PENDAHULUAN
Makalah
ini kami buat berdasarkan materi dalam pembahasan sosiologi yaitu kontribusi
islam terhadap sosiologi . Yang mana pada mata kuliah ini di dampingi oleh
dosen pembimbing yaitu: Bapak H.
Syaripulloh, M. Si. Sebelum kami membahas
makalah ini kami akan memperkenalkan diri, kami dari kelompok sepuluh kelas 1 ips C, yang beranggotaan yaitu:
1. Ria
Liniarti
2. Irfan
Ali Musyafi
3. Kursiwi
Dalam
kesempatan kali ini akan menjelaskan tentang kontribusi islam terhadap sosiologi. Kontribusi nilai-nilai Islam terhadap sosiologi mengindikasikan
adanya sosiologi
islam jika sosiologi
Islam digunakan maka
terjadi “islamisasi” hal ini menandakan masuknya nilai-nilai Islam sebagai bagian
integral sosiologi. Usaha
ini biasanya
mencoba menjelaskan sosiologi bersesuaian dengan nilai-nilai keislaman atau bagaimana Islam menguraikan tentang fenomena sosial. Dalam
kajian sosiologi Islam, sumber ajaran Islam (Al-qur’an dan
Hadis) menjadi
dasar utama dalam menjelaskan relasi
individu-individu dalam masyarakat. Tulisan sosiologi Islam disini juga tidak
bertujuan untuk menghadapkan antara perspektif antara sosiologi Islam dan
soiologi Kontemporer,tetapi seberapa jauh terdapat perbedaan-perbedaan yang
distingtif dalam fenomena sosial dilihat dari perspektif keislaman dan sosiologi
kontemporer.
Sosiologi
Islam juga menganalisis fenomena sosial dan pola hubungan antar individu
sebagai realitas sekaligus sunatullah. Sunatullah adalah realitas yang diakualisaikan
tentang “apa yang sebaiknya” dan apa yang
seharusnya. Telaah kritis keislaman terhadap realitas dipandang sebagai
mempertahankannya
sebagai khalifah Tuhan.[1]
Manusia dan
Masyarakat
Hubungan manusia dan masyarakat menggambarkan hubungan
simbiosis keberadaannya satu sama lain. Masyarakat ada karena tersusun dari
manusia dan system nilainya. Pandangan – pandangan sosiolog kontemporer dalam
hal ini akan melihat dari gejala – gejala umum yang sering terjadi sehingga di
tafsirkan sebagai faktor utama, demikian juga dengan kasus – kasus lain.
Sosiolog
Islam, pada sisi lain, menjelaskannya lebih deduktif, yaitu merujuk pada dasar
normatif doktrinal agama kemudian dijabarkan dan dihubungkan dengan fenomena
sosial yang bersifat rasional.
Kajian sosiologi Islam juga melihat masyarakat dan
manusia dari sisi peran dan perintah kekhalifahan Tuhan. Manusia ada diartikan
sebagai pembawa misi yang ada pada dirinya bersama dengan petunjuk yang dibawa
oleh ajaran agamanya. Misi ini dijelaskan dalam bentuk nilai dan norma yang
menjadi anutannya, karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan
Tuhan yang memberikan pilihan untuk berbuat baik dan buruk.
Posisi
Islam dan realitas sosial berperan sebagai deskripsi sekaligus kesimpulan dalam
mencari pilihan yang terbaik yang mengarah pada pemecahan masalah. Meminjam
pendekatan Islam dalam menjelaskan fenomena sosial akan berguna untuk membaca
aspek kehidupan, lingkungan dan gejala-gejala sosial.[2]
Terintregasinya
nilai-nilai Islam ke dalam kajian ilmu sosial, menurut al-Attas sebagai upaya
pembebsan manusia dari tradisi magis, mitologi, animistik, dan kultur nasinal
yang bertentangan dengan Islam. Pada sisi lain, ia menjelaskan bahwa Islam bisa
menjelaskan tentang ketidaktahuan manusia yang berakibat pada perbuatan tidak
adil pada dirinya. Konsep-konsep
sosiologi Barat tidak dikesampingkan dengan serta merta, tetapi melaui proses
selektif dengan nilai-nilai keislaman.[3]
Sosiologi Islam vs Sosiologi Kontemporer
Sosiologi Islam memandang bahwa fenomena sosial masyarakat berhubungan
erat dengan nilai-nilai manusia dan ketuhanan, sementara sosiologi kontemporer
menfokuskan pada fenomena empiris yang bersifat rasional yang bebas nilai.[4]
Fenomena sosial adalah sunatullah yaitu peran manusia sebagai khalifah di
dunia (masyarakat), sedang sosiologi kontemporer melihat manusia sebagai
makhluk yang bisa dijelaskan dalam konteks masyarakatnya.
Secara umum, sosiologi kontemporer dikembangkan dari
pemikiran dasar Auguste Comte, yaitu suatu pendekatan ilmiah dalam menjelaskan
manusia dan masyarakat melalui filsafat rasional. Masyarakat dapat ditelaah
secara ilmiah dan bahwa pemahaman ilmiah atas masyarakat bisa diterapkan untuk
menciptakan suatu masyarakat lebih baik. Pandangan ini dikenal dengan,
“positivisme”.[5] Pemikiran ini kemudian diadopsi oleh
sosiolog-sosiolog Barat seperti Max
Weber, Karl Max, dan Emile Durkheim.
Perspektif – perspektif sosiologi sangat beragam satu
sama lain untuk menjelaskan fenomena sosial. Dalam menjelaskan fenomena sosial
dengan menjelaskan perspektif biologi, misalnya, pola hubungan individu
digambarkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Teori ini dalam sosiologi dikenal
sebagai teori struktural fungsional. Spekulasi-spekulasi tentang fenomena
sosial kemudian melahirkan penafsiran yang berbeda dengan konsesus atau status
quo.
Kontribusi
Islam pada Sosiologi
Kontribusi
Islam dan sarjana Muslim terhadap sosiologi baik langsung maupun tidak langsung
menjadi inspirasi sosiolog kontemporer dalam mengembangkan sosiologi.
Al-Biruni, Ibn Batutah, al-maqrizi, dan Ibn Khaldun adalah segelintir ilmuwan Muslim
yang berkontribusi penting dalam sosiologi. Karya Ibn-Batutah, misalnya, meninggalkan
informasi penting tentang data etnografis baik pada komunitas Muslim ataupun
komunitas lainnya seperti Afrika dan Cina.
Dari data ini kemudian dikembangkan middle
Range theories tentang stratifikasi, peranan seks, hubungan ras,
perbudakan, dan peranan rasionalissi dalam perkembangan manusia.
Dalam kajian teks, seperti tafsir Alquran,
al-Thabari, Ibn Katsir, dan Zamakhsyari memberikan kontribusi penting pada
kajian kitab suci di Barat yang juga berkembang di dunia Islam. Dalam bidang
Hadis, Bukhari, Muslim, dan al-Turmudzi menyumbangkan kajian menonjol dalam
bidang historigrafi dan bahasa .
Dalam
bidang sosiologi hukum, dikenal nama-nama seperti Abu Hanifah, Malik Ibn Anas,
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, dan ulama-ulama syi’ah. Imam
Abu Hanifah mengembangkan konsep istihsan,
Malik Ibn Anas mengenalkan Istihlah, dan
al-Syafi’i menjelaskan tentang Istihhab.
Ketiga teori ini muncul sebagai usaha
dalam menghubungkan realitas sosial dengan aturan yang harus dibuat
ketika sumber hukum utama (Alquran dan Hadis) tidak membicarakannya secara
jelas.
Kontribusi
Ibn Khaldun
Kontribusi Ibn Khaldun (1377) terhadap sosiologi telah diakui oleh
kalangan ilmuwan sejarah dan sosiologi.[6]
Walaupun Auguste Comte (1798-1857) dipandang sebagai bapak sosilog Barat,
pemikirannya baru muncul 4,5 abad setelah masa kehidupan Ibn Khaldun.
Kontribusi Ibn Khaldun dalam bidang sosiologi juga diakui oleh orientalis
Soviet.
Salah
satu teori sosial yang dikenalkan Ibn Khaldun adalah ashabiyah. Konsep ashabiyah yang
ditawarkan Ibn Khaldun tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris. Ahabiyah adalah istilah yang populer
pada masa pra-Islam, tetapi menjadi populer dalam buku Mukkadimah Ibn Khaldun. Konsep Ashabiyah
mejelaskan tentang ikatan dasar masyarakat
dan kekuatan mendasar motif sejarah. Secara umum, Mukkadimah Ibn Khaldun membahas enam bagian studi masyarakat dan
peradaban manusia, antara lain:
1)
Masyarakat
secara umum,
2)
Masyarakat
nomaden yaitu suku-suku Arab dan quasi Negara
3) Negara,
khalifah, kedaulatan dan fungsi monarki
4) Masyarakat
beradab dalam kota
5) Pandangan,
pola hidup dan cara penghidupan masyarakat
6) Sainsdan
cara mempelajarinya
Konsep Mukaddimah dalam ashabiyah adalah hubungan darah antar individu secara umum terutama
hubungan kekrabatan keluarga dan timbal balik dan kekuatan utama suku atau
masyarakat yang tercemin dalam kehendak yang sama. Konsep ashabiyah yang berhungan dengan desa dan kota dianalogikan dengan
sebagai konflik, keduanya memiliki ciri-ciri khusus yang menjelaskan
kecenderungan masyarkat yang berasosiasi
secara baik atau bersaing satu sama yang lain. Konsep ini mempunyai kesamaan dengan para sosiolog kontemporer. kesamaan
konsep ini terdapat pada dalam teori
dualistic typology (saling
berlawanan) seperti contoh dibawah ini:
No
Sosiolog Dualistik
Tipologi Masyarakat
1 Ibn Khaldun Badwi >< Kota
2 Tonnes Komunitas
>< masyarkat
3 Durkheim Mekanik
>< Organik
4 Cooley Primer
>< Skunder
5 Redfield Desa
>< Kota
6 Becker Sakral
>< Skuler
Hubungan
Ibn Khaldun dan ilmu sosiologi memilki arti penting dalam pengembangan sosiologi
kemudian. Ia menjelaskan bahwa
setiap Dinasti atau
peradaban memiliki benih benih kemunduran . artinya penguasa dalam sebuah
dinasti akan cenderung muncul dalam pinggiran dari kaisar besar dan banyak
menggunakan
kekuatan ashabiyah yang hadir dalam
lingkungannya untuk
menanamkan kepentingan dengan
tujuan untuk melakukan perubahan dalam kepemimpinan. Ini menandakan bahwa pemimpin-pemimpin baru pada saat
pertama akan
dianggap sebagian
barbarian jika dibandingkan dengan pemimpin
yang lama. Ketika penguasa-penguasa itu bisa
mapan pada pusat
kekuasaannya mereka akan semakin longgar, kurang koordinasi, disiplin dan hati
hati dan lebih memperhatikan penguasa barunya
dan gaya hidupnya dalam pusat kekuasaan berarti ikatan internal dan
hubungan dengan kelompok pinggiran asal yaitu Ashabiyah,
terpecah menjadi faksionalisme dan individualisme seraya menghilangkan
kemampuan politik . Dengan
demikian, suatu kondisi akan tercipta dimana
suatu dinasti baru akan muncul di pinggiran control mereka, tumbuh kata
dan pengaruh pada pergantian pemimpin dan memulai yang baru. Dalam sifat
alamiah Ibn Khaldun berbeda dengan sosiolog kontemporer. Secara alamiah ,
manusia wewarisi sifat alamiah yang sama yaitu memiliki sifat yang baik.
Ibn
Khaldun dan Sosiolog Kontemporer
Pertemuan pemikiran Ibn Khaldun dengan sosiolog modern
seperti Durkheim dan Weeber dapat diuraikan sebagai berikut. Solidaritas yang
kuat antara kelompok Badwi
menurut Ibn Khaldun telah menjelma menjadi komunitas yang berhadapan dengan
kota. Dengan cara hidup cara hidup yang berpindah-pindah , karena sistem sosial dan sumber
kehidupan dari ternak onta (kambing) mereka sering kali merampok harta orang
kota. Dengan cara ini kelompok Badwi
akan mendiami semikota dan membentuk dinasti yang masih terikat oleh
ashabiyahnya. Namun mereka lambat laun dipengaruhi sistem kota,
dan karena itu ashabiyah kesukuan akan muali berkuarang , mereka takluk oeh
tradisi kemaksiatan kota sebeb itu kelompok ini mudah di kalahkan oleh suku
lain yang ikatan sosialnya masih kuat.[7]
Secara
implisit , Ibn Khaldun
menjelaskan bahwa kekuatan dasar manusia terletak pada keyakinan untuk berasosiasi . ikatan asosiasi
akan kuat jika miliki keyakinan yang sama antar kelompok individu. Disinilah pemikiran Ibn
Khaldun berperan penting dalam pembentukan cikal bakal nasionalisme. Jika itu terpelihara
maka akan muncul identitas yang dimiliki bersama, fanatisme, dan ideologi.
Dalam
melihat fenomena sosial berkrakteristik
tipologi dualistik
: kota dan desa: Badwi
dan kelompok urban Ibnu khaldun maju
dari pada ilmuan lain sezamannya bahkan dalam paradigma soisiologi kontemporer
, sulit untuk di sangkal bahwa pemikiran Emile Durkheim memiliki kesaamaan dengan Ibn Khaldun.
Sosiologi
Islam : Sebuah alternative ?
Pemaknaan Islam bagi sosiologi Islam sangat kental dengan
nilai-nilai ketuhananan. Karena itu , sosiologi
Islam akan menjelaskan fenomena sosioal untuk mengungkapkapkan masalah sekaligus menjelaskan penyelesaiannya
berdasarkan nilai-nilai baik dan buruk yang diakui oleh Islam. Ketika sebuah
ilmu mengandung tujuan dan harapan, maka ia ada bukan hanya bersifat
asumsi-asumsi yang diverifikasi. Beberapa kemungkinan yang bisa di tawarkan
dalam kaitannya dengan sosiologi dan
Islam antara lain sebagai berikut:
1. Alam
yang alamiah. Pemahaman tentang alam dan fenomena sosial selalu dikaitan dengan pencipta , termasuk
asal penciptaan manusia beserta karakteristiknya. Allah dipahami prima kuasa
dan otoritas tunggal yang ada di dalam sosiologi modern. Yang terakhir ini
melihat alam sebagai fenomena biasa yang akan mengarah kemana saja dan
berakibat tertentu mengikuti sebab akibat yang saling terkait secara
empiris. Kerena itu , asumsi-asumsi
berdasar kepada kepada saling menghubungkan fakta dengan fakta dan menganbil
kesimpulan secara relatigf akibatnya
keyakinan seperti ini mengganti Allah , seperti ungkapan bahwa alam
menjadikan semua hal menjadi mungkin. Pandangan keyakinan pada allah yang
tunggal menjadi utama dalam sosiologi islam. Jika Allah seseorang mengatakan bahwa semua yang ada
adalah alamiah, maka perlu dipahami bahwa Allah adalah pencipta alam ini.
2. Manusia
alamiah. Karakteristik manusia Yang dijelaskan
Alquran ada empat hal
i. Manusia terdiri hal-
hal berlawanan seperti jahat dan baik. Hal itu berawal dari sumber utama
ciptaan manusia dalam doktrin ini , manusia juga di dorong untuk mengikuti dan
mengembangkan hokum-hukum Allah dalam masyarakat. Prinsip ini berbeda dengan tradisi
kristiani yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya berdosa , atau dalam
tradisi kontemporen manusia adalah berdiri sendiri dan inilah yang bisa di
tafsirkan sebagai bagian dari pola hubungan relasi dalam individu.
ii.
Manusia memiliki
kemampuan untuk berbuat keputusan artinya , ketentuan awal ada pada manusia
bukan telah dibuat dan ada sebelumnya, tetapi yang menentukan perilaku manusia adalah
keinginan manusia sendiri
3. Manusia
memiliki kemampuan untuk memahami dan
mendapatkan pengetahuan (Q.S 2:31). Dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa
manusia bukan saja memiliki kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan tetapi juga
menciptakan pengetahuan dengan demikian meningkatkan modal intelektual.[8]
4. Aturan
sosial. Masyarakat terdiri dari dua elemen: pluralitas dan aturan yang mereka
harus diikuti bersama. Dimana di dalam Al-quran di jelaskan bahwa manusia di
mulai dari Adam dan Hawa.
Sejarah manusia . dalam sejarah manusia,
proses dialektis progresif dan perubahan yang slaing berlawanan dan beradil dan
tiorani. Ketika manusia berusaha menciptakan keadilan ,ia akan menghadapi
tantangan atau bahkan penolakan. Jika di kaitkan dengan Marx, yang melihat
konflik sebagai dasar dari sisi diadelik
sejarah. Sejarah
al-quran dengan penjelasannya yang unik pada Sistem berubah tetapi noda akan
hilang kembali dengan kekuatan kebaikan
atau sebaliknya. Bertolak belakang dengan Marx , Islam menjelaskan solusi akhir
bergantung pada kemampuan manusia untuk merubah dirinya (Q.S 13:12) yang artinya, “Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan
kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan
mendung”.
Landasan
utama sosiologi islam terdapat pada
juga ditelusuri dari pemikiran Ali Shar’ati, Sosiolog Muslim kelahiran Iran. Dalam
menjelaskan sistem Masyarakat dan munculnya komunitas , ia merujuk pada
peristiwa kabil dan habil yaitu lahirnya sebuah kekuatan. Dalam melihat kasus
ini yng ia anggap sebagai awal sejarah manusia. Ali shari’ati menggambarkan
kabil sebagi simbol negative dan habil sebagai simbol positif. Dalam kaitan
kekuasaan, ia menyebut Kabil sebagai
penguasa (king) dan Habil sebagai yang dikuasai. Kematian Habil adalah
objektif, agam kehidupan pemerintah dan ekonomi
dan nasib manusia ada karena
bermula dari kasus ini . Karena
itu , peristiwa ini sebagai contoh universal dalam kehidupan manusia secara
fakta dan ilmiah bersumber pada kontradiksi dan perjuangan di mana
faktor-faktor ekonomi dan seks berperan sangat dominan.[9]
Konsep
Islam Tentang Masyarakat
Berikut
adalah beberapa konsep tentang sosiologi Islam yang bisa memberikan perspektif
baru dalam menjelaskan fenomena sosial yang cenderung positivistik.
1. Untuk
menawarkan teori islam tentang masyarakat, hubungan material dan spiritual
dalam kaitannya dengan eksitensi manusia perlu ditekankan terutama asal mula
manusia yang memiliki dua sisi, baik dan buruk.
2. Teori
ini memusatkan diri pada proses rasional dan membuat keputusan dengan memilih
alternatif - alternatif yang
menghalangi interaksi sosial pada tingkat minimum.
3. Teori
ini harus mampu mengembangkan pada proses yang lebih luas seperti konsensus dan
kerja sama pada satu sisi dan konflik dan persaingan pada sisi lain.
4. Teori
ini harus mampu menjelaskan perubahan pada pola-pola perilaku individu juga
pada masyarakat dalam kaitanya dengan proses-proses internal, seperti evolusi
dan revolusi dan faktor eksternal asimilasi dan invansi.
5. Teori
ini harus digunakan untuk mencapai tujuan islami dengan penekanan pada situasi
motivasi manusia pada tingkat individu, kelompok, komunitas nasional bahkan
internasional.
Mutahhari
melikat konsep masyarakat dari surat Al-Hujurat ayat 13: “ Hai manusia, kami
ciptakan kamu laki- laki dan perempuan, dan kamikalian berbeda-beda suku dan
bangsa agar kalian saling kenal mengenal.”[10]
ayat ini
bisa dijadikan argumen dalam merespon konsep
masyarakat yang diajarkan selama ini, yaitu:
1. Masyarakat
yang terbentuk secara alami
2. Berkerja
sama karena ada kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
3. Kehidupan
sosial yang didasari pada pilihan untuk mencapai tujuan yang penting (rasional).
Islam
memberikan perspektif bahwa
hubungan manusia dibentuk atas dasar perasaan berbeda tetapi sejajar, tidak
merasa lebih unggul dari yang lain , sebab keunggulan dicapai dengan kebaikan.
Berbeda dari teori-teori sosial tentang masyarakat diatas , Islam memberikan
penjelasan rasional bahwa hubungan individu satu dengan yang lain sebagai
gejala alamiah, namun
ia tidak semata mata hubungan kontrak , memilih demi mancari vested
interest.[11]
Penawaran
teori diatas harus mampu mencangkup proses-proses manusia yang menggambarkan
dua kutub yang saling ssasling berlawanan dalam btasan-batasan hubungan
manusia. Hal ini dilakukan karena kelemahan sosiologi kontemporer dalam
menjelaskan fenomena masyarakat hanya mengambil pada posisi ektrim. Contohnya
adalah perspektif sosiologi yang memusatkan perhatian nya pada fenomena mikro,
seperti interaksionisme
simbolik yang tidak mampu menjelaskan hal-hal makro . Isu tentang konflik
gagal untuk menjelaskan keserasian. Hal itu karena fokusnya pada manusia yang bersifat material dan
mengabaikan sisi spiritual.
Karena sosiologi
lebih dipandang sebagai kajian rasional yang menempatkan agama sebagai
institusinya maka kajian sosiologi di Negara barat maupun dalam islam tidak
merujuk pada Alqur’an atau hadist Nabi. Paradigma sosiologi berkembang saat ini
beranjak dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk alamiah yang memiliki
kemiripan dengan
hewan terlepas dari ikatan transendental
ketuhanan , maka
muslim pun bisa mempraktikan nilainya tanpa rasa malu.[12] Kontribusi Islam
terhadap sosiologi seperti diatas dapat
dilihat dari berbagai sisi. Namun isu penting kontribusi Islam dapat di uraikan
dari sumber data, teori-teori
tentang masyarakat
yang berkembang oleh para sarjana muslim
dan nilai- nilai Islam. Di samping kontribusi Islam, terlihat bahwa
paradigma relatif dalam karakteristik
sosiologi kontemporer telah mengakibatkan terjadinya madzab-madzab sosiologi
yang beragam. Karena
itu, sosiologi Islam bisa di gunakan sebagai sosiologi Alternatif dalam menjelaskan
fenomena tadi . ketika sosiologi Islam di gunakan , bukan berarti ia menjadi
bagian keharusan atau jawaban yang valid dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial.
KESIMPULAN
Pada
dasarnya faktor utama akan keberadaan
masyarakat yaitu karena tersusun dari beberapa manusia dan sistem nilainya, karena
itu ada dua pandangan yang berbeda yakni dari sosiologi islam memandang bahwa
fenoena sosial masyarakat berhubungan erat dengan dengan nilai-nilai ketuhanan
sementara sosiologi kontemporer memandang bahwa fenomena sosial masayarakat
terfokus pada sosial empiris yang bersifat rasional bebas nilai , tetapi kontribusi ialam pada sosiolog secara
langsung atau tidak langsung akan menjadi sosiolog kontemporer seperti
pertemuan pemikiran ibnu khaldun dengan sosiolog kontemporer (modern) menguraikan bahwa
solidaritas yang kuat antara kelompok badui talah menjadi komunoitas yang
berhadapan dengan kota .Ibnu khaldun menegaskan kembali bahwa kekuatan manusia
terletak pada keyakinan untuk berasosiasi (keyakinan yang sama antara
kelompok individu).
Dengan
semua itu telah terbukti
bahwa sosiolog islam merupakan sebuah alternative dengan sebuah kemungkinan
yang bisa ditawarkan
dalam kaitannya terhadap sosiolog islam antara lain : alam yang alamiah,manusia yang alamiah,kekuatan manusia,aturan sosial,dan sejarah manusia.
Konsep
islam tentang masyarakat itu sendiri
adalah :
1. Menawarkan
teori islam tentang masyarakat
2. Memusatkan
diri pada proses rasional
3. Mengemmbangkan
pada proses yang lebih luas
4. Mampu
menjelaskan perubahan
5. Menggunakannya
untuk mencapai tujuan islami
DAFTAR
PUSTAKA
Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad. 1996. Sosiologi
Islam dan Masyarakat Kontemporer. Bandung: Mizan.
Razak, Yusron, (e.d).2008. Sosiologi Sebuah Pengantar.
Jakarta: Laboratorium
Sosiologi Agama.
Saefuddin, A.M. 1998. Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.
[1] Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Laboratorium
Sosiologi Agama.2008). hal 243.
3Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal 245.
[4]
Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah
Pengantar, (Jakarta. Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal 246.
[5]
Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer,
(Bandung: Mizan.1996). hal 17.
[7] Razak,
Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah Pengantar, ( Jakarta. Laboratorium Sosiologi
Agama.2008). hal 258.
[8] Razak, Yusron, (e.d),
Sosiologi Sebuah Pengantar, ( Jakarta. Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal
258.
[9] Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah
Pengantar, (Jakarta. Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal 261.
[10] Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal 262.
[11] Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal 263.
[12] Razak, Yusron, (e.d), Sosiologi Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama.2008). hal 263.
No comments:
Post a Comment