BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki
Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan
beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat,
bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi
sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara.
Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka
butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember
1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta
sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl
Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal
perang lain. Selain itu pemboman Jepang tersebut juga menghancurkan 180 pesawat
tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140
lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu
tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat
menyatakan perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar
terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia.
Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai
sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang
serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh
operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
Pada
tanggal 1 Maret 1942, sebelum matahari terbit, Jepang mulai mendarat di tiga
tempat di Pulau Jawa, yaitu di Banten, Indramayu, dan Rembang, masing-masing
dengan kekuatan lebih kurang satu divisi.[1]
Pada awalnya, misi utama pendaratan Jepang adalah mencari bahan-bahan keperluan
perang. Pendaratan ini nyatanya disambut dengan antusias oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan Jepang memberi harapan baru bagi rakyat Indonesia yang saat itu
telah menaruh kebencian terhadap pihak Belanda. Tidak adanya dukungan terhadap
perang gerilya yang dilakukan oleh Belanda dalam mempertahankan Pulau Jawa ikut
memudahkan pendaratan tentara Jepang. Melalui Indramayu, dengan cepat Jepang
berhasil merebut pangkalan udara Kalijati untuk dipersiapkan sebagai pangkaan
pesawat. Hingga akhirnya tanggal 9 Maret tahun Showa 17, upacara serah terima
kekuasaan dilakukan antara tentara Jepang dan Belanda di Kalijati.
Sikap
Jepang pada awal kedatangannya semakin menarik simpati rakyat Indonesia. Dan
kemenangan Jepang atas perang Pasifik digembor-gemborkan sebagai kemenangan
bersama, yaitu kemenangan bangsa Asia. Saat tentara Jepang hendak mendarat di
Indonesia, Pemerintah Jepang mengeluarkan slogan-slogan : ”India untuk orang
India, Birma untuk orang Birma, Siam untuk orang Siam, Indonesia untuk orang
Indonesia.”[2]
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana awal mula kedatangan Jepang ke
Indonesia ?
2.
Bagaimana Jepang masuk ke Aceh ?
3.
Apa
pengaruh Aceh terhadap kedatangan Jepang ?
4.
Apa
reaksi Aceh terhadap Jepang ?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tentang kedatangan Jepang
ke Indonesia dan Aceh.
2.
Untuk menjelaskan pengaruh dan
reaksi masyarakat Aceh atas kedatangan Jepang.
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Meningkatkan wawasan bagaimana
Jepang dapat masuk ke wilayah Indonesia khusunya Aceh.
2.
Meningkatkan kemampuan nalar
mahasiswa dalam mengetahui sejarah Aceh melawan penjajahan Jepang.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan
atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.
Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan
pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
1.2 Rumusan
Masalah
1.3 Tujuan
Penulisan
1.4 Manfaat
Penulisan
1.5 Metodologi
Penulisan
1.6 Sistmatika
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masuknya
Jepang ke Wilayah Indonesia
2.2 Kedatangan Jepang ke Aceh
2.3 Reaksi Masyarakat Aceh
terhadap Jepang
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masuknya Jepang ke Wilayah Indonesia
Sebagai negara
fasis-militerisme di Asia, Jepang sangat kuat, sehingga meresahkan kaum
pergerakan nasional di Indonesia. Dengan pecahnya Perang Dunia II, Jepang
terjun dalam kancah peperangan itu. Di samping itu, terdapat dugaan bahwa suatu
saat akan terjadi peperangan di Lautan Pasifik. Hal ini didasarkan pada suatu
analisis politik. Adapun sikap pergerakan politik bangsa Indonesia dengan tegas
menentang dan menolak bahwa fasisme sedang mengancam dari arah utara. Sikap ini
dinyatakan dengan jelas oleh Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Sementara itu di Jawa
muncul Ramalan Joyoboyo yang mengatakan bahwa pada suatu saat pulau Jawa akan
dijajah oleh bangsa kulit kuning, tetapi umur penjajahannya hanya "seumur
jagung". Setelah penjajahan bangsa kulit kuning itu lenyap akhirnya
Indonesia merdeka. Ramalan yang sudah dipercaya oleh rakyat ini tidak
disia-siakan oleh Jepang, bahkan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga
kedatangan Jepang ke Indonesia dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar saja.
Pada tanggal 8 Desember
1941 pecah perang di Lautan Pasifik yang melibatkan Jepang. Melihat keadaan
yang semakin gawat di Asia, maka penjajah Belanda harus dapat menentukan sikap
dalam menghadapi bahaya kuning dari Jepang. Sikap tersebut dipertegas oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda Van Starkenborgh
Stachouwer dengan mengumumkan perang melawan Jepang. Hindia Belanda termasuk ke
dalam Front ABCD (Amerika Serikat, Brittania/Inggris, Cina, Dutch/Belanda)
dengan Jenderal Wavel (dari Inggris) sebagai Panglima Tertinggi yang
berkedudukan di Bandung.
Angkatan perang Jepang
begitu kuat, sehingga Hindia Belanda yang merupakan benteng kebanggaan Inggris
di daerah Asia Tenggara akhirnya jatuh ke tangan pasukan Jepang. Peperangan
yang dilakukan oleh Jepang di Asia Tenggara dan di Lautan Fasifik ini diberi
nama Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik. Dalam waktu yang sangat
singkat, Jepang telah dapat menguasai daerah Asia Tenggara seperti Indochina,
Muangthai, Birma (Myanmar), Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Jatuhnya
Singapura ke tangan Jepang pada tanggal 15 Pebruari 1941, yaitu dengan
ditenggelamkannya kapal induk Inggris yang bernama Prince of Wales dan HMS
Repulse, sangat mengguncangkan pertahanan Sekutu di Asia. Begitu pula satu
persatu komandan Sekutu meninggalkan Indonesia, sampai terdesaknya Belanda dan
jatuhnya Indonesia ke tangan pasukan Jepang. Namun sisa-sisa pasukan sekutu di
bawah pimpinan Karel Doorman (Belanda) dapat mengadakan perlawanan dengan
pertempuran di Laut Jawa, walaupun pada akhirnya dapat ditundukkan oleh Jepang.
Secara kronologis
serangan-serangan pasukan Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut: diawali
dengan menduduki Tarakan (10 Januari 1942), kemudian. Minahasa, Sulawesi,
Balikpapan, dan Arnbon. Kemudian pada bulan Februari 1942 pasukan Jepang
menduduki Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang, dan Bali.
Pendudukan terhadap
Palembang lebih dulu oleh Jepang mempunyai arti yang sangat penting dan
strategis, yaitu untuk memisahkan antara Batavia yang menjadi pusat kedudukan
Belanda di Indonesia dengan Singapura sebagai pusat kedudukan Inggris. Kemudian
pasukan Jepang melakukan serangan ke Jawa dengan mendarat di daerah Banten,
Indramayu, Kragan (antara Rembang dan Tuban). Selanjutnya menyerang pusat
kekuasaan Belanda di Batavia (5 Maret 1942), Bandung (8 Maret 1942) dan
akhirnya pasukan Belanda di Jawa menyerah kepada Panglima Bala Tentara Jepang
Imamura di Kalijati (Subang, 8 Maret 1942). Dengan demikian, seluruh wilayah
Indonesia telah menjadi bagian dari kekuasaan penjajahan Jepang.
2.2 Kedatangan Jepang ke Aceh
Aceh pertama dikenal
dengan nama Aceh Darussalam
(1511–1959), kemudian Daerah Istimewa
Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh
Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang).[3]
Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Aceh dianggap sebagai tempat
dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam
penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah
negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh
diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang
asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika
dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat
konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[4]
Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka
hidup sesuai syariah Islam.[5]
Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi
yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.[6]
Aceh memiliki sumber daya alam yang
melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan
cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.[7] Aceh juga
terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari
Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional
bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Sementara
pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan
wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan
nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis
Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai
wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh
gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat Jepang
mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh
pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha
mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa
rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer
Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut
oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh
membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya
Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan
menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat
pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan
Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh
khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat
Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah
matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan
akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di
seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang
dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat
Lhokseumaw pada tahun 1942 dan di Pandrah dan Jeunieb pada tahun 1944.
2.3 Keadaan
Masyarakat Aceh pada Masa Penjajahan Jepang
Pada tanggal 12 Maret 1942, mendaratlah bala tentara Jepang di Ujung Batee,
8 km dari Kutaraja. Tanggal 13 Maret, kaum FPUSA menyerbu rumah Asisten Residen
Belanda di Pidie yang terletak di pinggir taut dan agak jauh dari markas
militer. Fasilitas-fasilitas strategis pun sudah disiapkan, termasuk lapangan
terbang dan persediaan bahan bakar minyak, telah diamankan sehingga tidak
sempat dihancurkan oleh Belanda. Bala tentara Jepang yang mendarat disambut
dengan meriah di tepi pantai, dengan suguhan makanan dan minuman. Pada jam 7
pagi itu juga pasukan Jepang langsung memasuki Kutaraja dan disambut lebih
meriah lagi oleh penduduk kota dengan teriakan "Banzai". Demikianlah
, dua minggu kemudian Jepang sudah berhasil menguasai seluruh Aceh.[8]
Jepang telah melaksanakan politik bumi hangus seluruh prasarana ekonomi,
hanya dengan alasan untuk memperlemah kekuasaan politik lawan (Belanda) yang
diduga masih mengambil keuntungan dari sisa-sisa perekonomian yang
ditinggalkannya. Maka surplus beras daerah Aceh pada tahun 1941 satu tahun
sebelum Jepang mendarat telah mencapai 36.000 ton punah dengan sekejab mata.
Kenyataan yang semacam ini semakin diperparah oleh tindakan-tindakan Jepang yang
mewajibkan penyetoran beras yang pada tahun 1943 mencapai angka 17.000 ton.
Sebagai akibatnya banyak tanah rakyat yang disita Jepang karena tuntutan yang
sangat berat tidak terpenuhi. [9]
Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan
cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk
membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi
dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya
masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai
dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak
keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan
besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka.
Menurut isu yang menyebar pada masa itu, Jepang telah memenggal seseorang
yang berada di daerah Lantim dan memasukkannya kedalam sumur. Di tubuh korban
ditancapkan kayu yang runcing agar mayatnya tetap berada didalam sumur
tersebut. Saat ini sumur itu telah tertutup oleh tanah. Sedangkan perempuan
pada masa Jepang tidak ditahan, mereka hanya dilarang beraktivitas di luar
rumah. Para pemuda biasanya bersembunyi, karena apabila ditangkap oleh Jepang
mereka akan dimasukkan ke dalam bubee busoe (kurungan besi).
Pada masa penjajahan Jepang, kebebasan rakyat sepenuhnya telah dirampas,
Masyarakat tidak lagi diperbolehkan untuk bertani atau melakukan pekerjaan lain
sehingga mereka mulai mengalami kelaparan. Bahkan masyarakat mulai mencuri
beras dari orang lain yang masih mempunyainya demi kebutuhannya dan
keluarganya. Tidak hanya sampai disitu, Jepang juga mendirikan pagar-pagar kayu
yang sangat tinggi di daerah-daerah dekat persawahan sehingga keadaan semakin
memburuk, masyarakat benar-benar mengalami kelaparan. Untuk mempertahankan
hidupnya masyarakat hanya memakan buah nangka dan buah pepaya muda yang
diperoleh dari kebun, kemudian direbus dan dimakan dengan nasi jika ada. Namun,
apabila nasi tidak tersedia masyarakat menggantinya dengan sagu. Tidak jarang
mereka makan hanya sekali dalam sehari. Terkadang mereka juga minum kopi yang
disajikan dengan pisang rebus yang ditaburi kelapa diatasnya.
Masyarakat di bawah penjajahan Jepang tidak mempunyai pakaian yang layak,
mereka mengenakan karung beras (karung goni) yang dijadikan sebagai celana dan
baju. Pakaian tersebut sangat tidak nyaman karena banyak kutu tinggal di
dalamnya. Untuk berlindung dari pasukan Jepang yang sedang berperang dan
terhindar dari tembakan atau peluru nyasar, rakyat menggali parit atau lubang
pertahanan yang mampu menampung seluruh warga kampung. Parit ini memiliki
kedalaman kira-kira setinggi badan orang dewasa. Bagian atas parit ini ditutup
dengan papan, batang kelapa dan ditambahkan tanah diatasnya sehingga menjadi
seperti gua. Ketika Jepang meninggalkan daerah Aceh mereka meninggalkan pakaian
mereka, pakaian inilah yang kemudian diambil oleh warga kampung untuk dijadikan
pakaian.
2.4 Reaksi
Masyarakat Aceh terhadap Jepang
10 November 1942, seorang ulama kharismatik bernama Tgk Abdul Jalil Cot
Plieng bersama ratusan santrinya syahid dan menjadi saksi atas kebrutalan
pasukan Nippon yang mencoba menghancurkan rumah-rumah ibadah di Aceh.
Sejak Maret 1942, Jepang kerap sudah membuat keonaran di daerah Lhokseumawe
dan sekitarnya, berbagai taktik dan politik pun mereka gencarkan untuk
menundukkan rakyat Aceh di bawah kekuasaan mereka. Namun, cara Jepang tidak
berlaku bagi ulama muda Tgk Abdul Jalil, yang waktu itu masih berumur 21 tahun.
Melihat gejala-gejala yang dilakukan Jepang, Tgk Abdul Jalil tidak tinggal
diam dengan serta merta beliau mengajak para santrinya untuk membulatkan tekad
dan semangat berjuang di jalan Allah (fisabilillah) melawan pasukan Jepan
dengan membaca hikayat Prang Sabi.
Serangkaian serangan dari Jepang pun tidak bisa dihindari ke tempat-tempat
dimana Tgk Abdul Jalil berada. Jepang pun akhirnya mengetahui keberadaan
beliau, waktu itu Tgk Abdul Jalil sedang berada di Masjid Gampong Buloh
Teungoh. Ba’da menunaikan shalat Ashar, pasukan Nippon menggebrek masuk ke
dalam masjid dan memuntahkan peluru tajam ke tubuh Tgk Abdul Jalil dan
disitulah jasadnya rubuh menghadap-Nya. Makamnya kini terletak di samping
masjid, berdampingan dengan makam dua istrinya yang juga syahid dalam
pertempuran itu.
Pertempuran dahsyat ini terjadi satu lawan satu. Sekitar 109 pejuang Aceh
yang bersenjatakan pedang dan rencong akhirnya syahid pada pertempuran itu. Di
pihak Jepang, kata Teungku Iskandar, jumlah korban juga sama.
Selain Teungku Cot Plieng dan dua istrinya, di situ juga ada makam lain
seperti Teungku Muhammad Hanafiah, Teungku Muhammad Abbas Punteuet, Teungku Badai, Teungku Bidin, Teungku Husen Hasyem, Teungku Muda Yusuf dan
Teungku Nyak Mirah. Semuanya ditempatkan dalam sebuah bangunan.
Teungku Abdul Djalil atau Teungku Cot Plieng merupakan sosok pejuang Aceh
yang lahir di Desa Blang Ado Buloh Blang Ara, Kuta Makmur, Aceh Utara. Teungku
adalah anak dari Nyak Cut Buleun, seorang guru agama di kampung. Ketika remaja,
Abdul Djalil aktif menuntut ilmu pengetahuan juga agama. Pada 1911 hingga 1921,
beliau belajar di Volk School. Setelah itu belajar agama dan bahasa Arab di
dayah-dayah terkenal. Antara lain di Bireuenghang, Ie Rot Bungkaih (Muara
Batu), Tanjong Samalanga, Mon Geudong, Cot Plieng, Krueng Kale (Banda Aceh),
dan Teuping Pungit. Pada 1937 ia kembali ke Dayah Cot Plieng yang masih
dipimpin Teungku Ahmad.[10]
Teringat dengan kalimat-kalimat yang selalu digelorakan oleh Tgk Abdul
Jalil dalam setiap memberikan ceramah kepada para santri, “jika kita harus
mati, marilah kita mati bukan sebagai budak, tapi mati sebagai syuhada, yang
tewas di medan perang dengan rencong terhunus!”, begitulah penggalan dalam
syair Prang Sabi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan
politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas
penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan
provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi
nilai agama). Saat Jepang mulai
mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh
pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha
mengusir Belanda dari Aceh.
Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan
cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk
membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi
dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya
masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai
dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak
keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan
besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka.
Melihat gejala-gejala yang dilakukan Jepang, Tgk Abdul Jalil tidak tinggal
diam dengan serta merta beliau mengajak para santrinya untuk membulatkan tekad
dan semangat berjuang di jalan Allah (fisabilillah) melawan pasukan Jepan dengan
membaca hikayat Perang Sabi.
DAFTAR PUSTAKA
Jafar, Muhammad. Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Semarang: Tesis - Magister Ilmu Politik
pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009
Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 1,
Bandung: Penerbit Angkasa, 1977
Nazarudin, Sjamsuddin. Revolusi Di Serambi Mekah, Jakarta:
UI-Press, 1998
Suwondo, S Purbo.
PETA Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1996
[1]
DR. A. H. Nasution, Sekitar
Perang Kemerdekaan Jilid 1, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1977), hlm.
84
[2]
Purbo S. Suwondo, PETA
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1996), hlm. 12
[3]
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah
Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub
tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan
Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan,
Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan
Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur
"Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur
"Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU
Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem
NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Lihat pula http://www.acehprov.go.id/
[4]
How
An Escape Artist Became Aceh's Governor, Time
Magazine, Feb. 15, 2007
[8]
Sjamsuddin, Nazarudin,
Revolusi Di Serambi Mekah (UI-Press, 1998), hlm. 42
[9]
Djohan, Azhar, Ekonomi
Masyarakat Aceh Selatan Dalam Perspektif Historis, Seminar sejarah dan
Kebudayaan Masyarakat Aceh Selatan. 1989, hlm.7
[10]
http://atjehpost.com/read/2012/02/11/2081/0/39/Mengenang-Perlawanan-Teungku-Djalil-di-Masjid-Cot-Plieng#sthash.nhv6VjTi.dpuf
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
ReplyDeleteKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.