Data Buku
Judul Buku : Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh.
Penyusun : Prof. A. Hasymy
Penerbit : Bandung: Alma’arif,
1993
Tebal : 524 halaman; 21 cm
Harga Buku : Rp 45.000,-
Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan
Islam
Daerah
Aceh terletak di Pantai Utara Pulau Sumatera. Jauh sebelum agama Islam dikenal
dan dianut oleh penduduknya, ini telah di diami oleh manusia pemakan kerang.
Daerah pemukimannya di sepanjang Pantai Sumatera Timur Laut yaitu mulai dari
Lho’ Seumawe sampai Medan sekarang. Sisa –sisa makanan dan alat-alat yang
ditinggalkannya telah menunjukkan bahwa manusia tersebut telah bertempat
tinggal di atas rumah yang bertiang.
Dari
sudut Arkeologi setelah zaman prasejarah berakhir di Indonesia lahirlah
kebudayaan baru. Kebudayaan tersebut ditandai dengan datangnya orang-orang
India sebagai pembawa kebudayaan Hindu. Sudah sejak zaman prasejarah telah
terdapat hubungan maritim antara India dan Indonesia. Di antara kedua bangsa
tersebut terdapat kesamaan kebudayaan sehingga kedatangan mereka tidak
dirasakan sebagai bangsa yang akan menguasai Indonesia. Pada abad ke IV sampai
abad ke XV sesudah Masehi pengaruhnya terhadap pengaruhnya penduduk telah
menemukan corak kehidupan tersendiri, lebih-lebih dalam lapangan keagamaan dan
kebudayaan.
Prasasti
Kutai, Tarumanegara, Kaling, Sriwijaya, serta prasasti-prasasti di Jawa Tengah
dan Jawa Timur juga merupakan sumber dalam negeri, yang penting untuk
mengetahui bentuk dan susunan pemerintahan di Indonesia. Isi prasasti-prasasti
tersebut memberikan petunjuk mengenai susunan pemerintahan dan
ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para penguasa
yaitu antara lain untuk pembebasan pajak bagi penduduk desa yang diwajibkan
memelihara bangunan suci (Sima), pendirian lingga dan lain-lain. Prasasti-prasasti
tersebut diatas sampai sekarang belum diketemukan didaerah Aceh, oleh sebab itu
kita belum dapat menentukan bagaimana susunan masyarakat Aceh menjelang
kedatangan Islam.
Kitab-kitab
kesusastraan seperti Mahabarata, Ramayana, Nagara Kertagama dan Pararaton yang
memberi petunjuk-petunjuk tentang bentuk pemerintrahan dan cara hidup bermasyarakat
di Jawa juga belum ditemukan di Aceh. Pada umumnya kitab-kitab yang diketemukan
di Aceh telah bernafaskan Islam. Mungkin pada masa pra Islam manusia-manusia
pendukung kebudayaan Aceh masih hidup mengembara ataupun berkelompok. Pada
umumnya kitab-kitab yang diketemukan di Aceh telah bernafaskan Islam. Mungkin
pada masa pra Islam manusia-manudia pendukung kebudayaan Aceh masih hidup
mengembara ataupun berkelompok.
Bangunan-bangunan
kuno sebagai hasil kebudayaan masa lampau yang masih tinggal hanyalah yang
terbuat dari batu dan batu bata. Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan
suci yang sangat erat hubungannya dengan kerajaan. Candi-candi tersebut banyak
ditemukan di Jawa dan di Sumatera. Di Sumatera candi tersebut ditemukan mulai
dari Sumatera Selatan, Muara Takus dan di Padang Lawas. Candi-candi yang
ditemukan di Sumatera pada umumnya berbentuk Stupa yang merupakan lambang.
Candi-candi tersebut didirikan pada abad XI s/d abad XIV oleh raja yang
memerintah pada waktu itu. Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat diperkirakan
bahwa sejak abad ke XI tersebut di Sumatera telah berkembang agama Buddha
Tantrayana. Yang menjadi persoalan sekarang apakah di Aceh telah ada kerajaan
yang menganut aliran tersebut bila ditinjau dari ilmu bangunan belum begtitu
jelas.
Sejak
abad ke IV telah dikenal Seni Arca di Indonesia yaitu arca Sampaga yang
ditemukan di Sulawesi Tengah di dekat sungai Karaman. Arca tersebut adalah arca
Buddha dengan gaya Amarawati. Menurut para sarjana arca ini adalah arca import.
Selain daripada arca tersebut di Jawa dan Sumatera banyak terdapat arca-arca.
Arca-arca tersebut aluran Buddha Tantrayana.
Untuk
mengetahui sampai sejauh mana orang-orang Indonesia telah mengarungi lautan
dapat kita ketahui dari sumber-sumber asing yaitu antara lain Cina, Arab,
India, Portugis dan lain-lain. Menurut para Aarjana antara lain G. Ferrand yang
telah meneliti Kepustakaan Arab, India Indonesia, Cina, dan Portugis
berpendapat bahwa orang-orang Indonesia telah berabad-abad lamanya bertempat
tinggal di Madagaskar. Dikatakannya pula bahwa perpindahan pendudsuk ini
berlangsung dalam dua periode, yaitu pada abad ke II dan ke X M, yang berlangsung
pada abad tersebut khususnya berasal dari Aceh. Menurut berita Cina
pedagang-pedagang dari Tachin dan Persia telah mengadakan hubungan dagang
dengan negeri Cina pada abad VIII. Mereka membawa kapur barus yang berasal dari
Sumatera. Pada waktu itu di Sumatera telah berdiri kerajaan Sriwijaya. Kerajaan
ini meliputi sebagian besar pulau Sumatera, Jawa, Semenanjung Melayu sampai di
Istmus Kra dan pulau-pulau lain disekitarnya.
Islam
Datang Ke Nusantara Membawa Tamaddun/ Kemajuan/ Kecerdasan
Penduduk
kepulauan Nusantara sudah mempunyai peradaban tertentu, yaitu bersumber kepada
kebudayaan asli sendiri dengan penyerapan pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari
India. Namun penyerapan itu tidak merata. Di berbagai daerah, terutama di pulau
Jawa, serapan kultural itu baru merupakan lapisan tipis dipermukaan saja.
Sedangkan ditempat-tempat lain tidak atau belum terjadi penyerapan kulturaldari
peradaban Hindu/Buddha tersebut. Islam,
yang semula datang di Nusantara pada abad pertama Hijriyah dahulu itu mau tidak
mau menghadapi kenyataan adanya beraneka warna peradaban itu. Baik yang membawa
kemari itu kaum pedagang, maupun kaum da’i ataupun ulama. Dibanding dengan
peradaban asli kita, yang belum atau hanya sedikit saja menyerap pengaruh peradaban
Hindu-Buddha itu, dimana masih dominan paham yang oleh dunia barat dicapnya
sebagai,”animisme” dan “dinamisme” primitive, maka ajaran-ajaran Islam itu
jelas secara kualitatif jauh lebih maju
lagi, terutama dibidang teologia monologia monoteismenya, yang membebaskan
manusia dari belenggu ketakhayulan dan kemusyrikan.
Snouck
Hurgronye berpendapat, bahwa Islam datang di Indonesia baru pada abad ke XIII
M, maka yang datang itu bukanlah ajaran-ajaran aslinya, melainkan sudah
bercampuran dengan berbagai macam tambahan dari bumi peradaban Parsi dan India.
Ajaran-ajaran
Islam mengintrodusir suatu pandangan religious-monoteistis yang lebih maju dan
lebih menarik daripada pandangan yang ada, dan karenanya merupakan suatu
kekuatan pemnebasan spiritual terhadap berbagai macam dan bentuk ketakhayulan
serta kemusyrikian. Para penyebar-penyebar ajaran Islam yang datang pertama di
daerah pesisir Aceh, Malaka, Palembang, Bantam, Tuban, Gersik dan sebagainya,
baik mereka itu datang sebagai pedagang maupun sebagai da’i dan ulama telah
mengintrodusir suatu cara kehidupan kemasyarakatan yang baru tanpa diskriminasi
kasta, berjiwa kewiraswastaan yang dinamis dan yang merupakan suatu kekuatan
pembebasan sosial terhadap masyarakat kerajaan-kerajaan feudal dipedalaman yang
berkasta-kasta, dan yang masih berjiwa agraris statis.
Penyebaran
itu berlaku setapak demi setapak dan setingkat demi setingkat, tanpa bentrokan
bersenjata yang berarti tidak dengan cara penaklukan melainkan dengan cara
penetrasi damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling harga-menghargai
antara para penyebar dan pemeluk agama baru dengan para pengikut agama
Hindu-Buddha lama. Illustrasi tentang hal ini diceritakan oleh sejarawan
Belanda, Nyonya Fruin Mees dalam bukunya “De Geschiedenis van Java”, jilid II
tentang “De Mohammedaansche Rijken”, terbitan tahun 1920 . Dengan Mengutip
“Babad Diponogoro”, maka dikhabarkan pembicaraan antara Prabu Kertawijaya, Ratu
terakhir dari Kerajaan Majapahit, dengan para Sunan Ampel dan Giri, dimana
Kertawijaya setelah mendengar penjelasan-penjelasan dari para Wali tentang
inti-hakekat ajaran-ajaran Islam menyatakan pendapatnya bahwa ,”maksud agama
Islam dan Buddha adalah sama, yang berbeda adalah cara ibadahnya. Karena itu
saya tidak melarang rakyat saya memeluk agama baru itu, asala dilakukan dengan
penuh kesadaran dan keyakinan, tanpa dipaksa. Adapun mengenai diri saya
sendiri, mungkin kelak saya akan memeluknya…….”.
Ringkasnya,
masyarakat Indonesia pada waktu itu sedang mengalami suatu transformasi sosial
yang hebat sekali. Yaitu transformasi dari suatu masyarakat yang semula dominan
agrarisdan feodal, kearah suatu masyarakat baru dimana perdagangan, perniagaan dan
pelayaran lebih dominan dan dimana situasi statis memperoleh denyutan dinamis
baru, terutama sehubungan dengan meningkatnya hubungan perdagangan bangsa kita
dengan para pedagangan dari Timur-Tengah, khususnya dari Arab, Parsi, dan India
serta dari Tiongkok, yang menyelusuri seluruh kepulauan Nusantara dan dimana
pintu kepulauan Nusantara lebih terbuka lagi hubungannya dengan dunia
“internasional” pada waktu itu dan berharga bagi transformasi sosial itu,
sekalipun feodalisme-kuno belum terkikis habis oleh kedatangan Islam itu.
Dapat
dipahami bahwa kaum pedagang Muslimin dari luar kepulauan Nusantara yang lebih
dulu datang daripada kaum pedagang Kristen Barat, yang kini baru muncul itu,
lebih berhasil dalam kontak dan hubungannya dengan bangsa kita daripada para pedagang Barat tadi. Islam berusaha keras
mempertahankan kepribadiannya bangsa Indonesia. Sedangkan ajaran-ajaran Islam
tidak lagi tersebar di kota-kota pelabuhan dan seluruh daerah pesisir kepulauan
Nusantara, dan yang menumbuhkan corak tertentu yaitu “urban Islam” tetapi
ajaran-ajaran Islam mulai meluas masuk ke daerah pedalaman dengan berbagai desa
dan tanah pegunungannya, dan yang menumbuhkan “rural Islam” dengan corak
tertentunya ditengah-tengah alam pikiran desa dan pegunungan.
Ajaran-ajaran
Islam serta para pemimpin pergerakan Islam ikut aktif dalam mempelopori
Kebangkitan Nasionalisme Indonesia, serta dalam meletakkan dasar-dasar
spiritualnya bagi persatuan dan kesatuan Indonesia.
Berdiri
diatas Bukit Meuligou di ujung timur Bandar Khalifah dan memandang ke barat,
kita akan menemukan situasi disebelah kanan (utara) bukit barisan rendah yang
rimbun dan dikakinya berjejer kampung-kampung; disebelah kiri (selatan) bukit
barisan rendah yang rimbun dan dikakinya berjejer kampung-kampung yang diantaranya
kampung Paya Meuligou, jauh diujung mata berdiri bukit barisan yang
lebih tinggi dan ditutupi kayu-kayu yang belum begitu tua, dikakinya sebelah
timur memanjang dari utara ke selatan mengalir Sungai Perlak. Ditengah-tengah
bukit barisan rendah yang membentang diempat penjuru angin, terbentang luas dataran
tinggi (kira-kira 300 hektar) yang sekarang telah menjadi sawah, ditempat
itulah dahulunya berdiri kota Bandar Khalifah, Ibukota Kerajaan Islam Perlak.
Melihat
medan yang demikian, cukup meyakinkan bahwa ditempat tersebut telah penah
berdiri sebuah kota yang makmur, yang menjadi Ibukota negara dari sebuah
Kerajaan Islam tertua dia Asia Tenggara. Ibukota Kerajaan Banua di pinggir
Sungai Tamiang, Ibukota Samudra/Pasai di pinggir laut, Ibukota Indrapatra di
pinggir laut, ibukota Indrapuri di pinggir Sungai Aceh, Ibukota Indrajaya
(Lamno sekarang) di pinggir laut, Ibukota Aceh Darussalam di pinggir Kreueng
Aceh, Ibukota Kerajaan Islam Parlak, Bandar Khalifah di pinggir Sungai Perlak.
Para
ahli sejarah mata uang yang mengumpulkan data-data tentang mata uang, sepanjang
pengetahuan mereka berdasarkan penemuan-penemuan yang telah ada, berpendapat
bahwa, “mata uang asli yang tertua di Kepulauan Nusantara, yaitu mata uang yang
dibuat oleh Kerajaan Islam Samudra/Pasei, yang bernama Dirham (emas), kupang
(perak) dan keuh (timah). Kemudian disusul oleh ,”mata uang” Kerajaan Aceh
Darussalam.
Dengan
penemuan, “mata uang” yang diperbuat oleh Kerajaan Islam Perlak sebelum
Kerajaan Islam Samudra/Pasei, maka keadaan sejarah menjadi berubah bukan lagi,
”mata uang Kerajaan Samudra/Pasei” yang tertua di Kepulauan Nusantara, tetapi
,”mata uang Kerajaan Islam Perlak”.
Jadi,
dengan penemuan mata uang Kerajaan Islam Perlak, untuk sementara waktu, sebelum
ditemukan mata uang Nusantara yang lebih tua lagi, maka ,”mata uang Kerajaan
Islam Perlak” adalah mata uang asli tertua di Kepulauan Nusantara. Pada sebuah
sisi dari mata uang tersebut tertulis dalam huruf Arab kata-kata yang mirip
dengan “Al A’la” dan pada sisi yang lain terdapat tulisan yan dapat dibaca
“sulthan”.
Besar
kemungkinan yang dimaksud dengan “Al A’la” pada mata uang emas tersebut Puteri
Nurul A’la, yang menjadi Perdana Menteri pada masa Pemerintahan Sulthan Makhdum
Alidin Ahmad Syah Jauhan Berdaulat, yang memerintah Kerajaan Islam Perlak dalam
tahun 501-527 H (1108-1134 M). Puteri Nurul A’la adalah seorang
“Negarawan” yang sangat cakap.
Sebuah
mata uang lain, yaitu perak yang bernama “kupang”, ditemukan oleh seorang anak
yang bernama Mahmud waktu dia mencakul ladangnya di daerah Kampung Sarah
Pineung, kemungkinan Blang Simpo Perlak, di selatan kota Perlak. Pada satu sisi
tertulis “dhuribat mursyidan” dan di sisi yang lain tertulis “Syah Alam
Barinsyah”. Mungkin sekali yang dimaksud dengan, “Syah Alam Barinsyah” disini,
yaitu Puteri Mahkota dari Sulthan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Jauhyan
berdaulat, yang memerintah dalam tahun 592-622 H (1196-1225 M).
Dalam
tahun 600 H (1204 M) Malik Abdul Jalil jatuh sakit yaitu lupuh sehingga tidak
memungkinkan beliau memimpin pemerintahan lagi. Untuk melaksanakan
pemerintahan, diserahkan kepada puterinya “Putri Mahkota Barinsyah” yang
dibantu oleh adiknya Abdul Aziz Syah. Mungkin sekali mata uang tersebut dibuat
pada waktu Puteri Mahkota Barinsyah memerintah sebagai Pejabat Kepala Negara.
Ada
sebuah mata uang tembaga (kuningan) yang didapati oleh seorang penduduk
didaerah lokasi bebas Ibukota Bandar Khalifah. Penemuan mata uang-mata uang
tersebut amatlah penting dilihat dari segi penelitian sejarah. Kecuali mendapat
kenyataan baru bahwa mata uang asli yang tertua dari kepulauan Nusantara, yaitu
mata uang yang dibuat oleh Kerajaan Islam Perlak yang baru ditemukan itu, juga
penemuan itu menceritakan kepada kita bahwa kerajaan Islam Perlak benar-benar
satu kerajaan yang maju, yang dapat membikin mata uang sebagai alat
pembayarannya resmi. Suatu,“kerajaan” yang hanya namanya saja “kerajaan” tidak
mungkin dapat membuat mata uang sendiri yang demikian baik dan tinggi teknik
pembuatannya.
Selain
mata uang telah ditemukan pula sebuah makam dari seorang raja kerajaan Islam
Benua, ditepi sungai Tenggulon, kira-kira 40 km di pedalaman sebelah selatan
kota Kuala Simpang. Sebagaimana diketahui (menurut catatan sebuah naskah tua
Idharul Haq) bahwa kerajaan Islam Benua juga menjadi negara bagian dari
kerajaan Islam Perlak. Menurut keterangan bahwa makam tersebut ditemukan waktu
digali tanah. Setelah tercangkul batu nisan, maka digalilah dengan hati-hati
tanah-tanah sekeliling batu nisan itu, sehingga didapati sebuah makam yang
masih utuh, batu nisannya masih baik, terdapat diatas batu nisan makam itu
tulisannya huruf Arab. Jelaslah bahwa raja yang bersemayam dalam makam tua
tersebut adalah raja Islam Benua yang memerintah kira-kira 50 tahun sebelum
pemerintahan Raja Muda Sedia yang sangat terkenal.
Disatu
daerah di wilayah Aceh Timur sekarang, banyak sekali tumbuh pohon kayu besar,
yang bernama “Kayei Peureulak” (Kayu Perlak), bahkan telah merupakan “Rimba
Peureulak”. Kayei Peureulak tersebut sangat baik untuk bahan pembuatan
perahu/kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan kapal’perahu.
Karena
banyak orang-orang dari luar itu yang membeli “kayei peureuloak” tersebut,
sehingga nama “kayei peureulak” telah menjadi sebutan dimana-mana, baik di
Sumatera ataupun diluar Sumatera menyebabkan akhirnya nama daerah “kayei
peureulak” itu dinamakan dengan “Negeri Perlak”.
Kemudian
para pengembara/pedagang sewbelum “Zaman Islam” yang datang dari Cina, Arab,
Persia, Hindi, Italia, Portugis dan lain-lainnya melalui Selat Malaka dan
singgah di Pelabuhan daerah Kayei Peureulak, terus menyebut pelabuhan yang
mereka singgahi itu dengan “Bandar Perlak”.
Negeri
Perlak adalah salah satu negeri tertua di Sumatera, dan semenjak sebelum Zaman
Islam negeri yang terletak antara Samudera/Pasei dan Aru telah mempunyai
pemerintahan, sekalipun sangat sederhana, dan telah mempunyai raja yang
bergelar “Meurah”. Kira-kira sama dengan “Maharaja”.
Sebelum
Zaman Islam, semasih jaya-jayanya Kemaharajaan Parsia di bawah pimpinan para
“kisra” dari Dinasti Sassanid, seorang putera dari Istana Sassanide yang
bernama “Pangeran Salman” meninggalkan tanah airnya menuju benbua timur,
mengikuti sebuah kapal layar bersama
para pedagang yang pergi berniaga ke Asia Tenggara dan Timur Jauh.
Salahsatu
sumber sejarah yaitu, hikayat atau cerita, sekalipun harus dipisahkan lebih
dahulu mana yang fakta dan mana yang khayal. Penyaringan isi hikayat untuk
menjadi sumber sejarah, adalah tugas dari para ahli sejarah. Para pengarang
hikayat kebiasaannya selalu membumbui hikayatnya itu dengan ramuan-ramuan
khayal agar menarik para pembacanya.
Diantara
hikayathikayat yang selalu diperhitungkan oleh ahli-ahli sejarah, yaitu Hikayat
Raja-raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Putro Geumbak Meueh, Hikayat Maleem
Dagang, Hikayat Nun Parisi, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Putro Perkison dan
Hikayat Putro Nurul A’la.
Seperti
namanya, Hikayat Raja-raja Pasai adalah menceritakan silsilah raja-raja Negeri
Pasai.. Hikayat Aceh menceritakan silsilah raja-raja Kerajaan Aceh Darussalam.
Hikayat Putro Gumbak Meueh melukiskan Kerajaan Aceh Darussalam waktu
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meu kota Alam, menantunya Sultan Iskandar
Sani dan putrinya Ratu Saiffatuddin. Hikayat Maleem Dagang menceritakan riwayat
Sultan Iskandar Muda dengan Armada Cakra Donyanya Mara ke Malaka untuk
menghancurkan penjajahan Portugis, Hikayat Nun Parisi menceritakan keadaan
kerajaan Islam Samudera/Pasei waktu pemerintahan Sultan Malikus Salih. Hikayat
Pocut Muhammad menceritakan sebuah Perang Saudara yang terjadi dalam Kerajaan
Aceh Darussalam. Hikayat Putro Perkison menceritakan riwayat seorang puteri
Raja yang masuk Islam dengan meninggalkan agama nenek moyangnya dan bersedia
menerima segala siksaan dari orangtuanya sebagai seorang raja yang zhalim.
Islam berkembang
diantara saudagar-saudagar Arab yang pulang balik ke gugusan pulau-pulau melayu
khususnya dan Asia Tenggara umumnya, maka dengan demikian Islam mulai sampai ke
daerah ini dengan ketibaan Muslimin pertama dari saudagar-saudagar Arab itu di
tahun 9 H/639 M ataupun sebelum dari itu.
Ada tiga teori tentang kedatangan
Islam ke alam melayu yaitu datangnya secara langsung dari negeri Arab karena
Muslimin Alam Melayu berpegang dengan Mazhab Syafi’I yang lahir di Semenanjung
Tanah Arab. Lalu ada pula datang dari India karena adanya perhubungan
perniagaan yang teguh antara India dengan gugusan pulau-pulau melayu. Selain
dari Arab dan India adapula datang dari China.
Karangan tua China mencatat dan ada
sebuah kerajaan di utara Sumatera namanya Ta Shi telah membuat perhubungan
dipolmatik dengan kerajaan China dan perhubungan ini berkekalan hingga ke tahun
655 M dan Ta Shi itu menurut istilah China di abad ini diberi kepada
orang-orang Islam. Nama Ta Shi telah dicatat di dalam peta Ptolemos dan tempat
letaknya Ta Shi itu telah dicatat didalam buku-buku tahunan Sung ditahun 922 M.
Islam terus berkembang di Perlak,
dan perkembangannya yang luas itu lahir dengan jelas di abad ke XIII M melebihi
dari daerah-daerah yang lain di Sumatera, hakikat ini dilihat dan diakui oleh
Marco Polo seorang pengembara Itali yang tiba di Sumatera dalam tahun 1929 M
bahwa pada masa itu Sumatera terbagi dalam delapan buah kerajaan yang semuanya
menyembah berhala kecuali Perlak yang berpegang dengan Islam karena Perlak
selalu didatangi oleh saudagar-saudagar muslimin yang membawa penduduk Bandar
ini memeluk undang-undang Muhammad. Kerajaan Islam Perlak terus hidup merdeka
sehingga dicantumkan ke dalam Kerajaan Islam Samudra atau Pasei di zaman
pemerintahan Sultan Malik Al-Dzahir (688-1254 H = 1289-1326 M) Ibn Al-Malik
Al-Saleh.
Perkembangan dakwah Islamiah di
Perlak dan Samudra/Pasai di abad 13 m telah menarik kegemaran banyak dari
ahli-ahli Tasauf terutama dari orang-orang Parsi untuk datang ke Nusantara agar
me mesatkan lagi perkembangan dakwah Islamiah.
Dalam kenegerian Peureula’yang
letaknya strategis di Selat Malaka dan bebas dari pengaruh Hindu, dan
berdesarkan faktor demikian, Islam telah mudah sekali menginjakkan kakinya di
Peureula’ tanpa kegoncangan sosial dengan penduduk pribumi atau dengan lain
perkataan lain seperti perintah Sultan Alauddin Al Qahar (1537-1577) menyuruh
runtuhkan atau rusakkan semua bekas patung-patung Hindu di Aceh Besar.
Selanjutnya mengikuti makna nama tempat Bandar Khalifah yang terdapat di negeri
Peureula’, maka dari segi bahasa negeri Peureulak telah pernah ada pengaruh
dari Perzi, dimana perkataan Bandar (Perzie) berarti pelabuhan, negeri ramai
dan sebagainya, sedangkan Khalifrah berasal dari bahasa Arab bermakna pemimpin.
Gabungan kedua kata ini telah memberikan petunjuk sejarah yang bermakna Bandar
pemimpin-pemimpin Islam, sebelum mereka berdakwah ke negeri lain.
Peranan
Aceh dalam Pengembangan Islam di Nusantara
Sebutan
atas Aceh sebagai, “Serambi Mekkah” bukanlah sauatu hal yang dibuat-buat,
tetapi kenyataan suatu sejarah yang tidak dapat dimungkiri. Yang mengangkat
derajat sebuah negeri sampai mencapai sebutan demikian mulia, bukanlah
menghendaki banyak orang. Apabila kita sebut nama dua orang ulama Aceh, akanlah
sama artinya dengan 1.000 atau 2.000 orang. Jika orang Aceh menyebut negerinya,
“Serambi Mekkah”, bukanlah dia semata-mata kebanggan Daerah. Pertama, disebut
didalam Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, terkenal Da’wah Wali Songo.
Maka tersebutlah bahwasannya Sunan Bonang hendak berangkat ke Mekkah, lalu
ditinggalkannya Sunan Kali Jogo di Demak. Tetapi Wali Songo singgah terlebih di
Pasai memperdalam ilmunya. Kedua, tersebut di dalam kitab Sejarah Melayu
(Cerita Yang Keduapuluh) bahwa di Zaman Kebesaran Malaka, Sultan Mansyr Syah
mengirimkan utusan ke Pasai meminta Fatwa Hukum tertinggi dengan membawakan
hadiah emas tujuh tahil dan dua orang budak perempuan.
Ketiga,
Sebagaimana tersebut di dalam Hikayat Catatan Fakih Shaghir bahwa Ilmu Pengetahuan Agama Islam yang
berjalan di Minangkabau adalah diterima dari Aceh. Kalimat Paderi sebagai nama
dari gerakan melawan Belanda disebut bahwa dia diambil dari kalimat PIDARI,
yaitu negeri Pidir, Aceh. Keempat, dengan terang jelas Syaikh Arsyad Banjar
mengatakan bahwa kitab beliau yang terkenal bernama Sabidal Muhtadin, adalah
lanjutan dari kitab Shiratal Mustaqim karangan Nuruddin Ar Raniri di Aceh.
Keempat bukti itu menyebabkan bahwa Aceh di waktu itu benar-benar berhak
memakai sebutan Serambi Mekkah.
Pada
abad ke XV Aceh adalah sebuah kota yang tidak berarti dan tunduk kepada Pedir.
Yang menjadi inti Kerajaan Aceh itu ialah daerah yang sekarang disebut Aceh
Besar atau dalam istilah daerah Aceh Raya atau Atjeh Rejeuk. Pada mulanya pusat pemerintahan Aceh terletak di satu
tempat yang dinamakan kampong Ramni dan dipindahkan ke Darul Kamal oleh Sultan
Alaudin Inayat Johan Syah (1408-1465). Kemudian memerintah Sultan Muzafar Syah
(1465-1497). Beliaulah yang membangun kota Aceh Darussalam.
Pertumbuhan
kerajaan Aceh disebabkan oleh kemajuan perdagangan didaerah tersebut pada permulaan
abad ke XVI. Pada waktu itu saudagar-saudagar Muslim memindahkan kegiatan
mereka ke Aceh. Hal itu adalah akibat permusuhan mereka dengan Portugis.
Sebagai akibat dari penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 maka jalan
dagang yang selama ini dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata, terus ke
Malaka pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera. Sebagai
akibat dari perubahan jalan dagang itulah pertumbuhan kota dagang Aceh. Di kota
itu saudagar-saudagar dari berbagai negeri datang berdagang membeli
barang-barang dari hasil berbagai daerah Indonesia yang dibawa
pedagang-pedagang kesana.
Sultan
Ali Mughayat Sjah adalah Sultan yang berjasa dalam meluaskan kekuasaan Aceh,
pada mulanya Aceh tunduk kepada Pidie dan Sultan Ali Mukhayatsyahlah yang
membebaskan Aceh dari kekuasaan Pidie itu. Sultan Pidie dan Sultan Ahmadsyah
mengikat kerja sama dengan Portugis dan kota itu didirikan benteng Portugis
dengan persenjataan yang lengkap. Hal itu ternyata tidak menguntungkan Pidie,
sebab kedudukan Portugis di Pidie telah dapat dipergunakan oleh Sultan Ali
Mukhayatsyah dengan adikinya Sultan Ibrahim untuk menggalang persatuan rakyat
untuk melawan Pidie. Akhirnya Sultan Ahmadsyah tidak dapat bertahan walaupun di
kota itu terdapat benteng Portugis dengan kekuatan seratus orang pasukan
Portugis lengkap dengan artileri.
Pada
tahun 1521 setelah mengalahkan armada portugis yang dipimpin oleh Jorge de
Brito, maka Sultan Ali Makhayat Syah memimpin serangan ke Pidie sehingga
pasukan Portugis bersama dengan Sultan Ahmad melarikan diri ke Pasei. Pada
tahun itu juga Pasei ditaklukan Aceh. Benteng Portugis dikota itu yang berada dibawah komando Antonio de Miranda
jatuh ke tangan Aceh. Didalam serangan tersebut besar jasa seorang laksamana
Aceh yaitu Laksamana Ibrahim, adik
Sultan Ali Makhayat Syah.
Setelah
jatuhnya Pasei, maka terbukalah kemungkinan bagi Aceh untuk meluaskan
kekuasaannya ke daerah Sumatera Timur. Satu hal yang membuka kemungkinan bagi
kemajuan Aceh itu ialah hubungan yang telah dirintis oleh Aceh dengan Turki.
Pada abad ke XVI itu kekuasaan Turki mencapai puncak kebesarannya. Pada tahun
1453 Konstantinopel dapat dirampas oleh Turki Osmani. Kekuasaan Turki Osmani
adalah sebagai pewaris ke khalifan Islam yang ternyata telah hancur sejak jatuhnya
Bagdad ketangan orang Mongol pada abad ke XIII.
Didalam
serangan Aceh yang ditujukkan ke daerah pesisir timur Sumatera, maka Aceh
berhadapan dengan Aru. Kerajaan Aru melakukan perlawanan terhadap perluasan
kekuasaan Aceh itu. Penaklukan Aceh atas daerah Sumatera Timur berlangsung
sangat lama, sebab daerah Sumatera Timur itu sangat luas dan kemungkinan
kerajaan Aru itu masih bertahan dengan ibu kota yang baru di Deli Tua.
Penaklukkan Aceh atas Deli Tua erat hubungannya dengan Hikayat Puteri Hijau
yang populer itu. Kemungkinan yang dimaksud dengan Puteri Hijau itu ialah ratu
atau puteri dari Aru yang menentang maksud raja Aceh untuk diserahkan sebagai
tanda takluk kepada Aceh. Kemungkinan peristiwa itu terjadi pada masa tahun
1564-1612.
Yang
menjadi inti kerajaan Aceh itu ialah daerah Aceh Besar atau Aceh Raya, atau
dalam bahasa daerah Aceh Rayeuk. Didaerah inilah bermula tumbuh kerajaan Aceh
dan berpusat di Banda Aceh Darussalam. Didaerah besar itu dahulu terdapat
beberapa kerajaan yang takluk kepada Pidie, sebuah kerajaan itu diperintahi
oleh Raja Inayat Syah. Putera Inayat Syah yang bernama Alauddin Riayat Syah
memerintah sebagian daerah kekuasaan ayahnya, yaitu Daya sedangkan puteranya
yang lain memerintah di Meukota Alam (Kuta Alam). Kedua kerajaan ini disatukan
dan dapat melepaskan diri dari Pidiepada tahun 1920.
Pada
masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah kerajaan Aceh dengan bantuan
persenjataan dan perwira Turki, maka dimulailah serangan ke Sumatera Timur dan
Semenanjung Malaka. Serangan ke kota Malaka yang diduduki Portugis tidak
berhasil dengan baik. Kerajaan Aru yang pada mulanya berpusat di teluk Haru
(daerah sekitar Kuala Simpang) terpaksa memindahkan pusat pemerintahannya ke
daerah pedalaman. Mungkin sejak itu pusat pemerintahan Aru adalah Deli Tua
sekarang ini. Puncak kekuasaan Aceh ialah pada masa itu pesisir barat Sumatera
sampai perbatasan Bengkulen dengan pelabuhan Indrapura, dan pesisir timur
Sumatera sampai perbatasan Siak dikuasai oleh Aceh. Asahan adalah kedudukan
Aceh yang terpenting di Sumatera Timur.
Setelah
daerah Sumatera Timur dikuasai oleh Aceh, maka daerah Semenanjung Mlakan
dikuasainya. Johor menjadi vazal kerajaan Aceh dan dua pelahuhan dipesisir
timur Semenanjung Malaka, yaitu Pahang dan Patani menjadi pelabuhan yang dikuasai
oleh Aceh. Kedua pelabuhan itu penting sekali bagi perdagangan lada dengan
Tiongkok. Dengan berkuasanya Aceh dikiri kanan Selat Malaka, maka
segyogyanyalah Aceh menguasai pelayaran di Selat itu. Namun kenyataannya tidak
demikian, sebab Portugis masih berkuasa di Malaka.
Kewibawaan
Aceh sebagai sumber sejarah dan pusat tamadun pemikiran Islam di Nusantara ini
adalah tidak dinafikan. Sejarah Islam di Aceh sendiri selalu dianggap orang
bermula di Perlak, tetapi sumber-sumber sejarah di China menunjukkan dengan
jelasnya bhawa Islam datang ke Aceh jauh lebih berdasarkan adanya utusan
kerajaan Samudra (sebelumnya dikenal sebagai Pasai), yang bernama Husain dan
Sulaiman ke negeri China pada tahun 1282.
Namun demikian apa yang dipentingkan
disini ialah sumber-sumber sejarah tersebut tidak dapat dianggap sebagai
permulaan masuknya Islam ke Aceh. Oleh karena itu para sarjana sejarah tempatan
mempunyai alasan yang ukup kuat untuk membuktikan serta mempertahankan
pendapat, yang mengatakan Islam masuk ke Aceh jauh sebelumnya atau
selambat-lambatnya disekitar abad ke 10 M, karena pada sekitar abad ini Islam
sudah terdapat di beberapa daerah penting di Nusantara.
Meskipun pada sekitar abad tersebut Islam
sudah terdapat di beberapa tempat di Nusantara dan bahkan mungkin juga telah
dapat menguasai suatu kerajaan, seperti kerajaan Islam Puni, tetapi jelas tidak
berhasil mengembangkan tradisi dan tamadun yang menarik sebagai sebuah pusat
kerajaan Islam. Akibatnya kesan dan tradisinya tidak mempunyai pengaruh yang
besar terhadap daerah-daerah Islam lainnya. Keadaan ini sama sekali berbeda
dengan kerajaan Islam Samudera Pasai dimana telah berhasil dengan gemilangnya
melanjutkan tradisi keislaman sehingga kebeberapa abad kemudian. Tradisi ini
mencapai puncaknya melalui kerajaan Islam pada abad ke17 M.
Pada abad ke 17, kerajaan Islam Aceh
tidak hanya berhasil mencapai kejayaan dalam bidang politik kekuasaannya yang
berpengaruh, tetapi juga telah Berjaya mengembangkan tradisi intelektual dan
pemikiran Islam yang luar biasa dalam sejarah tamadun Islam di Nusantara ini.
Aceh pada abad ke 17 telah dapat melahirkan ulam-ulama tersebut, seperti Hamzah
Fansuri, Shamsuddin, Nuruddin dan Abdul Rauf Singkel. Mereka ini telah
menunjukkan kemampuan dan kebolehannya masing-masing dalam bidang pemikiran
Islam, melalui karya-karya mereka didalam bahasa Melayu. Mereka berkarya
kira-kira 4 abad yang lalu, tetapi nampaknya sampai sekarang masih ada
penulis-penulis Melayu saat di Nusantara ini, yang sanggup mencipta dan
membincangkan masalah Islam dengan begitu berani dan mendalam.
Kejayaan-kejayaan penulis Aceh inilah yang sebenarnya memperkuatkan kedudukan
dan kewibawaan Aceh dikalangan masyarakat Islam di Nusantara. Kesan tamadun
Islam Aceh terhadap daerah-daerah Islam tertentu di Nusantara ini amat luas dan
cukup mendalam. Dan hal ini dapat dihubungkan dengan daerah-daerah, Patani,
Kelantan dan juga tempat-tempat lainnya di Semenanjung, dimana ada beberapa
aspek Islam, yang dengan sengaja dihung-hubungkan dengan sejarah kegiatan Islam
di Aceh, misalnya seperti latar belakang keilmuwan ulama-ulama Patani abad ke
19, yang dikatakan berguru langsung kepada ulama-ulama Aceh tersebut. Cerita
mengenai hubungan seperti ini sudah tentu banyak dipengaruhi oleh tradisi dan
kewibawaan Aceh tersebut.
Demikian hubungan Patani dengan
Aceh, meskipun ada juga unsur-unsur hubungan yang semata-mata karena kewibawan
dan kebesaran Aceh di zaman silam, tetapi unsure-unsur ini tidak dapat
menafikan hakikat bahwa Patani dan Aceh memang mempunyai pertalian baik aspek
sejarah Islam maupun aspek pemikirannya.
Jalan pelayaran dan perdagangan
orang-orang Muslim melalui Selat Malaka dengan pusat-pusatnya ialah Samudra
Pasai dan Malaka dilanjutkan ke pesisir-pesisir kepulauan lainnya di
Indojnesia. Bahkan menurut Hikayat Patani, seorang ulama yang bernama Syailah
Said dari Pasai datang ke tanah Patani untuk mengajarkan Islam di kalangan
raja-rajua serta serta rakyatnya. Jadi jelaslah Samudra Pasai sejak abad-abad 7
dan 8 terutama setelah terbentuknya pemerintahan yang bercorak Islam mempunyai
peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang
menguntungkan Samudra Pasai ialah keletakkannya yang strategis yaitu di jalur
pelayaran dan perdagangan Internasional di Selat Malaka yang dapat menguhubungkan
kekuatannya dengan Malaka dan negeri-negeri di pesisir kepulauan Indonesia.
Oleh karena itulah dapat dimengerti apa
sebabnya orang-orang Portugis selalu merebutkan kekuasaan Samudra Pasai dan
Malaka, yang diulangi lagi usaha VOC Belanda untuk merebut Malaka dari tangan
Portugis.
Motivasi kedatangan dan proses
Islamisasi mungkin terutama hubungan denga faktor ekonomi yaitu melalui dakwah
Islamiyah yang dilakukan oleh para Muballigh yang kedatangannya dapat
bersama-sama dengan para pedagang atau tersendiri. Sejak aabad 13 M, penyebaran
Islam melalui tasawuf termasuk katagori yang berfungsi dan membentuki kehidupan
sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada
tulisan-tulisan antara abad 13 dan Indonesia, memegang peranan suatu bagian
yang penting dalam organisasi masyarakat kota-kota pelabuhan, dan sifat
spesifik tasawuf yang memudahkan penerimaan masyarakat yang belum Islam kepada
lingkungannya. Ahli-ahli tasawuf di daerah Aceh terutama dari abad-abad 17
sangat terkena seperti Hamzah Fansuri, Ar Raniri,Syamsuddin As Samatrani,Syekh
Kuala dan lain sebagainya.
Erat dengan proses Islamisasi maka
orang-orang Muslim dapat pula membentuk dan mendirikan pesantren-pesantren,
madrasah-madrasah.Melalui kelembagaan di masyarakat tersebut maka Islam dapat
pula disebarkan dan dikembangkan ke daerah lingkungannya atau ke daerah-daerah
di luarnya.
Proses perkawinan orang-orang Muslim
dengan anak-anak bangsawan Indonesia, juga dapat mempercepat pembentukan dan
perkembangan Islam dari inti sosial yaitu keluarga hingga masyarakat
lingkungannya.
Akibat
perkawinan orang-orang Muslim dengan anak-anak bangsawan atau raja-raja maka
proses penyebaran lebih dipercepat pula karena secara tidak langsung dalam
pandangan masyarakat setempat orang Muslim tersebut status sosialnya
dipertinggi dengan sifat-sifat karisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila
pedagang-pedagang besar itu setelah melakukan perkawinan dengan anak bangsawan
atau raja, adipati setempat, kemudian diangkat dengan susunan birokrasi
kerajaan, sebagai Syahbandar, kadi atau jabatan lainnya.
Proses penyebaran Islam melalui
saluran perdagangan dan perkawinan dengan golongan bangsawan-bangsawan itu
jelas menguntungkan kedua belah pihak. Bagi pedagang-pedagang Muslim merasa
lebih produktif usahanya, karena kecuali mudah mendapatkan izin perdagangan
juga memudahkan untuk lebih menyebarkan aran-ajaran Islam baik terhadap
bangsawan maupun masyarakat memudahkan
pemasaran untuk pengeksporan hasil-hasil produksi negerinya. Karena terutama
abad-abad ke 14, 15, dan 16 kuci pelayaran danh perdagangan di lautan sebagian
besar ada pada golongan pedagang-pedagan Muslim.
Hasrat raja-raja atau adipati
berhubungan dagang pedagang-pedagang besar kaum Muslim dipercepat pula
prosesnya apabila terjadi kekacauan politik, sosial ekonomi dan budaya di
pusat-pusat pemerintahan. Setelah mereka mengangkat dirinya sebagai raja-raja
Muslim maka proses penyebarannya kepada masyarakat lebih dipercepat karena
sifat-sifat karismanya itu.
Proses Islamisasi juga terjadi
melalui pendekatan sosial budaya. Unsur-unsur budaya setempat seperti bahasa,
tulisan, arsitektur, kesenian juga diselaraskan dengan apa yang dimiliki oleh
Islam Adat Maketa Alam adalah hasil pengejawantahan antara adat di Aceh dan
Islam, seperti Melayu, Jawa, Bugis, Sunda dan lain-lain.
Dengan kedatangan atu proses
Islamisasi sejak abad-abad ke 7, 8 Samudra Pasai pada awal abad ke 13 M. Muncul
sebagai kerajaan yang bercorak Islam dan berkembang hingga awak ke 16 M.
Keruntuhannya akibat penguasaan Selat Malaka dengan kota Malaka oleh
orang-orang Portugis. Berita-berita asing terutama dari Marco Polo bahwa pada
sekitar 1292 ia telah menceritakan adanya masyarakat Muslim di Perlak. Demikian
pula diperkuat cerita dalam Hikayat raja-raja Pasai dan sejarah melayu yang
menghubungkan kekeluargaan antara kerajaan Perlak dan Samudra Pasai. Mungkin
kedatangan dan proses Islamisasi di daerah Perlak ini juga semasa dengan di
Samudra Pasai. Meskipun pada suatu saat yang terkenal sebagai kerajaan yang
bercorak Islam adalah Samudra Pasai. Hikayat yang menceritakan tentang kerajaan
Perlak itu perlu diteliti dan dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya agar
lebih jelas dalam mata rantai sejarah daerah Aceh khususnya dan Sejarah
Nasional pada umumnya.
Kerajaan-kerajaan Islam yang bercorak
Islam di daerah Aceh kita dapat ketahui pemberitaannya kecuali dari kedua
Hikayat tersebut diatas juga dari Hikayat Bustanius Selatina dari abad ke 17
yang menceritakan pertumbuhan dan perkembangan sejarah Aceh. Kerajaan Aceh yang
memuncak dan boleh dikatakan mengalami kejayaannya, kemakmuran diberbagai
bidang, tetapi juga peperangan melawan penjajahan Portugis ialah abad ke 17
masa pemerintahan Iskandar Muda.
Kebijaksanaan
Mempergunakan Hikayat dalam Perkembangan Islam di Aceh
Kajian mengenai hikayat dapat
membantu untuk menggambarkan suatu keadaan kesejarahan masyarakat Aceh dalam
masa yangt silam. Beberapa kajian terdahulu telah mencoba mempelajari berbagai
nilai hikayat itu bagi masyarakat Aceh. Tidak kurang dari 100 hikayat dan haba
jameuen pernah hidup dalam kehidupan masyarakat Aceh. Setelah kita
memperhatikan hikayat-hikayat itu maka tampkalah beberapa hal yang cuku
menarik. Diantaranya beberapa hikayat yang diwarnai oleh pengarauh Hindu
(termasuk Animisme dan Dinamisme) ternyata mendapat sisipan pengaruh Islam,
raja-raja Aceh dibuatkan hikayatnya, peristiwa sejarah menjadi bahan bagi
hikayat, dan semangat jihad dibangun pula dengan hikayat.
Masyarakat Aceh dari dahulu telah
mempergunakan hikayat dalam kehidupannya untuk berbagai tujuan, lebih daripada
sekedar alat hiburan saja. Oleh sebab itu dalam sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Aceh, niscaya peranan dan kebijaksanaan mempergtunakan hikayat
tidaklah dapat diabaikan Tanpa memperhatikan hal ini, maka suasana peralihan
dari kehidupan Hinduisme kepada suasana kehidupan Islam, boleh dikatakan tidak
akan tergambar dengan baik dalam lukisan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sewaktu Islam menuju daerah Aceh, suatu
masalah pokok yang harus dihadapinnya ialah dengan cara bagaimanakah agama baru
ini akan disiarkan dalam masyarakat yang masih menganut Hinduisme dan paham
lain semacam itu. Pada tahap pertama hampir dapat dipastikan, agama itu tentu
akan dikenal melalui perkawinan dan pergaulan. Sesudah itu, setelah dia
mempunyai beberapa pengikut, dapatlah diadakan semacam tablig atau
pertemuan-pertemuan untuk memperdalam dan memperluas jangkauan agama itu. Namun
dmikian, bagaimanapun juga baiknya cara itu, tapi kemampuan jangkauannya
tetaplah terbatas oleh ruanbg dan waktu sehingga akan memerlukan masa yang lama
untuk mmpengaruhi suasana kehidupan yang Hinduisme itu. Karena itu harus ada
suatu cara yang lebih jitu untuk menunjang perkembangan Islam swlain dengan
cara dakwah yang terbuka tersebut.
Masalah utama dalam masa pertama kedatangan
Islam itu ialah masalah pengaruh. Persoalannya ialah bagaimana cara memperbesar
pengaruh Islam secepat mungkin, dan bagaimana sebaliknya mempersurut pengaruh Hinduisme secepatnya. Pada masa itu
pengaruh Hinduisme tentu sudah dikokohkan dengan berbagai cara, dan satu
diantara cara itu yang amat penting ialah dengan mempergunakan cerita-cerita
seperti hikayat. Dalam pada itu Islam belum lagi mempunyai media untuk
memperkokoh tempatnya berdiri.
Jika demikian halnya, maka pengaruh
Hinduisme yang telah dikokohkan melalui cerita rakyat itu, mestilah digoyangkan
dengan memasukkan unsur-unsur pengaruh Islam kedalamnya. Itulah sebabnya
mengapa cerita-cerita dari Hinduisme itu mendapat warna atau sisipan Islam.
Meskipun demikian tidaklah mudah memasukkan sisipan nafas Islam kedalam cerita-cerita
yang Hinduisme itu. Pada satu pihak sisipan itu hendaklah menjaga jalannya
cerita sehingga tidak sampai merusak nilai-nilai seni cerita itu. Pada pihak
lain sisipan itu haruslah sehemat mungkin, sehingga tidak sampai terasa merusak
keaslian cerita itu. Sisipan itu sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan
kejutan, tapi mampu pula hendknya memberikan semacam gugahan, bagi orang yang
mendengarnya. Dan cara ini ternyata cukup disadari oleh Islam dalam
memergunakan hikayat, sebagai sarana penunjang perkembangannya.
Dalam Hikayat Maleem Diwa suatu
hikayat yang pernah dipandang sakti oleh masyarakat Aceh, dan hampir semuanya
diwarni oleh pengaruh Hindu, telah dimasukkan sisipan pengaruh Islam yang amat
berhati-hati sekali. Dalam pengembaraan Maleem Diwa mencari istrinya yang
kembali ke kayangan, dia telah berbuat pura-pura sebagai guru mengaji (agama
Islam) untuk menyelidiki rahasia keadaan isterinya. Sisipan itu jelas mamat
kecil sekali, namun pengaruhnya dalam jangka yang panjang, dapat mempunyai arti
yang cdukup penting.
Suasana perkembangan pengaruh Islam
itu makin memperlihatkan dirinya dalam Hikayat kancamara. Dalam hikayat ini
mulailah diperdebatkan kebenaran agama Hindu dan Islam meskipun kebenaran Islam
masih simbolis penyampaiannya. Setelah pengaruh dan perkembangan agama Islam
itu mempunyai tempat berpijak yang kokoh maka generasi muda Aceh dengan tegas
menolak ajaran Hindu. Gambaran itu amat baik sekali dilukiskan oleh Hikayat
Poetroe Peureukison. Sang puteri yang telah memahami sepenuhnya kelebihan dan
kebenaran Islam dengan tegas menolak bujukan ayahnya agar tetap menyembah
berhala.
Memasukkan unsur-unsur Islam secara
bertahap dank e dalam cerita-cerita Hindu ndapat dipandang sebagai langkah
permulaan dalam usaha memasukkan dan memperkembangkan pengaruh Islam dalam
masyarakat Aceh. Langakah itu masih tindak lanjut berupa suatu usaha mendirikan
suatu masyarakat Islam yang kokoh di bawah satu ikatan yang kuat pula. Dalam
hal ini arti raja-raja Aceh, amatlah menentukan. Dengan melangkahi saja
bagaimana raja-raja Aceh telah menerima Islam sebagai agamanya, maka raja-raja
itupun dibuat hikayatnya atau kalau sudah ada cerita tentang raja-raja itu
dalam suasana Hindu, maka setelah keturunannya memeluk Islam, cerita itu segera
diberi warna Islam. Dalam usaha ibi ada dua hikayat Aceh yang amat penting.
Pertama Hikayat Aceh dan kedua Hikayat Raja-raja Pasai.
Jika diperhatikan kadar pengaruh
Hindu dalam cerita, maka Hikayat Aceh barangkali lebih tua dari hikayat
Raja-raja Pasai. Cerita mengenai raja-raja Aceh dalam Hikayat Aceh melukiskan
tentang nenek moyang raja-raja Aceh dalam Hikayat Aceh melukiskan tentang nenek
moyang raja-raja Aceh yang kawin dengan putrid dari kayangan seperti yang
tampak dalam Hikayat Maleem Diwa.
Hikayat Aceh belum lagi memberikan
gambaran yang terang tentang agama Islam dalam kehidupan raja-raja Aceh itu
keturunan Iskandar Zulkarnain. Gambaran Islam yang amat baik dilukiskan dalam
kehidupan raja-raja Pasai. Raja Samudra Pasai Merah Seulu, telah bermimpi
bertemu dengan Nabi Muhammad, di Islamkan serta mendapat hberbagai ilmu
pengetahuan dari Nabi. Lukisan serupa itu dijumpai lebih lengkap lagi dalam
Sejarah Melayu pada cerita yang ketujuh betapa Fakir Muhammad dengan nahkodanya
Syekh Ismail, telah sengaja pergi ke Samudra Pasai untuk mengislamkan Merah
Silu dan rakyat Aceh.
Keadaan hikayat dalam masa silam itu
dapat dikatakan mengambil fungsi media massa seperti surat kabar dan buku-buku
dalam masa sekarang ini. Hikayat itulah yang didengar berulang-ulang karena
didalamnya terkandung berbagai nilai yang diperlukan masyarakat. Menyadari
fungsi semacam itulah telah diubah sedemikian rupa untuk mempertahankan agama
Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Arti hikayat ini bagi semangat jihad
orang Aceh tidaklah enteng. Hikayat itulah yang telah mendorong pejuang-pejuang
Aceh untuk memilih mati syahid, daripada hidup berdampingan dengan kaphee
Belanda (kafir Belanda).
Pada masa perlawanan Aceh melawan
Belanda hampir tiap generasi Aceh telah dibesarkan dengan buah syair Hikayat
Perang Sabil, baik dibuaian maupun dealam pengembaraan mereka dalam hutan
belantara.
Demikianlah Islam telah mencoba
membangun masyarakat Aceh dengan mempergunakan hikayat dengan cara yang amat
bijaksana, dan hasilnya telah dibuktikan oleh sejarah itu sendiri. Kekuatan dan
keteguhan masyarakat Aceh telah melumat dengan Islam itu sendiri, mereka sampai
kepada tekad yang luar biasa sehingga Belanda sampai kepada titik hampir putus
asa untuk menundukkan Aceh.
Sejarah
Masuknya Islam di Negeri Perlak ditinjau
dengan Pendekatan Arkeologi
Maksud dari
pendekatan arkeologi terhadap sumber sejarah disini ialah pendekataan
(approach) sebagai saudara kandung sejarah (archeology as history). Dalam
pendekatan ini maka arkeologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari kehidupan
manusia dengan segala aspeknya dalam masa lampau atas dasar penemuan-penemuan
berupa benda hasil budaya masa lampau dapat membantu sejarah yang juga
mempelajari peristiwa-peristiwa kehidupan masa lampau. Kalau ilmu sejarah
berhasil mengungkapkan peristiwa-peristiwa kehidupan masa lampau umpamanya segi
kronologinya maka arkeologi dapat membantu dengan memberikan bukti-bukti
kehidupan sosial masa lampau tersebut misalnya pada peristiwa tertentu maka arkeologi
dapat membantu dengan aspek-aspek kehidupan sosial masa itu dengan
mempelajarisemua benda-benda tersebut akan terdapat benda-benda yang membantu
kronologi juga misalnya mata uang bertanggal, keramik asing dan sebagainya.
Data arkologi yang berhubungan
dengan Perlak belum banyak digarap. Sebenarnya penelitian arkeologi tentang
bekas Bandar Perlak mungkin akan dapat memberikan beberapa jawaban yang lebih
memuaskan tentang kronologi kerajaan Perlak. Sejauh ini penelitian arkeologi
disitus bekas kerajaan Perlak baru meliputi beberapa tempat saja. Penelitian
ini belum dapat menghasilkan data pertanggalan yang mutlak dari makam-makam
kuno yang diteliti belum ada yang memberikan cirri-ciri memuat angka tahun
seperti yang banyak kita temukan di Pasai atau di daerah Aceh, seperti misalnya
makam-makam bertanggal di kompleks makam Malik As Shaleh, Kandang XII, Minje
Tujoh dan sebagainya.
Sumber sekunder seperti Idharulaq
patut kita perhatikan adanya petunjuk tentang masa pemerintahan kerajaan Perlak
dari abad 3. Sumber sekunder lainnya baik berita asing dari Marcopolo dan Cina
lebih-lebih sumber dari musafir Arab telah memberikan petunjuk jelas tentang
semukiman para pedagang muslim di Perlak. Sekitar abad 12 dan 13 M di Perlak
telah ada kerajaan Islam, Marcopolo telah memberikan kabar tersebut kepada kita.
Perlak sebagai jajaran pelabuhan
kuno di Pantai Timur Sumatra merupakan jalur perdagangan kuno yang sangat erat
kaitannya dengan bekas pelabuhan kuno lainnya yang sejaman di sepanjang Pantai
Timur Sumatra seperti Haru, Tamiang, Pasai dan sebagainya.
Sumber barat menyatakan bahwa sejak
pertengahan abad ke XV, Islam telah masuk dan dianut oleh penduduk sekitar
kpulauan Maluku, Kalimantan dan Sulawesi. Dengan berkembangnya Islam di Maluku
terutama di Ternate dan Tidore sekitar awal nke XV ini, maka ulau-pulau di
sekitar selatan Maluku dan pantai-pantai Sulawesi Utara yang berdekatan dengan
Ternate segera memeluk Agama Islam.
Menurut Dr.Mattulada, kerajaan di
Sulawesi Selatan yang mula-mula menerima Islam sebagai agama resmi, ialah
Kerajaan kembar Gowa Tallo sekitar tahun 1014 Hijriyah atau tahun 1605 Masehi.
Namun menurut Thomas W. Arnold, ketika Portugis pertama kali memasuki pulau
Sulawesi bagian selatan pada tahun 1540
Masehi, mereka sudah menemukan beberapa orang Islam di Gowa, ibukota kerajaan
Makassar dan baru pada awal abad ke XVII Agama Islam merata dianut oleh
rakyat. Para ulama, pejuang muhajirin
inilah yan telah berjasa menyiarkan Islam di Kalimantan sampai ke Sulu dan
Pilipina. Menyiarkan Islam di Maluku(Ternate dan Tidore). Demikian pula di Sulawesi
Selatan. Akhirnya raja-raja Gowa (Makassar) mengirim para Muballig ke Sumbawa
dan Lombok sehingga berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam di daerah ini. Raja
yang mula-mula Islam di Makassar ialah raja Tallo yang bernama I Mallingkaang Daeng Mannyonri. Setelah masuk
Islam bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Kemudian menyusul masuk Islam
raja Gowa yang ke XIV Baginda I Mangngerengi Daeng Mannrabia dan berganti nama
dengan Sultan Alauddin(1591-1638 M).Kemudian dalam masa dua tahun berikutnya
seluruh raktyat Gowa dan Tallo sudah memeluk Agama Islam.
Fakta sejarah untuk membantu
pembuatan sejarah tentang sejauh mana hubungan Aceh dengan Indonesia bagian
Timur ini dalam rangka pengembanhan Islam pada awal masuknya Islam ke Indonesia
ini dan selanjutnya sangat sulit didapatkan. Peranan muballigh-muballigh dari
Aceh, Minangkabau, Malaka dan Jawa sangat besar peranannya dalam mengembangkan
Islam di daerah Indonesia bagian Timur ini, terutama di daerah Maluku (Ternate
dan Tidore) dan di daerah Sulawesi (Gowa-Makassar dan Buton).
Adapun menyangkut perkembangan Islam
di Indonesia bagian timur ini pada akhir-akhir abad ke XIX dan awal abad ke XX, jelas tumbuh pesat
karena kegigihan muballigh-muballigh dan para ulama yang berasal dari daerah
ini sendiri dan diperkuat dengan para pejuang-pejuang Mujahid yang diasingkan
oleh colonial Belanda ke daerah ini, anatar lain Imam Bonjol dari Menado,
Pangeran Diponogoro ke Makassar (sekarang Ujung Pandang), dan pejuang-pejuang
lainnya dari Aceh, Minangkabau dan Banten yang tersebar diantara pulau-pulau di
Indonesia bagian timur.
No comments:
Post a Comment