My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Thursday 21 January 2016

Makalah Kedatangan, Pengaruh dan Reaksi Jepang ke Aceh tahun 1942



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya,  sampai akhir tahun 1940, pimpinan  militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tersebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
            Pada tanggal 1 Maret 1942, sebelum matahari terbit, Jepang mulai mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa, yaitu di Banten, Indramayu, dan Rembang, masing-masing dengan kekuatan lebih kurang satu divisi.[1] Pada awalnya, misi utama pendaratan Jepang adalah mencari bahan-bahan keperluan perang. Pendaratan ini nyatanya disambut dengan antusias oleh rakyat Indonesia. Kedatangan Jepang memberi harapan baru bagi rakyat Indonesia yang saat itu telah menaruh kebencian terhadap pihak Belanda. Tidak adanya dukungan terhadap perang gerilya yang dilakukan oleh Belanda dalam mempertahankan Pulau Jawa ikut memudahkan pendaratan tentara Jepang. Melalui Indramayu, dengan cepat Jepang berhasil merebut pangkalan udara Kalijati untuk dipersiapkan sebagai pangkaan pesawat. Hingga akhirnya tanggal 9 Maret tahun Showa 17, upacara serah terima kekuasaan dilakukan antara tentara Jepang dan Belanda di Kalijati.
            Sikap Jepang pada awal kedatangannya semakin menarik simpati rakyat Indonesia. Dan kemenangan Jepang atas perang Pasifik digembor-gemborkan sebagai kemenangan bersama, yaitu kemenangan bangsa Asia. Saat tentara Jepang hendak mendarat di Indonesia, Pemerintah Jepang mengeluarkan slogan-slogan : ”India untuk orang India, Birma untuk orang Birma, Siam untuk orang Siam, Indonesia untuk orang Indonesia.”[2]
1.2     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana awal mula kedatangan Jepang ke Indonesia ?
2.    Bagaimana Jepang masuk ke Aceh ?
3.      Apa pengaruh Aceh terhadap kedatangan Jepang ?
4.      Apa reaksi Aceh terhadap Jepang ?

1.3     Tujuan Penulisan

                        1.   Untuk menjelaskan tentang kedatangan Jepang ke Indonesia dan Aceh.
2.      Untuk menjelaskan pengaruh dan reaksi masyarakat Aceh atas kedatangan Jepang.

1.4  Manfaat Penulisan

1.      Meningkatkan wawasan bagaimana Jepang dapat masuk ke wilayah Indonesia khusunya Aceh.
2.      Meningkatkan kemampuan nalar mahasiswa dalam mengetahui sejarah Aceh melawan penjajahan Jepang.

1.5   Metode Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.

1.6   Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan
1.4  Manfaat Penulisan
1.5  Metodologi Penulisan
1.6  Sistmatika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Masuknya Jepang ke Wilayah Indonesia
2.2 Kedatangan Jepang ke Aceh
2.3 Reaksi Masyarakat Aceh terhadap Jepang
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA





BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Masuknya Jepang ke Wilayah Indonesia
           Sebagai negara fasis-militerisme di Asia, Jepang sangat kuat, sehingga meresahkan kaum pergerakan nasional di Indonesia. Dengan pecahnya Perang Dunia II, Jepang terjun dalam kancah peperangan itu. Di samping itu, terdapat dugaan bahwa suatu saat akan terjadi peperangan di Lautan Pasifik. Hal ini didasarkan pada suatu analisis politik. Adapun sikap pergerakan politik bangsa Indonesia dengan tegas menentang dan menolak bahwa fasisme sedang mengancam dari arah utara. Sikap ini dinyatakan dengan jelas oleh Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
           Sementara itu di Jawa muncul Ramalan Joyoboyo yang mengatakan bahwa pada suatu saat pulau Jawa akan dijajah oleh bangsa kulit kuning, tetapi umur penjajahannya hanya "seumur jagung". Setelah penjajahan bangsa kulit kuning itu lenyap akhirnya Indonesia merdeka. Ramalan yang sudah dipercaya oleh rakyat ini tidak disia-siakan oleh Jepang, bahkan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga kedatangan Jepang ke Indonesia dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar saja.
           Pada tanggal 8 Desember 1941 pecah perang di Lautan Pasifik yang melibatkan Jepang. Melihat keadaan yang semakin gawat di Asia, maka penjajah Belanda harus dapat menentukan sikap dalam menghadapi bahaya kuning dari Jepang. Sikap tersebut dipertegas oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer dengan mengumumkan perang melawan Jepang. Hindia Belanda termasuk ke dalam Front ABCD (Amerika Serikat, Brittania/Inggris, Cina, Dutch/Belanda) dengan Jenderal Wavel (dari Inggris) sebagai Panglima Tertinggi yang berkedudukan di Bandung.
           Angkatan perang Jepang begitu kuat, sehingga Hindia Belanda yang merupakan benteng kebanggaan Inggris di daerah Asia Tenggara akhirnya jatuh ke tangan pasukan Jepang. Peperangan yang dilakukan oleh Jepang di Asia Tenggara dan di Lautan Fasifik ini diberi nama Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik. Dalam waktu yang sangat singkat, Jepang telah dapat menguasai daerah Asia Tenggara seperti Indochina, Muangthai, Birma (Myanmar), Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang pada tanggal 15 Pebruari 1941, yaitu dengan ditenggelamkannya kapal induk Inggris yang bernama Prince of Wales dan HMS Repulse, sangat mengguncangkan pertahanan Sekutu di Asia. Begitu pula satu persatu komandan Sekutu meninggalkan Indonesia, sampai terdesaknya Belanda dan jatuhnya Indonesia ke tangan pasukan Jepang. Namun sisa-sisa pasukan sekutu di bawah pimpinan Karel Doorman (Belanda) dapat mengadakan perlawanan dengan pertempuran di Laut Jawa, walaupun pada akhirnya dapat ditundukkan oleh Jepang.
           Secara kronologis serangan-serangan pasukan Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut: diawali dengan menduduki Tarakan (10 Januari 1942), kemudian. Minahasa, Sulawesi, Balikpapan, dan Arnbon. Kemudian pada bulan Februari 1942 pasukan Jepang menduduki Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang, dan Bali.
           Pendudukan terhadap Palembang lebih dulu oleh Jepang mempunyai arti yang sangat penting dan strategis, yaitu untuk memisahkan antara Batavia yang menjadi pusat kedudukan Belanda di Indonesia dengan Singapura sebagai pusat kedudukan Inggris. Kemudian pasukan Jepang melakukan serangan ke Jawa dengan mendarat di daerah Banten, Indramayu, Kragan (antara Rembang dan Tuban). Selanjutnya menyerang pusat kekuasaan Belanda di Batavia (5 Maret 1942), Bandung (8 Maret 1942) dan akhirnya pasukan Belanda di Jawa menyerah kepada Panglima Bala Tentara Jepang Imamura di Kalijati (Subang, 8 Maret 1942). Dengan demikian, seluruh wilayah Indonesia telah menjadi bagian dari kekuasaan penjajahan Jepang.
2.2 Kedatangan Jepang ke Aceh
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang).[3] Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[4] Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam.[5] Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.[6]
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.[7] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumaw pada tahun 1942 dan di Pandrah dan Jeunieb pada tahun 1944.
2.3  Keadaan Masyarakat Aceh pada Masa Penjajahan Jepang
Pada tanggal 12 Maret 1942, mendaratlah bala tentara Jepang di Ujung Batee, 8 km dari Kutaraja. Tanggal 13 Maret, kaum FPUSA menyerbu rumah Asisten Residen Belanda di Pidie yang terletak di pinggir taut dan agak jauh dari markas militer. Fasilitas-fasilitas strategis pun sudah disiapkan, termasuk lapangan terbang dan persediaan bahan bakar minyak, telah diamankan sehingga tidak sempat dihancurkan oleh Belanda. Bala tentara Jepang yang mendarat disambut dengan meriah di tepi pantai, dengan suguhan makanan dan minuman. Pada jam 7 pagi itu juga pasukan Jepang langsung memasuki Kutaraja dan disambut lebih meriah lagi oleh penduduk kota dengan teriakan "Banzai". Demikianlah , dua minggu kemudian Jepang sudah berhasil menguasai seluruh Aceh.[8]
Jepang telah melaksanakan politik bumi hangus seluruh prasarana ekonomi, hanya dengan alasan untuk memperlemah kekuasaan politik lawan (Belanda) yang diduga masih mengambil keuntungan dari sisa-sisa perekonomian yang ditinggalkannya. Maka surplus beras daerah Aceh pada tahun 1941 satu tahun sebelum Jepang mendarat telah mencapai 36.000 ton punah dengan sekejab mata. Kenyataan yang semacam ini semakin diperparah oleh tindakan-tindakan Jepang yang mewajibkan penyetoran beras yang pada tahun 1943 mencapai angka 17.000 ton. Sebagai akibatnya banyak tanah rakyat yang disita Jepang karena tuntutan yang sangat berat tidak terpenuhi. [9]
Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka.
Menurut isu yang menyebar pada masa itu, Jepang telah memenggal seseorang yang berada di daerah Lantim dan memasukkannya kedalam sumur. Di tubuh korban ditancapkan kayu yang runcing agar mayatnya tetap berada didalam sumur tersebut. Saat ini sumur itu telah tertutup oleh tanah. Sedangkan perempuan pada masa Jepang tidak ditahan, mereka hanya dilarang beraktivitas di luar rumah. Para pemuda biasanya bersembunyi, karena apabila ditangkap oleh Jepang mereka akan dimasukkan ke dalam bubee busoe (kurungan besi).
Pada masa penjajahan Jepang, kebebasan rakyat sepenuhnya telah dirampas, Masyarakat tidak lagi diperbolehkan untuk bertani atau melakukan pekerjaan lain sehingga mereka mulai mengalami kelaparan. Bahkan masyarakat mulai mencuri beras dari orang lain yang masih mempunyainya demi kebutuhannya dan keluarganya. Tidak hanya sampai disitu, Jepang juga mendirikan pagar-pagar kayu yang sangat tinggi di daerah-daerah dekat persawahan sehingga keadaan semakin memburuk, masyarakat benar-benar mengalami kelaparan. Untuk mempertahankan hidupnya masyarakat hanya memakan buah nangka dan buah pepaya muda yang diperoleh dari kebun, kemudian direbus dan dimakan dengan nasi jika ada. Namun, apabila nasi tidak tersedia masyarakat menggantinya dengan sagu. Tidak jarang mereka makan hanya sekali dalam sehari. Terkadang mereka juga minum kopi yang disajikan dengan pisang rebus yang ditaburi kelapa diatasnya.
Masyarakat di bawah penjajahan Jepang tidak mempunyai pakaian yang layak, mereka mengenakan karung beras (karung goni) yang dijadikan sebagai celana dan baju. Pakaian tersebut sangat tidak nyaman karena banyak kutu tinggal di dalamnya. Untuk berlindung dari pasukan Jepang yang sedang berperang dan terhindar dari tembakan atau peluru nyasar, rakyat menggali parit atau lubang pertahanan yang mampu menampung seluruh warga kampung. Parit ini memiliki kedalaman kira-kira setinggi badan orang dewasa. Bagian atas parit ini ditutup dengan papan, batang kelapa dan ditambahkan tanah diatasnya sehingga menjadi seperti gua. Ketika Jepang meninggalkan daerah Aceh mereka meninggalkan pakaian mereka, pakaian inilah yang kemudian diambil oleh warga kampung untuk dijadikan pakaian.
2.4  Reaksi Masyarakat Aceh terhadap Jepang
10 November 1942, seorang ulama kharismatik bernama Tgk Abdul Jalil Cot Plieng bersama ratusan santrinya syahid dan menjadi saksi atas kebrutalan pasukan Nippon yang mencoba menghancurkan rumah-rumah ibadah di Aceh.
Sejak Maret 1942, Jepang kerap sudah membuat keonaran di daerah Lhokseumawe dan sekitarnya, berbagai taktik dan politik pun mereka gencarkan untuk menundukkan rakyat Aceh di bawah kekuasaan mereka. Namun, cara Jepang tidak berlaku bagi ulama muda Tgk Abdul Jalil, yang waktu itu masih berumur 21 tahun.
Melihat gejala-gejala yang dilakukan Jepang, Tgk Abdul Jalil tidak tinggal diam dengan serta merta beliau mengajak para santrinya untuk membulatkan tekad dan semangat berjuang di jalan Allah (fisabilillah) melawan pasukan Jepan dengan membaca hikayat Prang Sabi.
Serangkaian serangan dari Jepang pun tidak bisa dihindari ke tempat-tempat dimana Tgk Abdul Jalil berada. Jepang pun akhirnya mengetahui keberadaan beliau, waktu itu Tgk Abdul Jalil sedang berada di Masjid Gampong Buloh Teungoh. Ba’da menunaikan shalat Ashar, pasukan Nippon menggebrek masuk ke dalam masjid dan memuntahkan peluru tajam ke tubuh Tgk Abdul Jalil dan disitulah jasadnya rubuh menghadap-Nya. Makamnya kini terletak di samping masjid, berdampingan dengan makam dua istrinya yang juga syahid dalam pertempuran itu.
Pertempuran dahsyat ini terjadi satu lawan satu. Sekitar 109 pejuang Aceh yang bersenjatakan pedang dan rencong akhirnya syahid pada pertempuran itu. Di pihak Jepang, kata Teungku Iskandar, jumlah korban juga sama.
Selain Teungku Cot Plieng dan dua istrinya, di situ juga ada makam lain seperti Teungku Muhammad Hanafiah, Teungku Muhammad Abbas Punteuet,  Teungku Badai,  Teungku Bidin,  Teungku Husen Hasyem, Teungku Muda Yusuf dan Teungku Nyak Mirah. Semuanya ditempatkan dalam sebuah bangunan.
Teungku Abdul Djalil atau Teungku Cot Plieng merupakan sosok pejuang Aceh yang lahir di Desa Blang Ado Buloh Blang Ara, Kuta Makmur, Aceh Utara. Teungku adalah anak dari Nyak Cut Buleun, seorang guru agama di kampung. Ketika remaja, Abdul Djalil aktif menuntut ilmu pengetahuan juga agama. Pada 1911 hingga 1921, beliau belajar di Volk School. Setelah itu belajar agama dan bahasa Arab di dayah-dayah terkenal. Antara lain di Bireuenghang, Ie Rot Bungkaih (Muara Batu), Tanjong Samalanga, Mon Geudong, Cot Plieng, Krueng Kale (Banda Aceh), dan Teuping Pungit. Pada 1937 ia kembali ke Dayah Cot Plieng yang masih dipimpin Teungku Ahmad.[10]
Teringat dengan kalimat-kalimat yang selalu digelorakan oleh Tgk Abdul Jalil dalam setiap memberikan ceramah kepada para santri, “jika kita harus mati, marilah kita mati bukan sebagai budak, tapi mati sebagai syuhada, yang tewas di medan perang dengan rencong terhunus!”, begitulah penggalan dalam syair Prang Sabi.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
      Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh.
Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka.
Melihat gejala-gejala yang dilakukan Jepang, Tgk Abdul Jalil tidak tinggal diam dengan serta merta beliau mengajak para santrinya untuk membulatkan tekad dan semangat berjuang di jalan Allah (fisabilillah) melawan pasukan Jepan dengan membaca hikayat Perang Sabi.






DAFTAR PUSTAKA
Jafar, Muhammad. Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Semarang: Tesis - Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009
Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 1, Bandung: Penerbit Angkasa, 1977
Nazarudin, Sjamsuddin. Revolusi Di Serambi Mekah, Jakarta: UI-Press, 1998
Suwondo, S Purbo. PETA Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996








[1] DR. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 1, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1977), hlm. 84
[2] Purbo S. Suwondo, PETA Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 12
[3] Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Lihat pula http://www.acehprov.go.id/
[8] Sjamsuddin, Nazarudin, Revolusi Di Serambi Mekah (UI-Press, 1998), hlm. 42
[9] Djohan, Azhar, Ekonomi Masyarakat Aceh Selatan Dalam Perspektif Historis, Seminar sejarah dan Kebudayaan Masyarakat Aceh Selatan. 1989, hlm.7
[10] http://atjehpost.com/read/2012/02/11/2081/0/39/Mengenang-Perlawanan-Teungku-Djalil-di-Masjid-Cot-Plieng#sthash.nhv6VjTi.dpuf

1 comment:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    ReplyDelete