaya mengajar mana yang
memberi kesan positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang dapat
membantu kejelasan konsep selama ini, metode dan model pembelajaran mana
yang tepat untuk dipakai dalam menyajikan suatu pembelajaran sehingga dapat
membantu mengaktifkan siswa dalam belajar.
Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa guru dituntut
untuk lebih kreatif dalam proses belajar – mengajar, sehingga tercipta suasana
belajar yang menyenangkan pada diri siswa yang pada akhirnya meningkatkan
motivasi belajar siswa. Salah satu alternatif untuk memperbaiki kondisi pembelajaran
yang dipaparkan di atas adalah model pembelajaran yang tepat bagi siswa serta
dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Hudojo (Purmiasa, 2002: 104)
mengatakan bahwa model pembelajaran akan menentukan terjadinya proses belajar
mengajar yang selanjutnya menentukan hasil belajar. Berhasil tidaknya proses
belajar mengajar tergantung pada pendekatan, metode, serta teknik mengajar yang
dilakukan oleh guru. Untuk itu, guru diharapkan selektif dalam menentukan dan
menggunakan model pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru harus
menguasai prinsip–prinsip belajar mengajar serta mampu menerapkan dalam proses
belajar mengajar. Prinsip – prinsip belajar mengajar dalam hal ini adalah
model pembelajaran yang tepat untuk suatu materi pelajaran tertentu.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu pengajaran discovery learning,
problem solving dan pengajaran berbasis proyek ?
2. Adakah
kelemahan dan kelebihan dari pengajaran discovery learning, problem solving dan pengajaran berbasis proyek
?
3. Bagaimana
peran guru dalam pengajaran discovery learning, problem solving dan pengajaran berbasis proyek
?
C.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
dibuatnya makalah ini adalah sebagai syarat pemenuhan tugas dalam mata kuliah
Strategi Pembelajaran. Dari penjelasan tentang discovery learning dalam makalah
ini juga memberikan manfaat baik langsung maupun tak langsung kepada pembaca.
Yakni manfaat pengetahuan tambahan mengenai discovery learning.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pengajaran Discovery Learning
Pencetus
dari pengajaran discovery learning adalah Jerome Bruner. Ia dilahirkan di
Amerika serikat, yang menjadikan dasar idenya adalah pendapat Piaget yang
menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar dikelas. Maka
dari itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebut Discovery Learning yaitu dimana
murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan satu bentuk akhir. Prosedur
ini berbeda dengan Receptiaon
Learning atau Expository
teaching dimana guru menerangkan semua informasi dan murid harus
mempelajari semua bahan dan informasi tersebut.
Penemuan
(discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan
pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur
atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Ensiklopedia of EducationalResearch, “penemuan
merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai
cara, termasuk mengajarkan berbagai keterampilan menyelidiki dan memecahkan
masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya”. Menurut
Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong untuk
belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa metode penemuan itu adalah suatu metode di mana dalam proses belajar
mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang
secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
Pengertian
discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong
siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum
praktis contoh pengalaman dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat
dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam
belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya
discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari
dengan suatu bentuk akhir.
Menurut Bell
(1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagia hasil dari siswa
memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian
sehingga ia menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat
membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan
kebenaran dengan menggunakan proses induktif atau proses dedukatif, melakukan
observasi dan membuat ekstrapolasi. Pembelajaran penemuan merupakan salah satu
model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada
pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui
keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong
siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri. Belajar penemuan mengakibatkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan
jawaban. Lagi pula metode ini dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan
memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk
menganalisis dan memanipulasi, tidak hanya menerima saja.
Pembelajaran
Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa
sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui
pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.Dalam pembelajaran
discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil penemuan
ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier
(Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau
proses semata – mata ditemukan oleh siswa sendiri.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah
suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan
sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan
lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan,
anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem
yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.
B.
Tujuan
Pembelajaran Discovery Learning
Bell (1978)
mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni
sebagai berikut:
1. Dalam
penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam
pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa dalam
pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
2. Melalui
pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi
konkrit maupun abstrak,
juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang
diberikan.
3. Siswa juga
belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya
jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
4. Pembelajaran
dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif,
saling membagi informasi, serta mendengar dan mneggunakan ide-ide orang lain.
5. Terdapat
beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep
dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
6. Keterampilan
yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih
mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar
yang baru.
C.
Strategi
dalam Pembelajaran Discovery Learning
Dalam pembelajaran
dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Strategi
Induktif
Strategi ini terdiri dari dua
bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi
(kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti,
hanya merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan
menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan
itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi
induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan “barangkali” atau “mungkin”.
2. Strategi
deduktif
Dalam matematika metode deduktif
memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi
argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang
peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang
bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan
untuk menemukan konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya.
D.
Peran
Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning
Strategi
belajar Discovery paling baik
dilaksanakan dalam kelompok belajar yang kecil. Namun dapat juga dilaksanakan
dalam kelompok belajar yang lebih besar. Kendatipun tidak semua siswa dapat terlibat
dalam proses Discovery, namun
pendekatan Discovery dapat memberikan
manfaat bagi siswa yang belajar. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi satu arah atau komunikasi dua arah, bergantung pada besarnya kelas.
1.
Sistem Satu Arah (Ceramah Efektif)
Pendekatan satu arah berdasarkan penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang dilakukan guru.
Struktur peyajiannya dalam bentuk usaha merangsang siswa melakukan proses discovery didepan kelas. Guru mengajukan
suatu masalah, dan kemudian memecahkan masalah tersebut melalui langkah-langkah
discovery. Caranya adalah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk
melakukan refleksi. Selanjutnya guru menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan
yang diajukannya itu. Dalam posedur ini, guru tidak menentukan/menunjukan
aturan-aturan yang harus digunakan oleh siswa, tetapi dengan
pertanyaan-pertanyaan guru mengundang siswa untuk mencari aturan-aturan yang
harus diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah demi selangkah
dalam urutan yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru mengharapkan agar siswa
secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Dalam keadaan
ini, sesungguhnya tidak ada jaminan bahwa adanya penyajian oleh guru.
Penggunaan discovery dalam kelompok
kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru sendiri, serta waktu
dan kemampuan mengantisipasi kesulitan siswa.
2.
Sistem Dua Arah (Discovery
Terbimbing)
Sistem dua
arah melibatkan siswa dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan Discovery,
sedangkan guru membimbing mereka kearah yang tepat/benar. Gaya pengajaran
demikian, oleh Gagne disebut Guide
Discovery, sekalipun didalam kelas yang terdiri dari 20 sampai 30 orang
siswa. Hanya beberapa orang saja yang benar-benar melakukan Discovery, sedangkan yang lainnya
berpartisipasi dalam proses Discovery misalnya
dalam sistem ceramah reflektif. Dalam kelompok yang lebih kecil, guru dapat
melibatkan hampir semua siswa dalam proses itu. Dalam sistem ini, guru perlu
memiliki keterampilan memberikan bimbingan, yakni mendiagnosis kesulitan-kesulitan
siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi. Namun
demikian, tidak berarti guru menggunakan metode ceramah reflektif sebagai mana
halnya pada strategi diatas.
Dahar (1989)
mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni
sebagai berikut:
1. Merencanakan
pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah
yang tepat untuk diselidiki para siswa.
2. Menyajikan
materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk
memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada
pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan menggunakan
fakta-fakta yang berlawanan.
3. Guru juga
harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif, ikonik, dan simbolik.
4. Bila siswa
memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya
berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan
mengungkapkan terlebuh dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi
ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor, guru
sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.
5.
Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam
belajar penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari
generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisai-generalisasi itu.
E.
Konsep
Belajar dalam Metode Discovery Learning
1.
Teori Kategorisasi dalam Metode Discovery Learning
Dihubungkan antara teori generalisasi dalam metode Discovery
Learning, menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam metode Discovery Learning
merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat
memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang
kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa sebenarnya Discovery adalah
pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding.
Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian
dalam artian relasi-relasi (similaritas & differenc) yang terjadi diantara
obyek-obyek dan kejadian-kejadian (event) (Lefancois dalam Emetembun,
1986:104).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi
memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila
mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:
a.
Nama.
b.
Contoh-contoh baik yang
positif maupun yang negatif.
c.
Karakteristik, baik
yang pokok maupun tidak.
d.
Rentangan
karakteristik.
e.
Kaidah (Budiningsih,
2005:43).
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua
kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda
pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan
contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep
sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya,
yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan
penemuan konsep (Budiningsih, 2005:42).
Dalam pembentukan suatu konsep ada empat dasar untuk
mendefinisikan perkataan yang menunjukkan konsep, yaitu berdasarkan:
a. Sifat sifat yang dapat diukur atau dapat diamati.
b. Sinonim, antonim dan makna semantik lain.
c. Hubungan-hubungan logis dan aksioma atau definisi dari sudut
ini tidak secara langsung menunjuk sifat-sifat tertentu.
d. Manfaat atau gunanya (Slameto, 2003:140).
2. Metode
Discovery Learning dan Pembentukan Code-Code Generic
Diatas telah dideskripsikan relasi diantara belajar Discovery
dan pembentukan kode-kode generic (general atau umum). Bahwa discovery mencakup
pembentukan system-sistem coding (pengkodean) termasuk kondisi-kondisi, yang
paling memungkinkan terbentuknya kode-kode generic, juga yang paling
memungkinkan Discovery yang menyenangkan.
Bruner mendeskripsikan 4 kondisi-kondisi yang memungkinkan pembentukan
kode-kode generic, adlah :
1. Set
Menyangkut
predisposisi yang dimiliki seorang individu untuk bereaksi dengan cara-cara
tertentu. Seorang yang
berorientasi discovery (discovered oriented) ialah orang yang kebiasaan
pendekatannya terhadap suatu problema mengandung mencari relasi-relasi diantara
item-item informasi yang ia miliki. Jelaslah, salah satu cara mempengaruhi set
ialah melalui penggunaan instruksi-instruksi. Misalnya merangsang seorang murid
mengingat bahan pelajaran yang telah diajarkan dengan disuruh menyebutkan
informasi-informasi yang terbatasi. Efek yang sama dapat diprodukasi dengan
testing hanya terhadap pengetahuannya mengenai informasi-informasi yang
terbatasi. Disamping itu, murid tersebut dapat diarangsang melihat
relasi-relasi diantara item-item informasi baik melalui instruksi-instruksi
untuk dilakukan maupun dengan mengatakan pengertianya terhadap relasi-relasi
itu.
2. Need state
Menyangkut
tingkat arousal (bangkitnya) pelajar excitation atau alertness (tersentak atau
terjaga). Bruner menyatakan bahwa tingkat arousal yang moderat lebih kondusif
bagi pembentukan kode-kode generic dari pada tingkat arousal yang amat tinggi
atau sangat rendah. Untuk menunjang pandangan ini, Bruner menunjuk eksperimen
tikus-tikus lapar dalam maze-transfer kendatipun masih dipertanyakan similarity
antara maze-transfer pada tikus-tikus dan pembentukan kode-kode generic pada
manusia.
3. Mastery of specifies
Menyangkut
sejauhmana pengetahuan pelajar mengenai informasi relevan yang specifik. Bruner
menyetujui bahwa discovery (dalam artian pembentukan kode-kode generic)
bukanlah suatu even yang fortuitorus (mendadak). Hal itu dapat terjadi bila
individu dipersiapkan dengan baik. Makin luas informasi yang dimiliki seorang
pelajar, makin lebih mampu ia menemukan relasi-relasi di dalam informasi itu.
Variable ke 4 berkaitan dengan hal ini.
4.
Diversity of training
Diversity
of Training, Variable ini berkaitan dengan kemampuan pelajar menemukan relasi-relasi
di dalam informasi-informasi yang dimiliki. Maka seorang pelajar yang doekspos
terhadap informasi dalam beraneka keadaan dapat lebih mengembangkan kode-kode
untuk mengorganisasi informasi itu. Menurut pengarang (Lefrancois), bahwa
“…..learning which is not discovery oriented….must be…meaningless, passive rate
learning” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:106-108).
F.
Lingkungan Belajar dalam Metode Discovery Learning
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi
aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan.
Untuk menunjang proses belajar
lingkungan perlu memfasilitasi rasa ingin tahu siswa
pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment,
ialah lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan
baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui
(Slameto, 2003:11). Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif
harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat
berkembangan kognitif siswa, sebagaimana pendapat Bruner, bahwa:
Bruner almost always begins with a focus on the
production and manipulating of materials. He describe the child as moving
through three levels or representation. The first levels is the enactive level,
where the child manipulates materials directly. He then progresses to the
iconic levels, where he deals with mental images of objects but does not
manipulate them directly. Finally he moves to the symbolic level, where he is
strictly manipulating symbols and no longer mental images of objects (Allyn dan
Bocon, 1974:193).
Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi
kemampuan siswa dalam berfikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang
terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lebih tepatnya
menggambarkan lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.
1. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam
upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
2. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya
melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan
(komparasi).
3. Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam
berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui
simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya
dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak
berarti ia tidak menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam
kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem
enaktif dan ikonik dalam proses belajar (Budiningsih, 2005:41-42).
Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive,
iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia
bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya
dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia
menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa
untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
G.
Desain Kurikulum Discovery Learning
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai
tahap perkembangan orang tersebut. Selain itu untuk memfasilitasi pembentukan
konsep, kode-kode generic maka perlulah suatu kurikulum yang koheren dengan
metode Discovery Learning.Gagasan Bruner tentang bentuk suatu kurikulum yang
sejalan dengan pendekatan Discovery Learning adalah mengenai kurikulum spiral
(a spiral curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran
tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari
mengajarkan materi secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan
materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci (Budiningsih, 2005:42).
Kurikulum spiral dipandang dari pola desain kurikulum, berdasarkan pada
pengorganisasian bahan ajar (subject matter) maka termasuk subject centered
design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar (Syaodih,
113:2001).
Dimana karakteristik kurikulum Bruner adalah, bahwa: kurikulum
dari suatu mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian yang sangat
fundamental bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang
memberikan struktur bagian mata pelajaran itu (Dalyono, 2001:42). Menurut
pengertian tersebut kurikulum spiral juga dapat dikategorikan sebagai kurikulum
diciplin design yang menekankan agar siswa memahami logika atau struktur dasar
suatu disiplin, memahami konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting,
juga di dorong untuk memahami cara mencari dan menemukannya (models of inquiry
and discovery) (Syaodih, 116:2001). Sehingga siswa dapat memahami bahan
pelajaran dengan tidak mengalami kebingungan karena materi yang diberikan
sesuai dengan tingkat perkembangan dan daya tangkap siswa, sesuai dengan tahap
enaktif, ikonik dan simbolik.
H.
Kelemahan
dan Kelebihan
Pembelajaran Discovery Learining
Kelemahan
dari pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut :
1.
Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya
kesalah fahaman antara guru dengan siswa.
2.
Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan
mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator,
dan pembimbing siswa dalam belajar. Untuk seorang guru ini bukan pekerjaan yang
mudah karena itu guru memerlukan waktu yang banyak. Dan sering kali guru merasa
belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan membimbing siswa belajar
dengan baik.
3.
Menyita pekerjaan guru.
4.
Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
5.
Tidak berlaku untuk semua topik .
Kelebihan dari
pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut :
1.
Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan
masalah (problem solving)
2.
Dapat meningkatkan motivasi
3.
Mendorong keterlibatan keaktifan siswa
4.
Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab ia
berpikir dan menggunakan kemampuan
untuk menemukan hasil akhir.
5.
Menimbulkan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat
6.
Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya keberbagai
konteks.
7.
Melatih siswa belajar mandiri
I.
Aplikasi
Pembelajaran Discovery Learning di Kelas
Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model
Discovery Learning adalah sebagai berikut :
Seorang guru
bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas harus
melakukan beberapa persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner,
yaitu:
a.
Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan
identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya).
c. Memilih
materi pelajaran.
d. Menentukan
topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh
generalisasi).
e. Mengembangkan
bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya
untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur
topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke
abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan
penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam
Budiningsih, 2005:50).
Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model Discovery
Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
1.
Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada
sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba
dalam Affan, 1990:198).
Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan,
atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat
permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.
2.
Problem statement (pernyataan/
identifikasi masalah).
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya
adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244).
3.
Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244).
Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak
hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan
(collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati
objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya
(Djamarah, 2002:22).
4.
Data processing (pengolahan data).
Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan
kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik
melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Data processing
disebut juga dengan pengkodean coding atau kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan
mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban atau penyelesaian yang
perlu mendapat pembuktian secara logis.
5.
Verification (pentahkikan atau pembuktian).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
6.
Generalization (menarik kesimpulan atau generalisasi)
Tahap generalitation atau menarik kesimpulan
adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan
berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil
verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi
tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu
(Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-prinsip
yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).
J.
STRATEGI PENGAJARAN
PROBLEM SOLVING
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan
metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi
berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah
kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Orientasi pembelajarannya
adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Belajar pemecahan masalah terjadi bila individu menggunakan
berbagai konsep atau prinsip untuk menjawab suatu pertanyaan, misalnya: mengapa
harga bahan bakar minyak naik, mengapa minat masuk perguruan tinggi menurun. Proses
pemecahan masalah selalu bersegi jamak dan satu sama lain saling berkaitan.
Urutan
jenis-jenis belajar tersebut merupakan tahapan belajar yang bersifat hierarkis.
Jenis belajar yang pertama merupakan prasyarat bagi berlangsungnya jenis
belajar berikut. Seorang individu tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan
masalah apabila individu tersebut belum menguasai belajar aturan, konsep,
membedakan, dan seterusnya.
Metode Problem Solving (metode pemecahan
masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu
metode berpikir, sebab dalam problem
solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dengan mencari
data sampai kepada menarik kesimpulan. Belajar Pemecahan Masalah mengacu pada
proses mental individu dalam menghadapi suatu masalah untuk selanjutnya
menemukan cara mengatasi masalah itu melalui proses berpikir yang sistematis
dan cermat. Penggunaan metode ini dengan
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Adanya masalah yang jelas untuk
dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf
kemampuannya.
b.
Mencari data atau keterangan yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca
buku-buu, meneliti, bertanya, dan lain-lain.
c.
Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut.
Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada
langkah kedua diatas.
d.
Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam
langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betu-bet yakin
bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban
sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini
tentu saja diperukan metode-metode lainnya seperti demonstrasi, tugas diskusi,
dan lain-lain.
e.
Menarik kesimpulan. Artinya siswa
harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Catatan: Metode problem
solving akan melibatkan banyak kegiatan sendiri dengan bimbingan dari para pengajar.
Metode Problem Soving mempunyai
kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:
1. Kelebihan Metode Problem Solving
a.
Metode ini dapat membuat pendidikan
di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia
kerja.
b.
Proses belajar mengajar melalui pemecahan
masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara
terampil, apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan dalam keluarga,
bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakana bagi
kehidupan manusia.
c.
Metode ini merangsang pegembangan
kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses
belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari
berbagai segi dalam rangka mencari pemecahan.
d.
Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
e.
Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.
f.
Mengidentifikasi dan melakukan
penyelidikan.
g.
Menafsirkan dan mengevaluasi hasil
pengamatan.
2.
Kekurangan Metode Probem Solving
a. Menentukan suatu
masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat
sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki
siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. Sering orang
beranggapan keliru bahwa metode pemecahan masalah hanya cocok untuk SLTP, SLTA,
dan PT saja. Padahal, untuk siswa SD sederajat juga bisa dilakukan dengan
tingkat kesulitan permasalahan yang sesuai dengan taraf kemampuan berpikir
anak.
b. Proses belajar
mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup
banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain.
c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan
mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak
berpikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang
memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.
d. Beberapa
pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya
alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta
akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
Agar siswa dapat berhasil dalam belajar pemecahan masalah,
mereka harus memiliki:
1.
kemampuan mengingat konsep, aturan
atau hokum yang telah dipelajari. Misalnya, dalam memecahkan masalah yang
berhubungan dengan matematika, siswa harus mampu mengingat aturan-aturan
perhitungan dan dapat mengingatnya dalam waktu yang cepat.
2.
inforamsi yang terorganisasi yang sesuai dengan masalah
yang dihadapi, serta
3.
kemampuan strategi kognitid, yaitu
kemampuan yang berfungsi untuk mengarahkan dan memonitor penggunaan
konsep-konsep atau aturan. Misalnya kemampuan dalam memilih dan mengubah
cara-cara mempelajari, mengingat, dan memikirkan sesuatu. Kemampuan ini merupakan keterampilan
internal ang terorganisasi, yang memperngaruhi proses berpikir individu. Contoh
kemampuan strategi kognitif adalah cara menganalisis masalah, teknik berpikir,
pendekatan masalah, dan sebagainya. Fungsi dari strategi kognitif adalah
memecahkan masalah secara praktis dan efisien.
Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar pemecahan
masalah, guru hendaknya mengajukan berbagai permasalahan yang menarik. Masalah
yang menarik bagi siswa adalah sesuatu yang baru. Dalam arti, masalah tersebut
belu pernah disampaikan kepada siswa. Di samping itu, masalah yang diberikan
hendaknya berada dalam jangkauan siswa, yakni sesuai dengan pengetahuan dan
keterampilan yang telah mereka miliki.
Agar siswa berhasil dalam belajar pemecahan masalah, guru
hendaknya memberikan petunjuk yang jelas kepada siswa. Petunjuk tersebut dapat
berupa pertanyaan yang diajukan untuk mengingat kembali konsep, hokum, atau aturan
yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Petunjuk tersebut dapat juga berupa
bimbingan dalam mengarahkan pemikiran siswa.
K.
Pengajaran Berbasis Proyek atau Tugas
Pembelajaran berbasis proyek atau
tugas adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
pengumpulan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya
dalam beraktivitas secara nyata.
Pembelajaran berbasis proyek/tugas
(project-based/task learning) membutuhkan suatu pendekatan pengajaran
komprehensif di mana lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat
melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah autentik termasuk pendalaman
materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna
lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri
dalam mengkostruksikannya dalam produk nyata (Buck Institue for Eduction,
2001).
Dalam pembelajaran berbasis proyek,
siswa diberikan tugas atau proyek yang kompleks, cukup sulit, lengkap, tetapi
realistik dan kemudian di be rikan bantuan secukupnya agar mereka dapat
menyelesaikan tugas. Di sam ping itu, penerapan strategi pembel ajaran berbasis
proyek/ tugas ini mendo rong tumbuhnya kompetensi nurturant seperti
kreativitas, ke mandirian, tanggung jawab, keper cayaan diri, dan berpikir
kritis dan analitis.
Dari berbagai karakteristiknya,
Pembelajaran Berbasis Proyek didukung teori-teori belajar
konstruktivistik.Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat
dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa peserta didik membangun pengetahuannya
sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri.
Dalam konteks pembaruan di bidang teknologi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Proyek dapat
dipandang sebagai pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong
pebelajar mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman
langsung. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan
ide-ide pebelajar sebagai bentuk alternatif pemecahan masalah riil tertentu,
dan pebelajar mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung.
Menurut banyak literatur,
konstruktivisme adalah teori belajar yang bersandar pada ide bahwa pebelajar
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks pengalaman mereka
sendiri (Murphy, 1997; Brook & Brook, 1993, 1999; Driver & Leach, 1993;
Fraser, 1995). Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kegiatan aktif
pebelajar dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”), ketimbang pasif
“menerima” pengetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar bukanlah murni
fenomena stimulus-respon sebagaimana dikonsepsikan para behavioris, akan tetapi
belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri sendiri (self-regulation)
dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi (von
Glaserfeld, dalam Murphy, 1997). Kegiatan nyata yang dilakukan dalam proyek
memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan mendekatkan
hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang melatarinya
yang diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam (Barron,
Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and
Technology Group at Vanderbilt, 1998).
Hal ini menunjukkan bahwa
Pembelajaran Berbasis Proyek, yang mendasarkan pada aktivitas dunia nyata,
berpotensi memperluas dan memperdalam pengetahuan konseptual dan prosedural
(Gagne, 1985), yang pada khasanah lain disebut juga knowing that dan knowing
how (Wilson, 1995). Knowing ‘that’ and ‘how’ is not sufficient without the
disposition to ‘do’ (Kerka, 1997). Perluasan dan pendalaman pemahaman
pengetahuan tersebut dapat diamati dengan mengukur peningkatan kecakapan
akademiknya.
Peranan guru yang utama adalah
mengendalikan ide-ide dan interpretasi siswa dalam belajar, dan memberikan
alternatif-alternatif melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen.
1.
Katakteristik pembelajaran berbasis
proyek / tugas
Pembelajaran berbasis proyek
memiliki potensi yang besar untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih
menarik dan bermakna bagi siswa ( Gear, 1998). Sedangkan menurut Buck Institute
For Education (1999)dalam Made (2000, 145) belajar berbasis proyek memiliki
karakteristik yaitu :
a.
Siswa membuat keputusan dan membuat
kerangka kerja
b.
Terdapat masalah yang
pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya
c.
Siswa merancang proses untuk
mencapai hasil
d.
Siswa bertanggunga jawab untuk
mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan
e.
Siswa melakukan evaluasi secara
kontinu
f.
Siswa secara teratur melihat kembali
apa yang meraka kerjakan
g.
Hasil akhir berupa produk dan di
evaluasi kualitasnya
h.
Kelas memiliki atmosfir yang
memberikan toleransi kesalahan dan perubahan.
2.
Ciri – ciri dan Prinsip Pembelajaran
Berbasis Proyek atau Tugas
Ada lima criteria apakah suatu pembelajaran berproyek
termasuk pembelajaran berbasis proyek , lima criteria itu yaitu :
a.
Keterpusatan ( centrality)
Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah pusat atau
inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum ,didalam pembelajaran proyek adalah
strategi pembelajaran, pelajaran mengalami dan belajar konsep – konsep inti
suatu disiplin ilmu melalui proyek. Model ini merupakan pusat strategi
pembelajaran, dimana siswa belajar konsep utama dari suatu pengetahuan melalui
kerja proyek. Oleh karna itu, kerja proyek bukan merupakan praktik tambahan dan
aplikasi praktis dari konsep yang sedang dipelajari , melainkan menjadi sentral
kegiatan pembelajaran dikelas.
b.
Berfokus pada pertanyaan atau
masalah
Proyek
dalam PBL adalah berfokus pada pertanyaan atau masalah , yang mendorong pelajar
menjalani (dalam kerja keras ) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau
pokok dari disiplin.
c.
Investigasi konstruktif atau desain
Proyek
melibatkan pelajaran dalam investigasi konstruktif dapat berupadesain,
pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, deskoveri akan
tetapi aktifitas inti dari proyek ini harus meliputi transformasi dan kontruksi
pengetahuan
d.
Bersifat otonomi pembelajaran
Lebih
mengutamakan otonomi, pilihan waktu kerja dan tanggung jawab pelajaran terhadap
proyek
e.
Bersifat realisme
Pembelajaran berebasis proyek melibatkan tantangan kehidupan
nyata , berfokus pada pertanyaanatau masalah autentik bukan simulative dan
pemecahannya berpotensi untuk diterapkan dilapangan yang sesungguhnya.
3.
Pelaksanaan pembelajaran berbasis
proyek atau tugas
Berdasarkan kegiatan pengajar dan pelajar dalam pendekatan
PBL, maka PBL yang akan dibuat di dalam lingkungan web terbagi dalam tiga
tahapan yakni persiapan, pembelajaran dan evaluasi, tetapi dari tiga tahapan
tersebut dapat dideskripsikan menjadi enam tahapan sebagai berikut
a. Persiapan
Pengajar merancang desain atau membuat kerangka proyek yang
bermanfaat dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pelajar dalam
mengembangkan pemikiran terhadap proyek tersebut sesuai dengan kerangka yang
ada, dan menyediakan sumber yang dapat membantu pengerjaannya. Hal ini akan
mendukung keberhasilan pelajar dalam menyelesaikan suatu proyek dan cukup
membantu dalam menjawab pertanyaan, beraktifitas dan berkarya. Kerangka menjadi
sesuatu yang penting untuk dibaca dan digunakan oleh pelajar. Oleh karenanya,
pengajar harus melakukan perannya dengan baik dalam menganalisa dan
mengintegrasikan kurikulum, mengumpulkan pertanyaan, mencari web site atau
sumber yang dapat membantu pelajar dalam menyelesaikan proyek, dan menyimpannya
di dalam web.
b. Penugasan/menentukan
topik.
Sesuai dengan tugas proyek yang diberikan oleh pengajar
maupun pilihan sendiri, pelajar akan memperoleh dan membaca kerangka proyek,
lalu berupaya mencari sumber yang dapat membantu. Dengan berdasar pada
referensi alamat web yang berisi materi relevan, pelajar dengan cepat dan
langsung mendapatkan materi yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan
proyek. Lalu pelajar berupaya berpikir dengan kemampuannya berdasar pada
pengalaman yang dimiliki, membuat pemetaan topik, dan mengembangkan gagasannya
dalam menentukan sub topik suatu proyek.
c.
Merencanakan kegiatan.
Pelajar bekerja dalam proyek
individual, kelompok dalam satu kelas atau antar kelas. Pelajar menentukan
kegiatan dan langkah yang akan diambil sesuai dengan sub topiknya, merencanakan
waktu pengerjaan dari semua sub topik dan menyimpannya di dalam web. Jika
bekerja dalam kelompok, tiap anggota harus mengikuti aturan dan memiliki rasa
tanggungjawab. Sedangkan pengajar berkewajiban menyampaikan isi dari rencana
proyeknya kepada orang tua, sehingga orang tua dapat ikut serta membantu dan
mendukung anaknya dalam menyelesaikan proyek.
d. Investigasi
dan penyajian.
Investigasi disini termasuk kegiatan
: menanyakan pada ahlinya melalui e-mail, memeriksa web site, dan saling tukar
pengalaman dan pengetahuan serta melakukan survei melalui web. Dalam
perkembangannya, terkadang berisi observasi, eksperimen, dan field trips.
Diskusi dapat dilakukan secara sinkron dan asinkron melalui chating. Lalu
penyajian hasil dapat berupa gambar, tulisan, diagram matematika, pemetaan dan
lain-lain. Secara rutin, orang tua dan pengajar berkomunikasi untuk memantau
kegiatan dan prestasi yang dicapai oleh pelajar.
e. Finishing.
Pelajar membuat laporan, presentasi, halaman web, gambar,
dan lain-lain. Sebagai hasil dari kegiatannya. Lalu pengajar dan pelajar
membuat catatan terhadap proyek untuk pengembangan selanjutnya. Peserta
menerima feedback atas apa yang dibuatnya dari kelompok, teman, dan pengajar.
Fasilitas feedback online disajikan untuk memungkinkan setiap individu secara
langsung berkomentar dan memberikan kontribusi, dan agar dilihat dan bermanfaat
bagi orang lain.
f. Monitoring/Evaluasi.
Pengajar menilai semua proses pengerjaan proyek yang
dilakukan oleh tiap pelajar berdasar pada partisipasi dan produktifitasnya
dalam pengerjaan proyek.
4.
Kesimpulan
Pembelajaran berbasis proyek / tugas
adalah sebuah metode penyajian bahan pembelajaran yang diberikan oleh guru
kepada peserta didik berupa seperangkat tugas yang harus dikerjakan peserta
didik, baik secara individual maupun secara kelompok.
Penggunaan metode yang tepat akan
turut menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran dan memberikan
kesempatan peserta didik melakukan sendiri kegiatan belajar yang ditugaskan.
empat prinsip berikut ini akan membantu siswa dalam perjalana mereka menjadi
pembelajar mandiri yang efektif.
a.
Membuat tugas bermakna, jelas, dan
menantang
Salah satu tantangan paling sukar yang dihadapi guru pada
saat mereka menggunakan pekerjaan kelas atau pekerjaan rumah adalah menjaga
siswa tetap terlibat. Pada saat bekerja sendiri, sangat mudah bagi sisa untuk
kehilangan minat dan melalukan tindakan yang tidak relevan, khususnya apabila
tugas-tugas itu rutin.
Kebanyakan guru setuju bahwa tugas pekerjaan kelas dan
pekerjaan rumah mandiri yang dapat mempertahankan keterlibatan siswa memiliki
tujuan yang jelas. Siswa perlu mengetahui dengan tepat apa yang mereka harus
kerjakan, mengapa mereka mengerjakan pekerjaan itu, dan apa yang
dibutuhkanuntuk menyelsaikan pekerjaan itu. Siswa-siswa itu tetap berada dalam
tugas selama pekerjaan kelas dan menyelesaikan pekerjaan rumah apabila mereka
menyikapi tugas-tugas tersebut secar bermakna.
Linda Anderson (1985) menunjukan bahwa guru jarang menaruh
perhatian pada tujuan pekerjaan kelas atau strategi-strategi belajar yang
telibat. Sebaliknya, guru menekankan pada arahan-arahan procedural. Sebagai
contoh guru dpat menghabiskan waktu banyak menjelaskan kepad siswa di mana
menulis nama di kertas atau bagaimana menyusun jawaban-jawabannya. Sementar
petunjuk-petunjuk tentang “apa yang dilakukan” adalah penting guru tidak menyertakan
penjelasan tentang “mengapa” sesuatu harus dikerjakan dan proses-proses
pembelajaran yang terlibat. Sebelum memberikan suatu tugas, guru hendaknya
mempertimbangkan cirri penting itu secara seksama dan kemudian menyediakan
waktu cukupuntuk menjelaskan cirri penting itu kepada siswa.
b.
Menganekaragamkan Tugas-tugas
Sama dengan kehidupan pada umumnya, keanekaragaman menambah
daya tarik tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah.siswa kemungkinan besar
ttap terlibata dan mengerjakan pekerjaan mereka jika tugas-tugas lebih
bervariasi dan menarik daripada rutindan monoton. Guru yang efektif mengubah
panjang dan cara tugas yang diberikan di samping hakikat tugas beljar dan
strategi-strategi kognitif yang telibat. Membaca di dalam hati, laporan
proyek-proyek khusus, dan bahan-bahan multimedia menawarkn berbagai macam cara
untuk menyelesaikan pekerjaan mandiri. Pilihan kemungkinan tidak terbatas dan
tidak aka alasan bagi guru untuk membuat jenis tugas yang sama dari hari ke
hari.
c.
Menaruh Perhatian pada Tingkat
Kesulitan
Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas
yang diberikan kepada siswa merupakan suatu bahan baku penting untuk
keterlibatan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas
tersebut. Apabila siswa diharapkan untuk bekerja secara mandiri, tugas tesebut
sehrusnya memiliki tingkat kesulitan yang menjamin kemungkinan berhasil tinggi.
Siswa tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang diberikan guru terlalu
mudah. Mereka menyikapi tugas-tugas seperti sebagai pekerjaan yang tidak
menantang. Pada umumnya tugas yang baik perlu memiliki tingkat kesulitan cukup
sehingga kebanyakan siswa memandangnya sebagai sesuatu yang menantang, namun
cukup mudah sehingga kebanyakan siswa akan menemukan pemecahannya dan
mengerjakan tugas tersebut atas jerih payah sendiri.
d.
Memonitor Kemajuan Siswa
Akhirnya, merupakan hal penting bagi guru untuk memonitor
tugas-tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah. Monitoring hendaknya meliputi
pengecekan untuk mengetahui apakah siswa memahami tugas mereka dan
proses-proses kognitif yang telibat. Monitoring ini juga termasuk pengecekan
pekerjaan siswa dan mengembalikan tugas dengan umpan balik. Pad saat beberfapa
siswa diberikan pekerjaan kelas, maka guru dapat bekerja dengan siswa lain.a
dianjurkan agar guru menyediakan waktu 5 atau 10 menit untuk berkeliling di
antara siswa yang bekerja untuk memastikan apakah mereka memahami tugas
tersebut sebelum menangani siswa-siswa lain. Apabila siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok, maka guru hendaknya berada dalam kelompok-kelompok tersebut
secara bergantian dan berkeliling di antara siswa yang bekerja secara mandiri.
Meskipun mengoreksi tugas menghabiskan waktu, hendaknya guru mengoreksi
pekerjaan yang dibuat siswa dan mengembalikan kepda mereka dengan umpan balik.
Kompetensi yang dikembangkan selain
kompetensi disiplin ilmu (discipline-based competencies) dan kompetensi
interpersonal (interpersonal competencies ) dan kompetensi intrapersonal (
intrapersonal competencies) dalam diri siswa. Kompetensi disiplin ilmu berkaitan
dengan pemahaman konsep, prinsip dan teori dari disiplin ilmu. Kompetensi
interpersonal mencakup kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berperilaku
sopan dan baik, menangani konflik, bekerjasama, membantu orang lain, dan
menjalin hubungan dengan orang lain dan masyarakat. Kompetensi intrapersonal
mencakup apresiasi terhadap keragaman, melakukan refleksi diri, disiplin,
beretos kerja tinggi, membiasakan diri hidup sehat, mengendalikan emosi, tekun,
mandiri, dan mempunyai motivasi.
Kompetensi yang telah diidentifikasi
dari pebelajar ini merupakan kompetensi yang amat penting untuk keberhasilan
hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan kompetensi yang amat penting di
tempat kerja. Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan
kompetensi tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di dalam kerja kelompok
suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja
tim sebagai suatu keseluruhan.
5.
Keuntungan dan kelemahan dari
pembelajaran berbasis proyek atau tugas
Keuntungan
dari Belajar Berbasis Proyek adalah sebagai berikut:
a.
Meningkatkan motivasi.
Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu banyak yang
mengatakan bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu, berusaha keras
dalam mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam kehadiran dan
berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam proyek lebih
fun daripada komponen kurikulum yang lain.
b.
Meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah.
Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif tingkat
tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam tugas-tugas
pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana
menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendiskripsikan lingkungan
belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil
memecahkan problem-problem yang kompleks.
c.
Meningkatkan kolaborasi.
Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa
mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi ( Johnson &
Johnson, 1989). Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi
online adalah aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif
yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial,
dan bahwa siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif (Vygotsky,
1978; Davidov, 1995).
d.
Meningkatkan keterampilan mengelola
sumber.
Bagian dari menjadi siswa yang independen adalah
bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks. Pembelajaran Berbais
Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran
dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan
sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
e.
Increased resource – management
skills
Pembelajaran berbasis proyek yang diimplementasikan secara
baik menberikan kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam pengorganisasian
proyek dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperi perlengkapan
untuk menyelesaikan tugas.
Kelemahan dari pembelajaran ini yaitu :
a. Kebanyakan
permasalahan “dunia nyata” yang tidak terpisahkan dengan masalah kedisiplinan ,
untuk itu disarankan mengajarkan dengan cara melatih dan menfasilitasi peserta
didik dalam menghadapi masalah .
b. Memerlukan
banyak waktu yang harus diselesaikan untuk menyelesaikan masalah.
c. Memerlukan
biaya yang cukup banyak
d. Banyak
peralatan yang harus disediakan
Untuk mengatasi kelemahan dari
pembelajaran berbasis proyek seorang peserta didik dapat mengatasi dengan cara
memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah , membatasi waktu peserta
didik dalam menyelesaikan proyek, meminimaliskan dan menyediakan peralatan yang
sederhana yang terdapat dilingkungan sekitar , memilih lokasi penelitian yang
terjangkau yang tidak membutuhkan banyak biaya dan waktu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pembelajaran discovery learning
(penemuan) merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam
pendekatan konstruktivisme. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk
terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan
eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau
konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.
Pembelajaran penemuan memliki
beberapa kelebihan. Pembelajaran penemuan membangkitkan keingintahuan siswa,
memotivasi siswa untuk terus bekerja hingga menemukan jawaban. Siswa melalui
pembelajaran penemuan mempunyai kesempatan untuk berlatih menyelesaikan soal,
mempertajam berpikir kritis secara mandiri, karena mereka harus menganalisa dan
memanipulasi informasi.
Pembelajaran penemuan juga mempunyai
beberapa kelemahan, di antaranya dapat menghasilkan kesalahan dan
membuang-buang waktu, dan tidak semua siswa dapat melakukan penemuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahri, Syaiful, dkk. 1995. Strategi BELAJAR MENGAJAR. Banjarmasin.
RINEKA CIPTA
Hamalik,Oemar, 2001.Kurikulum dan Pengajaran.Jakarta: Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar. 2005. Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara
http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=3
http://gurupkn.wordpress.com/2007/11/16/metode-pemecahan-masalah-problem-solving/
Made, W. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif
Kontemporer.Jakarta: Bumi Aksara
Ratumanan, T. G. 2004. Belajar dan Pembelajaran edisi
kedua.Unesa University
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Sprijono, Agus. 2006. Cooperatif Learning. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Winataputra, Udin, dkk. Teori Belajar dan Pembelajarn. Jakarta.
Universitas Terbuka.