My Real Blog, Life, Education, Story, Song, Laugh and My Real Love♡

Thursday 21 January 2016

Makalah Dayah Cot Kala Aceh Timur dan Dayah Kreung Kalee Aceh Besar serta tokoh ulama Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee (Pondok Pesantren)



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang 
            Eksistensi Islam di tengah-tengah komunitas masyarakat Aceh telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah perkembangan sosio-kultural bagi masyarakat yang berada di propinsi ujung utara pulau Sumatera. Secara historis, Aceh terdiri dari berbagai negara bagian kecil seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Meureuhom Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Aceh Darussalam (cikal bakal nama provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca era reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan berikutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada akhirnya saat Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[1]
            Dalam perkembangannya, agama Islam terus mengalami kemajuan dan begitu mengakar dalam masyarakat melalui peran dan perjuangan para ulama. Hal ini dilakukan bersama lembaga pendidikan yang dibangun, diasuh dan dibinanya, yakni Dayah. Lembaga pendidikan ini di samping berperan sebagai tempat pembelajaran dan mendidik kader ulama dan pemimpin Aceh secara berkesinambungan juga berperan besar sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang banyak memberikan jasa dan prakarsa bagi pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Ini terbukti bahwa tidak saja pada masa lampau, namun sampai saat ini alumni dayah tidak hanya berperan sebagai pendidik tetapi juga sebagai tokoh panutan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Dayah Cot Kala Aceh Timur ?
2.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Dayah Kreung Kalee Aceh Besar ?
3.      Apa karya dari Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee dalam Bidang Tasawuf ?
4.      Bagaimana Kiprah Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee dalam Dunia Politik ?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Dayah Cot Kala Aceh Timur.
2.      Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Dayah Kreung Kalee Aceh Besar.
3.      Untuk mengetahui karya dari Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee dalam Bidang Tasawuf.
4.      Untuk mengetahui Kiprah Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee dalam Dunia Politik.
     D. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dari makalah ini yaitu (khususnya bagi mahasiswa) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami mengenai Dayah Cot Kala Aceh Timur dan Dayah Kreung Kalee Aceh Besar serta tokoh ulama Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee, baik itu  penjelasan, penguraian, serta pengidentifikasian  yang  dapat di aplikasikan dalam proses pembelajaran sehari- hari.

E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Metode pustaka
Penulis mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari (searching) di internet.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Dayah Cot Kala Aceh Timur
            Lembaga pendidikan khas di Aceh disebut Dayah merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan hadirnya Islam di Nusantara.
            Dalam sejarah bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[2]
            Berdirinya dayah tidak diketahui secara pasti, salah satu hal yang menyebabkan susahnya mengetahui kapan sebenarnya dayah masuk ke Aceh, disebabkan oleh masih kurangnya penelitian dan perhatian yang mendalam terhadap dayah-dayah di Aceh, tetapi hanya dibahas perkembangan dayah pada masa abad ke 19 M hingga pertengahan abad ke 20 M.
            Kalau didasarkan pada hasil seminar yang diadakan pada tanggal 25-30 September 1980 di Rantau Panyang Peureulak tentang masuknya dan berkembangkannya Islam di Nusantara, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Peureulak sebagai kerajaan tertua di dikawasan Aceh, maka Dayah Cot Kala merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh bahkan di Asia Tenggara, menurut kesimpulan seminar tersebut.[3] Berdasarkan lembaran-lembaran lepas dari naskah tua Izdharul Haq Fil Mamlakatil Peureulak, karangan Syeh Ishak Makarani Al-Pasi dan naskah Tajzirat Thabaqat Jam’u Salatin, kerajaan Islam Peureulak didirikan pada tahun 225 H (840 M) dengan rajanya yang pertama adalah sultan Alaiddin Saiyidi Maulana Abdul Aziz Syah, kemudian Tgk Muhammad Amin Pendiri Dayah Cot Kala juga menjabat sebagai Sultan Peureulak yang ke-enam yang bergelar Makdum Alaiddin Malik Muhammdah Amin Syah Johan Berdaulat. Ini menunjukkan bahwa Dayah Cot Kala didirikan setidak-tidaknya pada awal abad ke 10 M dengan pimpinan Tengku Muhammad Amin Syah Johan.[4]
Keberadaan Dayah pada masa penjajahan Belanda mengalami kemunduran, ini karena seluruh Ulama Dayah dan santrinya itu ikut berjuang melawan penjajah Belanda, sebagian besar para Ulama dan Teungku dayah syahid di medan perang, di antaranya Teungku Chik Haji Ismail anak Teungku Chik Pante Ya’kop (Pendiri Dayah Tgk Chik Pante Gelima), beliau syahid dalam peperangan melawan Belanda dalam mempertahankan Kuta Glee (Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen).
Faktor lain yang menghambat perkembangan Dayah saat itu disebabkan karena Belanda melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan Agama Islam, serta Belanda menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga menyebabkan Dayah terbengkalai. Selain itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap Dayah-dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta membumihanguskan seluruh Perpustkaaan yang ada di Dayah, jika ada dayah yang masih bertahan itupun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari pantauan Belanda.
Dayah mulai bangkit setelah proklamasi kemerdekaan RI, perkembangan Dayah sudah menampakkan hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno, dan Dayah dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai berkembangan, sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari pemerintah sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh Pimpinan Dayah sendiri dengan bantuan swadaya masyarakat.
            Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen, dan kebermaknaan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang berpengetahuan, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu sarat dengan nilai. Sejarah membuktikan bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[5]

B. Sejarah Perkembangan Dayah Kreung Kalee Aceh Besar
Dayah Krueng Kalee, merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah banyak menciptakan kader-kader dakwah, pendidik, ulama dan pemimpin umat, seperti yang telah kami kemukakan dalam uraian yang lalu, bahwa dayah tersebut, disamping aktif menggerakkan pendidikan Islam dikalangan masyarakat, juga aktif melakukan pembinaan kader ulama dan pemimpin masyarakat.[6]
        Sebagai lembaga pendidikan, dayah Krueng Kalee ini, sebenarnya lebih banyak berperan dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal seperti sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Sekolah pada waktu itu tidak sanggup mengemban tugas, menampung semua lapisan masyarakat, karena ketentuan yang digariskan penjajah Belanda yang membatasi kesempatan bersekolah bagi masyarakat luas, atas dasar kepentingan penjajah. Dengan demikian dayah sebagai pendidikan Islam yang terdapat di pedesaan, terutama dalam mempelajari ilmu-ilmu yang menyangkut dengan masalah agama Islam.
        Tahun 1904 dapat dianggap sebagai kebangkitan kembali dayah-dayah tradisional yang sebelumnya telah hancur pada saat peperangan fisik melawan Belanda. Di antara dayah yang dibangun tersebut adalah Dayah Kruengkalee. Sekembali Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee dari Mekkah pada tahun 1916 beliau mengambil alih pimpinan Dayah Kruengkalee yang sejak peperangan dengan Belanda tidak terurus lagi.
        Dengan semangat baru yang dihasilkan dari pendidikan selama bertahun-tahun di Mekkah dan didorong oleh jiwa mudanya Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee membangun kembali Dayah Kruengkalee dengan arti yang sesungguhnya. Dalam waktu singkat, Dayah Kruengkalee telah menjadi pusat pendidikan agama Islam yang besar di Aceh sejajar seperti nama-nama seperti; Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Rumpet, Dayah Jeureula, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga.[7]
        Menurut keterangan hasil dari wawancara tim penulis dengan murid-murid beliau yang masih hidup, Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee adalah seorang ulama tasSAWuf yang menganut aliran tarekat Haddadiyah, yaitu tarekat yang berpangkal dari Said Abdullah Al-Haddad. Aliran ini termasuk paham yang keras dan sangat sulit untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan.
        Proses pendirian dayah Krueng Kalee dimulai dari mendirikan pondok-pondok dari batang bambu, batang kelapa dan atap rumbia dengan tidak pernah hilang tujuan. Sebagai seorang ulama yang mewarisi para nabi dengan keyakinan yang kokoh itulah sebabnya beliau mendirikan dayah yang diberi nama Dayah Luhur Krueng Kalee.
        Pembangunan dayah tersebut dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat yang tergugah kekhawatiran akan suramnya masa depan agama Islam. Mereka melihat realitas dalam masyarakat sekitarnya, dimana masyarakat pada waktu itu sebagian besar telah menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
        Dari keterngan diatas jelas bahwa proses pendiriannya dimulai dari fasilitas yang sangat minimdan sederhana, partisipasi tokoh-tokoh masyarakat sangat tinggi karena mereka mendambakan agar agama Islam menjadi petunjuk dalam mengarungi kehidupan bagi generasi yang akan datang.
        Waktu itu, masalah dana tidakalah terlalu sulit untuk dipikirkan karena sumber pembiayaannya dapat diperoleh dari berbagai jalur seperti;
  1. Sumbangan dari orang tua santri.
  2. Sumbangan masyarakat yang berbentuk sedekah-sedekah.
  3. Harta agama, dalam hal ini zakat.
  4. Sumbangan dermawan diluar daerah Krueng Kalee.
  5. Bantuan pribadi dari pemimpin/Teungku.
        Dari biaya untuk mendirikan pesentren diperoleh secara suka rela dari berbagai kalangan, bahkan sumbangan itu datang secara spontan tanpa permintaan dari pihak dayah itu sendiri.hal ini membuktikan bagaimana besar keinginan masyarakat terhadap adanya sebuah lembaga pendidikan agama di daerah tersebut pada masa dahulu. Kedudukan dayah luhur Krueng Kalee sebagai pusat pendidikan agama Islam, pembina kader pembangunan, mental spiritual adalah sangat penting. Dayah telah banyak berjasa mendidik dan mencetak kader-kader yang tangguh seperti di masa dahulu, juga kader-kader pembangunan masyarakat desa.
        Adapun tujuan Tgk Haji Hasan Krueng Kalee memimpin dayah adalah tidak lain hanya mencari keridhaan Allah semata-mata dan pengabdian diri kepada ilahi. Beliau tidak pernah minta upah kepada siapapun, dan membawa umat manusia kepada kebenaran, untuk sama-sama menjalankan syariat Islam juga untuk member pengajian kepada masyarakat yang ingin menambah ilmu pengetahuan baik dibidang Islam maupun dibidang lain.
        Santri-santri pada dayah tersebut bukan hanya putra daerah sekitar juga berada di luar daerah, seperti dari Sumatra, Riau, Jambi dan Minangkabau, mereka itu ditempatkan dalam satu asrama dengan tata tertib tertentu, untuk kepentingan belajar baik malam maupun siang.
        Dengan demikian tujuan Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mendirikan dayah untuk mengabdi kepada Allah dan mencari keridhaanNya. Disamping itu juga membina masyarakat untuk cinta kepada kebenaran, serta mencetak kader-kader pemimpin bangsa dan masyarakat. Disamping itu beliau menyediakan waktu untuk masyarakat, baik untuk kaum laki-laki maupun wanita yang beliau sediakan pada hari-hari tertentu. Disini faktor kepemimpinan, ternyata memegang peranan. Kemajuan suatu dayah sangat tergantung kepada ulama yang memimpin dayah itu, bukan kepada nama dayah itu sendiri, oleh karena itu kita mengetahui mengapa seorang santri itu pergi belajar ked ayah yang jauh, sedangkan di dekatnya ada dayah pula. Hal ini menunjukkan adanya kebebasan untuk memilih guru dan ilmu yang dipilih seseorang.[8]
        Berdasarkan kutipan diatas jelas bahwa kemajuan suatu dayah sangat tergantung pada pemimpin itu sendiri. Adapun tujuan utama didirikan dayah tersebut adalah untuk meningkatkan pendidikan ini dikalangan masyarakat. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam tulisannya: peranan agama Islam dalam perang Aceh dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau mengatakan bahwa “pendidikan islam telah mengambil tempat dalam pembangunan bangsa yang dimulai dengan berdirinya pusat pendidikan dayah Cot Kala, yang kemudian berkembang di seluruh Aceh”.[9]
        Menurut sumber diatas tidak dapat diragukan lagi bahwa kader-kader Islam yang tampil dimasa lalu, ditempa melalui dayah yang berkembang di seluruh Aceh. Selanjutnya menurut informasi yang diperoleh bahwa dayah luhur Krueng Kalee juga telah mendidik masyarakat dalam bidang pendidikan agama Islam dan untuk mencetak kader-kader ulama dan dai.  
        Dapat dipahami bahwa dengan tampilnya dayah luhur Krueng Kalee ditengah-tengah masyarakat telah dapat membawa hikmah keagmaan yang sangat besar bagi masyarakat Aceh, bahkan ke daerah-daerah lain, tidak sedikit dari mereka menjadi pemimpin formal dan informal di daerahnya seperti menjadi keuchik, imam masjid, imam menasah, guru pengajian, penceramah dan paling tidak mereka menjadi tuha peut, pokoknya mereka turut mendarmabaktikan ilmunya untuk kemajuan masyarakat.
        Dayah Krueng Kalee memiliki ciri khas yaitu lebih menitikberatkan kepada pengetahuan Islam, ciri khas lain, disiplin dan tempaan keras mengenai menuntut ilmu sebagai ibadah.karena kedudukan oarng yang berilmu didalam agama Islam jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan
        Rasulullah SAW pernah menjelaskan dalam sabdanya yang berbunyi: “seseorang yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan jalan untuknya menuju Syurga. Dan sesungguhnya para malaikat akan membentang sayapnya, karena senang bagi penuntut ilmu dan orang yang berilmu akan diminta ampun oleh segala apa yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan di laut, kelebihan oarng yang berilmu atas oaring yang beribadah sama seperti kelebihan bulan purnama atas bintang-bintang lainnya.[10]
        Ajaran inilah yang menjadi anutan bagi Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, sehingga ia yang berbeda dari pendidikan umum lainnya. Sedangkan materi yang beliau ajarkan didayah tersebut meliputi antara lain: Al-Qur’an Al- Karim, ilmu Tauhid, Hadis, Tafsir ilmu Ma’any, ilmu Bayan, ilmu Badi’, ilmu Falaq, Nahu, Sharaf dan Sejarah Islam.

C. Biografi Singkat Teungku Haji Muhammad Hasan Kreung Kalee
            Ulama  yang kerap dipanggil dengan sebutan Abu Krueng Kalee ini, lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.[11]
Setelah situasi perang relatif mereda, Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.
Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.
Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky”.
Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodohkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id Pimpinan Dayah Meunasah Baro Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.
Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh semisal Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. Haji Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (mantan Imam Mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreng (ayahanda Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Matan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), dan lain-lainnya. Sebagian dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendiidkan agama/ dayah baru di daerah masing-masing.
Sutau hal yang patut disayangkan dari para ulama tradisional Aceh dahulu adalah minimnya karya tulis keilmuan. Padahal mereka sangat “kaya” dalam khazanah ilmu agama dan pengalaman rohani. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sistem pembelajaran di kalanagan Dayah ketika itu yang sangat terfokus pada metode “Sima’i” dan “Talaqqiy” yaitu metode belajar dengan mendengar memahami dan menghafal. Metode yang sama juga digunakan ketika mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi berikutnya. Sementara penyampaiannya kembali ilmu dalam bentuk narasi atau tulisan ilmiah meskipun dapat kita temukan, namun tidak sebanding dengan khazanah keilmuan yang mereka miliki.
Fenomena ini juga terjadi pada kisah hidup Tgk. H. Hasan Krueng Kalee. Kemahiran Abu Krueng Kalee dalam Ilmu Falak (Astronomi) sangat disayangkan tidak membuahkan sebuah karya ilmiah yang dapat dijadikan rujukan hari ini. Padahal ilmu yang dimilikinya tergolong ilmu yang langka di Aceh dan Nusantara ketika itu. Walaupun demikian semasa hidupnya Abu Krueng Kalee selalu menerbitkan hasil Hisab tentang awal bulan –bulan Arab, Khususnya Ramadhan, Syawal dan Haji yang sangat bermanfaat bagi masyarakat ketika itu.
Hal senada juga diutarakan oleh putranya, Tgk. H. Syech Marhaban Hasan Krueng Kalee, ia sangat menyayangkan minimnya karya tulis dari ayahandanya tersebut. Padahal ide, pemikiran, fatwa-fatwa dan hasil penelitian Abu Krueng Kalee dalam Hisab dan Falak sangat banyak, dan tentu akan sangat berguna jika dibukukan ketika itu.
Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan Republik Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung.
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

D. Karya Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam Bidang Tasawuf
Selain aliran dalam berbagai disiplin ilmu agama Islam, Abu Krueng Kalee juga terkenal dengan Tasawuf dan kesufiannya. Abu Krueng Kalee adalah orang  pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan Tarekat Al-Hadadiyah di Seraambi Mekkah, sebagaimana dijelaskan dalam sanad Tarekat.
Dalam upaya menyebarkan tarekat tersebut, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menulis sebuah buku panduan dalam tarekat Al-Haddadiyah yang diberi nama: “Risalah Latifah fi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa Kaifiyatu Tilawah al-Samadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah al-Haddad.”
Kitab “Risalah” setebal 32 halaman tersebut ditulis dalam dua bahasa Arab dan Melayu Jawi. Kitab ini terbagi dalam empat bagian. Bagain pertama menerangkan adab berzikir dan bertahlil. Bagian kedua menerangkan cara membaca shamadiyah menurut tarekat al-Haddadiyah. Bagian ketiga tentang silsilah sanad tarekat. Dan bagian ke empat menerangkan adab dan metode membaca kitab dalail khairat sebagaimana yang diijazahkan oleh kedua gurunya, Syech Abdullah Ismail dan Syech Hasan Zamzami.
Pada bagian pertama buku ini, Abu Krueng Kalee menjelaskan bagaimana prosedur yang seharusnya dipelihara dalam berzikir. Dimulai dengan memelihara adab berzikir berupa taubat dari segala dosa besar dan kecil, duduk bersila menghadap kiblat sambil mengapitkan ibu kaki kanan ke dalam lipatan paha kiri tepat pada urat besar di bawah lutut kiri yang bernama urat kaimas, meletakkan dua tangan di atas kedua paha seraya menundukkan kepala sekedarnya dan menetapkan seluruh anggota tubuhnya. Selanjutnya membaca istighfar tiga kali dan shalawat atas Nabi sepuluh kali dengan bacaan tertentu.
Selanjutnya mulai berzikir dengan ucapan khusus, seraya memejamkan mata agar terbuka mata hatinya. Dan dibayangkan wajah/rupa guru (orang yang memeberinya ijazah tarekat) di hadapannya. Karena dengan berkat/ ‘afwah gurunya-lah ia mendapatkan kebajikan zikir tersebut. Hal inilah yang disitilahkan dengan “Rabithah” di kalangan ahlus sufi.
Buku yang selesai ditulis tanggal 5 Dzulhijjah 1345 H ini, sangat menekankan pentingnya arti “Rabithah’ dalam bertarekat. Rabithah diartikan pertambatan hati antara guru dan muridnya. Menurut Abu Krueng Kalee, guru adalah ganti dari Rasulullah dalam hal memberi ijazah, Talqin dan Bai’at. Rabitah disini juga dimaknai dengan ikatan hati antara murid dengan gurunya lalu ikatan hati guru tersebut dengah gurunya yang lain hingga sampai kepada hati Rasululah Saw., selalu berharap kepada Allah ‘Azza wajalla dengan berzikir.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam buku ini juga menjelaskan bagaimana metode berzikir menurut tarekat al-Haddadiyah. Terlebih dahulu mengingat dalam hati kalimat “Allah, Allah” hingga hilang segala hal keduniaan (aghyar) pada hatinya. Dalam mengucapkan kalimat “Ia” nafas di ambil dari pusar lalu dinaikkan ke otaknya, pada saat itu kepala dicondongkan sedikit ke kanan sambil mengucapkan kalimat dan pada saat mengucapkan kalimat “seolah-olah kalimat itu dihujjamkan dalam hati yang terletak pada lambung kiri kadar dua ibu jari bawah susu. Hentakan tersebut dilakukan dengan mesra dan dimaksudkan untuk memberi bekas kepada hati, sebab ia adalah tempat bernaungnya syaitan yang bernama “Khannas”. Metode dzikir semacam ini juga dijumpai dalam berbagai tarekat sufi lain dalam pengucapan kalimat tahlil.
Pada kesudahan buku ini juga memperingatkan orang agar berzikir dengan tulus ikhlas semata-mata karena Allah, serta memelihara bacaan dzikir agar tidak terjadi kesalahan pengucapan yang berdampak kepada kufur. Dzikir tidak hanya dilakukan dalam keadaan duduk, tapi boleh dalam keadaan berjalan, maupun berbaring. Baik dengan lisan atau dengan hati.
Abu Krueng Kalee juga menjaelaskan sebaiknya seseorang terlebih dulu membaca samadhiah sepuluh ribu kali yang diniatkan bagi dirinya sendiri, lalu sepuluh ribu kali bagi orang tuanya, dan sepuluh ribu kali bagi syaikh/ gurunya. Akan tetapi yang paling afdhal untuk diri sendiri dibaca seratus ribu kali.
Menurut Abu Krueng Kalee, keistimewaan membaca shamadiah (surat Ikhlas) didasari atas hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwa “barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sepuluh ribu kali, niscaya Allah akan membebaskan dari api neraka”.
Tarekat Al-Haddadiyah memiliki ciri khas berupa kesederhanaan, khususnya dari segi bacaan dan praktek dzikir yang terfokus kepada kalimat Tauhid dan tahlil selain selawat dan doa-doa lainnya. Ini di dasari pada beberapa hadits Rasulullah yang menekankan pentingnya arti kalimat Tauhid tersebut.

E. Kiprah Tgk. H. Hasan Krueng Kalee Dalam Dunia Politik
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
Bagi pemerhati sirah Rasulullah Saw yang mulia, hal seperti ini pada dasarnya tidaklah mengherankan. Sebab Rasul Saw yang notabene adalah waliyul Auliya wa Asyfiya pemimpin para wali dan sufi) juga merupakan pemimpin pemerintah Islam. Mengurus agama dan juga mengatur Negara. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Akhirat adalah tujuan, sementara dunia adalah jalan (wasilah) untuk menuju kesana.
Pemahaman yang benar terhadap sirah Rasul ini membuat Abu Krueng Kalee dapat mengkombinasikan kedua hal tadi dalam kehidupannya. Karena tasawuf dan tarikat tidak selalu identik dengan uzlah (pengasingan diri) dari kehidupan sosial. Pemahaman ini pula yang kemudian membuat kiprah Tgk. H. Hasan Krueng Kalee selalu hadir mengiuringi setiap peristiwa yang muncul di sekelilingnya.
Dalam upaya mengusir penjajahan kolonial Belanda mislanya, sikap Abu Krueng Kalee jelas terlihat dari usahanya membentuk laskar mujahidin yang terdiri dari para santri dan masyarakat guna mengusir penjajahan dari Bumi Serambi Mekkah. Hal ini terus berlanjut hingga perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Puncak dari dukungan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee terhadap Republik Indonesia yang baru lahir ketika itu adalah diterbitkannya “Maklumat Ulama Seluruh Aceh” tanggal 15 oktober 1945. Maklumat ini berisikan tentang fatwa bahwa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (Jihad fi sabilillah), dan merupakan sambungan dari perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Alm. Tgk. Chik Di Tiro, dan pahlawan-pahlawan kebangsaan lainnya. Maklumat penting ini diprakarsai dan ditandatangani oleh empat Ulama besar yaitu; Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Tgk. M. Daud Bereu’eh, Tgk. H. Djakfar Sidik Lamjabat, dan Tgk. Ahmad Hasballah Indarapuri, serta diketahui oleh Teuku Nyak Arief selaku Residen Aceh serta disetujui oleh Tuanku Mahmud selaku Ketua Komite Nasional.
Selain maklumat bersama, beliau juga mengeluarkan maklumat sendiri yang tidak jauh berbeda dengan maklumat itu. Maklumat tersebut kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan Surat Pengantar yang ditandatangani Ketua Umumnya Ali Hasjimi tertanggal 8 November 1945 dan dikirim kepada para tokoh dan ulama seluruh Aceh. Dampak dari seruan ini, berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahiddin Divisi Tgk Chik di Tiro.
Keluarnya Maklumat Ulama seluruh Aceh tadi sangat memberi dampak positif bagi pemeritah baru RI saat itu dan munculnya semangat dukungan fisik dan materil rakyat Aceh bagi membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sehingga tidak mengherankan, dalam kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh Juni 1948, ia menegaskan bahwa Aceh segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.”
Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleeblang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada  dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “Ta Peu’ek Geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.
Menjelang tahun lima puluhan, bersama beberapa tokoh lain Abu Krueng Kalee memprakarsai lahirnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) di Aceh sekaligus memimpin organisasi tersebut aktif hingga tahun 1968.
Kiprah politik beliau terus berlanjut hingga pernah diangkat menjadi Dewan Konstituante pasca pemilu 1955 mewakili PERTI. Hingga akhir hayatnya beliau terus memberikan ilmu-ilmunya kepada masyarakat melaui konsultasi dan pengajian-pengajian.


BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
            Dayah dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana strategis dalam proses transmisi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain itu fungsi dayah juga sebagai institusi yang selalu memberikan respons terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat. Ulama dayah harus selalu siap menjadi pengawal bagi terciptanya komunitas intelektual di negeri SëuramoeMéukkah.
Dalam sejarah bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984

M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadiya Foundation. 2003

Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD. 2007




[1]  M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. 1.
[2] M. Hasbi Amiruddin, “Ulama Dayah: Peran dan Responnya terhadap Pembaruan Hukum Islam,” dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h.  h. 36 – 37.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 15.
[4] Sebelum tengku Muhammad Amin Syah Johan dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Peurlak yang ke-6.
[5] Amiruddin, Ulama Dayah, h. 36 – 37.
[7] Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD, 2007), hal. 63.
[8] Ibrahim Husen, persepsi Kalangan Dayah Terhadap Pendidikan Tinggi di Aceh, Sinar Darussalam, No. 146, Maret/April 1985, hal. 115.
[9] Prof. A. Hasjmy, peranan agama Islam dalam Perang Aceh dan Perjuanagan Kemerdekaan Indonesia, Sinar Darussalam, No. 63, Mei/Juli 1980, hal. 25.
[10] Al-imam Hafid Abu Daud Sulaiman, sunan abi daud, Juz. II, Cet. I. Syirkah Maktabah wa mathba’ah Isa- baby Al- Halaby, Mesir, 1952, hal. 285.

No comments:

Post a Comment