BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesultanan
Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini
berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat
Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan
daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi
Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang
paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan
yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu
oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena di
pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu
Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini.
Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di
abad itu.
1.2
Rumusan Masalah
Secara
geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena
berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar
menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia
bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat. Dengan posisi
strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan
berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk
persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Kerajaan Gowa dan Tallo
membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang
lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Awal Berdirinya kerajaan Gowa Tallo
Sebelum Kerajaan Gowa berdiri yang
diperkirakan terjadi pada abad XIV, daerah ini sudah dikenal dengan nama
Makassar dan Masyarakatnya disebut dengan suku Makassar.[1] Menjelang terbentuknya Kerajaan Gowa,
komunitas Makassar terdiri atas Sembilan kerajaan kecil yang disebut Kasuwiyang
Salapang (Sembilan Negeri yang Memerointah), yaitu: (1) Tombolo’, (2) Lakiung,
(3) Saumata, (4) Parang-parang, (5) Data’, (6) Agang Je’ne, (7) Bisei, (8)
Kalling, dan (9) Sero’.[2]
Melalui
berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung
sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat
orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara
Guru dan saudaranya.
2.1.1 Masa Sebelum
Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat
raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara
Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu
atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui).
Keempat raja tersebut tak diketahui
asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba
terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang
dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng
katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan
federasi yang diketuai oleh Paccalaya.
2.1.2 Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian
sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita yang berkembang di masyarakat,
dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada
masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.
Konon, sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).
Konon, sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).
Walaupun mereka bersatu, tetapi ke
sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian
utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup
mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi
sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan
yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk mengatasi perang saudara
tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh
kesembilan kelompok tersebut. Terdengarlah berita orang Paccallaya, bahwa ada
seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Saat
penantian, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya
dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia.
Kejadian itu cepat diketahui oleh
Gallarang Mangasa dan bolo yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa
menjadi pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk
mengelilingi cahaya sambil bertafakur. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi
seorang putri yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain
berupa mahkota.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya. Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya. Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami. Permohonan Paccalaya tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu tu Gowa (Sombalah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya. Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya. Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami. Permohonan Paccalaya tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu tu Gowa (Sombalah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”.
Setelah Tumanurunga resmi menjadi
Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman. Masa
pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan,
Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang
tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama
temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga
Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa
pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua
bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya
meliputi (1) Paccelekang, (2) Patalassang, (3) Bontomanai Ilau, (4) Bontomanai
Iraya, (5) Tombolo, dan (6) Mangasa. Adiknya,
Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo
dengan wilayah sebagai berikut: (1) Saumata,(2) Pannampu, (3) Moncong Loe, dan
(4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan
itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX
Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil
menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng
Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo,
dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau
Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan kedua
kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat
Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng
Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua
kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri
Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai
Goa-Tallo, iamo macalla rewata”.[3]
Gambar di bawah merupakan peta
Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan
di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Untuk mengetahui
letak kerajaan-kerajaan tersebut, silahkan diamati gambar peta tersebut.
Gambar
Peta lokasi kerajaan Gowa – Tallo.
Masing-masing
kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah
satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528,
sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan
Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang
masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Secara
geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena
berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari
Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat. Dengan
posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan
besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
Menjelang
pertengahan abad XIV, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tonatangka Lopi, ada
pembagian wilayah Kerajaan Gowa terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa
dan Karaeng Loe ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan di Gowa sebagai Raja
Gowa VII, pengganti Tonatangka Lopi yang meninggal dunia. Wilayah Kekuasaannya
meliputi: Paccelekang, Pattalasang, Bontomanai Ilau, Bontomanai ‘iraya, Tombolo
dan Mangasa. Sedang adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang
bernama Kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut: Saumata, Pannampu,
Moncong Loe dan Parang Loe.[4]
Kedua
kerajaan tersebut terlibat dalam persaingan dan perang bertahun-tahun, sampai
pada Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Pada masa Raja Gowa X, I Mariogau
Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tonipalangga Ulaweng (memerintah 1546-1565) kedua
kerajaan kembar tersebut kembali menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan yang
disebut “Rua Karaeng se’re ata”, yang artinya “dua raja, tetapi seorang hamba”,
dan diperkuat dengan perjanjian,”lami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa
siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Iaiannamo tao
ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla rewata”. Artinya adalah “waktu itulah
diadakan perjanjian (yang diperkuat dengan sumpah) antara Raja Gowa dan Raja
Tallo serta Gallarang (yang dilaksanakan) di baruga (balai) kerajaan.
Barangsiapa yang mengadu domba antara Gowa dan Tallo, dia akan dikutuk dewata”.
Raja Tallo sekaligus menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa. Mangkubumi saat
itu adalah Nappakata’tana Daeng Padulung. Lalu para sejarawan menamakan
kerajaan Gowa Tallo ini menjadi kerajaan Makassar.[5]
2.2. Tokoh – tokoh Kerajaan Gowa Tallo
Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna.
Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang
memerintah dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo)
bergelar Sultan Abdullah.
Sultan Hasanuddin
Sultan
Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di
Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa
ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi
Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama
Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla
Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena
keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belandayang artinya
Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
2.3 Kehidupan Ekonomi
Kerajaan
Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di
Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak
yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang
yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai
pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak
disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran
dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan
ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut,
maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang
pesat. Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena
Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi
Selatan.
2.4
Kehidupan
Sosial Budaya
Sebagai
negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan
pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan
tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Sejak Gowa
Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan
Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah
mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja
Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk ke
kerajaan ini. Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk
Islam. Mubaligh yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib
Tunggal yang berasal dari Minangkabau.
Raja Gowa
Tallo sangat besar perannya dalam menyebarkan Islam, sehingga bukan rakyat saja
yang memeluk Islam tapi kerajaan-kerajaan disekitarnya juga menerima Islam,
seperti Luwu, Wajo, Soppeg, dan Bone. Wajo menerima Islam tahun 1610 M. Raja
Bone pertama yang menerima Islam bergelar Sultan Adam. Walaupun masyarakat
Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan
hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang
mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan
adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat
percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping
norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri
dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka”
dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan
“Ata”.
Dari segi
kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang
berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis
kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai
mancanegara.
2.5
Kehidupan Politik
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari
Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi
Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama
memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai
kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said
(1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669).
Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya
yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat
menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo,
Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara
Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia
Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat
anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli
yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan
antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh
adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan
antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam
peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda
semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda
memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk
mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba
antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah
oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk
menghancurkan Makasar.
Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar.
Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan
Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda
dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar
harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar
Makasar.
d. Aru Palaka
diakui sebagai raja Bone.
Walaupun
perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra
Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
2.6
Islamisasi
Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa
tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam
diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh
masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh
elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan
masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis
sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk
Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo.
Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at,
22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi
kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan
mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam)
dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan
Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam
berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat
Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H.
Adapun yang mengislamkan kedua raja
tersebut ialah Datu ri Tiro (Abdul
Makmur Chatib Bungsu)[6]
seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama
dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula
Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang
menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian,
kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya di
dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis
seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya
Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa.
Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan
Bugis.
2.7 Zaman Keemasan
2.7 Zaman Keemasan
Setelah Kerajaan Gowa menerima
Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XV
I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid
(1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang
hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia.
Kemashuran Sultan Malikulsaid sampai
ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa pemerintahannya, dia ditunjang
oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang sebagai Mangkubuminya yang terkenal itu,
baik dari segi sosok kecendiakawanannya maupun keahliannya dalam berdiplomasi.
Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang
akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris,
Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India),
Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India), Mufti Besar Arabia dan
terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Nusantara.
Kerjasama dengan bangsa-bangsa
asing, terutama Eropa sejak Somba Opu menjadi Bandar Niaga Internasional.
Bangsa Eropa gemar dengan rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan
Gowa, seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka
telah mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun
hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan. Barulah
terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin memonopoli
perdagangan dan menjajah.
Tanggal 5 November 1653 Sultan
Malikulsaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan Gowa selama 16 tahun.
Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin
yang menjadi raja Gowa XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan
Gowa dengan Belanda kian meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat
tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran
hebat antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang
langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan
semua tentara Belanda di negeri itu.
Setelah Belanda melihat kenyataan
peperangan di Kawasan Timur Nusantara banyak menimbulkan kerugian menghadapi
Gowa. Belanda dengan berbagai siasat menawarkan perdamaian. Tahun 1655 Belanda
mengutus Willem Vanderbeck bersama Choja Sulaeman menghadap Sultan membawa
pesan damai dari Gubernur jenderal Joan Maectsuyker tetapi tidak berhasil.
Tanggal 17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil
perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan Gubernur
Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon. Pertemuan tersebut
dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di Batavia.
Perjanjian itu kemudian oleh Sultan
dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal larangan orang-orang
Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya menolak perjanjian
itu. Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur Jenderal Joan Maetsyuiker untuk
sekian kalinya mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan mengutus van Wesenhager,
tetapi Gowa menolaknya karena tuntutannya merugikan Gowa. Demikian berbagai
siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga permusuhan tidak
terelakkan, sehingga terjadi pertempuran poun terus bergolak antara Gowa dengan
Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai Makassar.
Karena Belanda putus asa menghadapi
kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan Hasanuddin, maka pada bulan
Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada persenjataannya yang paling kuat
dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan Indonesia bagian timur, guna
meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone
dan pengikut Aruppalakka, dan pasukan Ambon dibawa pimpinan Kapten Yonker dalam
perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang melawan bangsa
asing tetapi juga bangsanya sendiri.
Tahun 1667 perang besarpun bergolak
antara Pasukan Gowa dengan Belanda. Karena kekuatan tidak seimbang, menyebabkan
benteng milik Gowa satu persatu direbut Belanda dan sekutunya, seperti benteng
galesong, Barombong melalui pertempuran sengit yang banyak menelan korban kedua
belah pihak.
Melihat Gowa dalam posisi yang
kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran perundingan. Tawaran tersebut
diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena takut berperang tetapi demi
menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan
orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri. Atas pertimbangan itu,
Sultan Hasanuddin terpaksa menerima perdamaian dengan Belanda dengan ditandatanganinya
Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Dengan perjanjian Bongaya, Rakyat
Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu
membuat Belanda cemar, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam
pertempuran dahsyat Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah
pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di
Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian
dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih terus melakukan perlawanan dengan Belanda. Hal itu dibuktikan dengan gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali (Putra Sultan Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya telah berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.
Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih terus melakukan perlawanan dengan Belanda. Hal itu dibuktikan dengan gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali (Putra Sultan Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya telah berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.
2.8 Masa
Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan
Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak
kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian
Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng
Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya,
pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah
kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir
seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang
Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam
secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan
Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun
perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak
terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan
Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari
Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombala
tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas
dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya
yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai
tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia
atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau
sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian Gowa telah mengalami pasang
surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga
mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi
setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem
pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng
Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu,
berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan
perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
2.9 Peninggalan Kerajaan Gowa dan Tallo
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo.
Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi
Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang
bernama I manrigau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah
liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi
benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst
yang ada di daerah Maros. Benteng
Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak
turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun
di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di
lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.
Mesjid Katangka didirikan pada tahun
1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu
berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim (1921),
Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa
(1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid
tertua Kerajaan Gowa ini.
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah
kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi.
Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang.
Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur
laut dalam wilayah benteng Tallo. Berdasarkan basil penggalian (excavation)
yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982)
ditemukan gejala bahwa komplek
makam berstruktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi
bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini
sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa
bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok-balok ham
pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat
dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa mempergunakan
perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada
kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks
makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam
dominan berciri abad XII Masehi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesultanan
Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini
berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat
Sulawesi. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal
dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat
kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata,
Bissei, Sero dan Kalili. Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan
ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik.
Raja Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi
gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama
Islam mulai masuk ke kerajaan ini.
Setahun
kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang
berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal dari
Minangkabau. Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur
perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal
sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan
VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan
pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas
keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya
sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Demikian Gowa telah mengalami pasang
surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga
mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi
setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem
pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng
Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu,
berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan
perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Bale, Djenen (ed.). Peta Sejarah Propinsi
Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan da Kebudayaan, 1986
Kadir, Harun, dkk.
Sejarah Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
1978Paranrangi Hamid. Sejarah Daerah Gowa. Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1990
Patunru, Abd. Razak Daeng. Sedjarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Nilai Tradisional, 1990
Patunru, Abd.
Razak Daeng. Sedjarah Gowa. Jakarta: Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara,
1969
Sewang M. Ahmad.
Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII ). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
http://elysaamiya.wordpress.com/2011/12/16/asal-usul-kerajaan-makassar/
LAMPIRAN
Pertanyaan dan Jawaban
- Telah disebutkan bahwa Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Pertaniannya menghasilkan apa sehingga disebut dengan Kerajaan Maritim? (Dedy Firman Prasetyo)
Jawab:
Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa
mengalami kemajuan di bidang Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja
Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapakrisik Kallonna”, dan
dipindahkanlah Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.
Disana beliau membangun sebuah dermaga
yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah
nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar
transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Adapun hasil pertanian yang
dihasilkan ialah Padi dan Palawija, serta rempah – rempah.
- Bagaimana proses masuknya Islam dan bagaimana proses berkembangnya Islam di Kerajaan Gowa Tallo? (Achmad Fauzi)
Jawab:
Sebagaimana diketahui umum bahwa penyebaran Islam di
Nusantara pada awalnya melalui perdagangan, maka demikian halnya dengan
kedatangan Islam di Gowa tidak terlepas dari faktor dagang. Penyebaran Islam
yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena didalam ajaran Islam
tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang muslim, sebagai penyebar
nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai pedagang.
Setiap Muslim, apapun profesinya dituntut untuk
menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat. Beberapa
sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu dalam bidang perdagangan
dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk membendung pengaruh
Katolik. Sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antar pulau
yang melalui pelabuhan Makassar, dikuasai oleh orang-orang Melayu. Komoditas
beras sebagai hasil utama Makassar diekspor ke Malaka dengan kapal orang-orang
Melayu. Masuknya Agama Islam di Sulawesi Selatan (Abad XVI-XVII)
Sejak resminya agama Islam di gowa-Tallo, maka raja Gowa Sultan Alauddin
makin kuat kedudukannya sebab beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin
(kepala agam Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi, yang
menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar,
Bugis dan Mandar yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam pada abad XVI.
Sumbangan utama orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam adalah
upayanya untuk mendatangkan mubaligmubalig Islam. Upaya itu dilakukan untuk
membendung pengaruh agama Katolik menyusul kedatangan Portugis di daerah ini.
Melalui hubungan antara Kerajaan Ternate yang lebih
dulu sudah memeluk agama Islam karena adanya hubungan baik serta interaksi
antara raja Ternate dan Gowa Tallo, selain itu juga karena letak geografis Gowa
Tallo yang strategis yaitu merupakan daerah maritim sehingga para pedagang
banyak yang singgah untuk berdagang di Gowa Tallo terutama pedagang dari
Arab
- Siapakah sosok Raja Datu Ri bandang?
Jawab:
Penyebaran Islam di wilayah Sulawesi
Selatan (Sulsel) tidak bisa dilepaskan dari peran Datuk Ri Bandang. Islam
menjadi agama mayoritas rakyat Gowa- Tallo pada awal abad ke 17 karena pengaruh
ulama asal Minangkabau ini.
Ulama ini hijrah dari Minangkabau
bersama dua rekannya, yakni Khatib Sulung Datuk Sulaiman atau Datuk Patimang
dan Syekh Nurdin Ariyani atau Datuk Tiro. Nama terakhir ini juga dikenal dengan
Jawad Khatib Bungsu. Datuk Ri Bandang bernama asli Khatib Tunggal Datuk Makmur.
Sejak kedatangannya ke Kerajaan Gowa- Tallo pada akhir abad 16,dia lebih banyak
melakukan syiar Islam di daerah Gowa,Takalar, Jeneponto,dan Bantaeng.
Ulama besar ini melakukan syiar Islam di
wilayah pantai barat Sulawesi Selatan hingga akhir hayatnya. Makam Datuk Ri
Bandang dapat dijumpai di Jalan Sinassara, Kelurahan Kalukubodoa, Kecamatan
Tallo, arah utara Kota Makassar. Bahkan, untuk mengenang jasa besar ulama ini,
sebuah yayasan pesantren Islam yang menaungi sekolah dasar (SD) sekolah
menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menangah Atas (SMA) didirikan di Kecamatan
Tallo, Makassar.
Keberadaan Kota Makassar dan kebudayaan
yang melingkupi masyarakatnya saat ini konon tidak lepas dari peran ulama asal
Sumatera ini. Bahkan sejarah menyimpulkan, Datuk Ri Bandang merupakan ulama
yang pertama kali memperkenalkan orang Makassar dengan Islam. Pada sejumlah
literatur disebutkan, Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk Tiro
menyebarkan Islam di daerah berbeda di Sulawesi Selatan.
- Mengapa ada kasta di Kerajaan Gowa Tallo, padahal dalam Islam tidak mengenal kasta? (Septi Wulandari)
Jawab:
Kasta disini bukan untuk membedakan mana yang kaya dan
yang miskin, dan maksud kasta tidak menyinggung tentang agama, hanya untuk
sekedar tau bagian dari stratifikasi sosial agar bisa membedakan golongan
Kerajaan dan rakyat (untuk saling menghormati dan saling menghargai).
[1] Ahmad M.
Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII )(Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005), hlm. 15
[2] Abd. Razak Daeng Patunru, Sedjarah Gowa
(Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1969), hlm. 1.
[4] Harun
Kadir, Sejarah Daerah Sulawesi Selatan ( Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), hlm. 27.
[5] Ahmad M.
Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII)(
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 22.
[6] Lihat,
Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama,
hlm. 231. Lihat juga, Pelras, “region”, hlm.108, dan Noorduyn,” Sedjarah Agama
Islam”, hlm. 90, dan juga Anonim, Lontara Sukkuna Wajo, loc. cit
Untuk sejarah gowa tallo sampai dengan kesultanan makassar cek di pos saya (edisi revisi) http://vracarsa.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-kerajaan-gowa-kerajaan-gowa.html
ReplyDelete